Anis Hidayah
Api tak bakal menyala di Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah , Arab Saudi , kalau saja derma terhadap hak setiap buruh migran Indonesia telah dilakukan dengan baik dan tanpa diskriminasi.
Tanpa diskriminasi maksudnya pemerintah tak justru sibuk melabeli buruh migran dengan status legal dan ilegal. Mereka yang ada di sana harus dipandang sebagai warga negara Indonesia yang memang mesti dilindungi dan dilayani dengan baik.
Karena itu tidak terjadi , mestinya tak perlu terlalu kaget apabila kemudian timbul huru-hara , seraya mencari provokator untuk dijadikan kambing hitam.
Sumber masalah
Sumber dilema yang sesungguhnya yaitu buruknya pelayanan dan birokrasi untuk melayani kepentingan mereka yang terpaksa menentukan menjadi buruh di luar negeri. Pasti mereka lebih terhormat dan bermanfaat bagi Ibu Pertiwi ini daripada mereka yang selalu membuat negeri ini gulung tikar dengan korupsinya.
Menjadi kelewat / overstayer niscaya bukan kehendak murni buruh migran Indonesia. Data Kementerian Luar Negeri memperlihatkan , sepanjang 2005-2010 sebanyak 123.486 WNI kelewat / overstayer yang dideportasi dari Arab Saudi.
Dari jumlah itu , sebanyak 71 persen (88.737) yaitu mereka yang telah jadi buruh migran di sana. Sisanya (34.749) yaitu mereka yang dimasukkan ke Arab melalui rombongan umrah.
Masalah kelewat / overstayer ini lebih disebabkan pelanggaran perjanjian kerja yang berlaku selama dua tahun kontrak kerja. Kebanyakan buruh migran yang bekerja melewati masa tersebut lantaran majikan menahan setrik sepihak tanpa disertai perpanjangan dokumen , baik perjanjian kerja maupun dokumen keimigrasian.
Selain itu , banyak juga pekerja rumah tangga migran yang terpaksa melarikan diri dari rumah majikan lantaran perlakuan yang tak manusiawi. Dalam pelarian itu , mereka jadi tidak berdokumen lantaran dokumen mereka ditahan oleh majikannya.
Persoalan di atas bergotong-royong sanggup dicegah jikalau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang menempatkan buruh migran bertanggung jawab penuh atas keberadaan buruh migran selama bekerja.
Sebagai pihak yang menempatkan , semestinya PPTKIS memiliki data kapan seharusnya buruh migran harus pulang atau melaksanakan perpanjangan kontrak kerja. Sayangnya , kepentingan untuk mendapat laba membuat lupa tanggung jawab yang sesungguhnya.
Di ketika yang sama , pemerintah juga lemah dalam mengawasi kinerja PPTKIS. Bahkan , mereka bersimbiosis melaksanakan dan memagarkan pelanggaran demi pelanggaran hak buruh migran. Hal ini setidaknya terlihat dari minimnya penegakan aturan terhadap pelanggaran-pelanggaran serius yang telah terjadi.
Para kelewat / overstayer di Arab Saudi juga berasal dari rombongan umrah. Hal ini mestinya juga harus diantisipasi. Sebab , tidak sedikit terjadi praktik penempatan buruh migran di sana dengan menggunakan visa umrah.
Sekali lagi , lantaran minimnya pengawasan terhadap agen umrah yang pembangkang , karnanya banyak yang memanfaatkan visa umrah untuk melaksanakan bisnis penempatan buruh migran di Arab Saudi. Tak gila bila beberapa PPTKIS juga membuatkan bisnis atau agen perjalanan umrah. Dalam kaitan ini , mestinya Kementerian Agama tidak sanggup tinggal diam.
Sayangnya , sumber dilema kelewat / overstayer selama ini relatif tidak disentuh. Pemerintah hingga hari ini masih terlalu konservatif dalam menuntaskan dilema kelewat / overstayer , yakni hanya menuntaskan dampaknya. Tanpa meningkatkan pengawasan terhadap PPTKIS dan agen perjalanan umrah , kelewat / overstayer bakal terus menjadi masalah.
Paradoks kebijakan
Meskipun ketika ini Kerajaan Arab Saudi memperlihatkan amnesti bagi warga asing yang bekerja di sana , sesungguhnya ini hanya satu sisi kebijakan yang paradoks.
Hal ini lantaran , bagi buruh migran , mereka tidak cukup hanya dengan dokumen surat perjalanan laksana paspor. Mereka juga harus sanggup exit permit dari sponsor (dalam hal ini yaitu majikan) bagi yang ingin pulang ke Indonesia. Tanpa itu mereka tetap tak sanggup pulang ke Indonesia.
Situasi ini disebabkan lantaran Arab Saudi dan beberapa negara tujuan buruh migran di Timur Tengah memberlakukan sistem kafala atau sistem sponsorship. Dalam sistem kafala , buruh migran tidak sanggup pindah majikan atau keluar dari negara di mana bekerja tanpa izin atau persetujuan dari sponsor/majikan.
Hal ini sesungguhnya telah mendorong banyak organisasi masyarakat sipil dari sejumlah negara mengampanyekan pembatalan sistem kafala. Sebab , dalam sistem kafala , buruh migran semakin rentan menghadapi aneka macam bentuk pelanggaran hak asasi insan , ibarat honor tak dibayar , penyiksaan , pelecehan seksual , dan pelecehan seksual , lantaran kuasa majikan selaku sponsor atas buruh migran.
Perlu introspeksi dan evaluasi
Insiden pembakaran di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah yang mengakibatkan meninggalnya dua buruh migran asal Sampang dan NTB sungguh murung yang mendalam bagi bangsa ini. Duka ini yaitu tamparan bagi kita semua untuk melaksanakan introspeksi dan penilaian demi perbaikan pelayanan dan derma buruh migran.
Cukup sudah perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang harus diterima oleh buruh migran , terutama yang tidak berdokumen. Mereka yaitu korban dari buruknya tata kelola negara ini.
Pelayanan bagi ribuan buruh migran yang tak berdokumen , yang memanfaatkan amnesti dari Arab Saudi , mestinya berjalan dengan baik dan manusiawi jikalau pemerintah mempersiapkannya setrik matang. Persiapan tersebut sanggup dimulai dari sosialisasi , administrasi pelayanan , penambahan sumber daya insan , koordinasi lintas departemen dan dengan pemerintah sentra , serta penambahan fasilitas.
Sayangnya , koordinasi gres dimulai 28 Mei 2013 dan penambahan kemudahan pelayanan , ibarat printer paspor , gres dikirim dari perwakilan RI di Malaysia ke Arab Saudi ketika api telah menyala di KJRI Jeddah.
Akhirnya , pemerintah mesti segera melaksanakan harmonisasi terhadap konvensi internasional mengenai derma terhadap buruh migran dan anggota keluarganya yang telah diratifikasi semenjak 12 April 2012.
Pemerintah harus sanggup memastikan adanya jaminan derma bagi seluruh buruh migran baik berdokumen maupun tidak. Untuk itu , harus secepatnya dirumuskan mekanisme operasi standar penanganan buruh migran tidak berdokumen menurut prinsip yang terkandung dalam konvensi tersebut. Maka , dengan ini semua , kita sanggup memadamkan api yang telah menyala itu.
Anis Hidayah , Direktur Eksekutif Migrant Care
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Api Di Kjri Jeddah"