Radhar Panca Dahana
Kita membutuhkan mereka , alasannya yakni saya butuh jalan anggun , butuh rumah , sekolah , dan penghasilan untuk bertahan hidup ,” begitu retorika sang anak muda. Para tetua hanya membisu , ekspresi menggaris keras dan rapat , sekeras budbahasa yang ribuan tahun mereka pelihara dan memelihara mereka.
Cerita semacam itu sanggup dibilang klasik dalam sejarah suku-suku bangsa di negeri ini. Terus berlangsung semenjak masa kolonial , kemerdekaan , hingga hari ini. Dalam konflik─ yang sanggup dikatakan—internal itu—ada pihak eksternal yang ikut ”bermain”: negara , cqpemerintah. Inilah pihak yang seharusnya memiliki obligasi tertinggi untuk memahami , menyediakan sekian regulasi yang melindungi , tetapi malah ikut bersengketa.
Bila kemudian timbul keresahan dan kedukaan , tidakkah hasil yang menyedihkan itu indikasi bagi tidak terselenggaranya kerja dan kiprah pemerintah? Begitu kacau dan karut- marutkah kerja pemerintah hingga banyak duduk perkara menyeruak?
Bukankah indikasi serupa kita dapatkan dikala orang pulang kampung Idulfitri dengan sekian kesulitan di perjalanan? Lihatlah jalan-jalan utama di pantai utara Jawa dan selatan yang ”wajib” rusak dan diperbaiki setiap tahunnya. Begitu pun kemudian lintas yang kian kacau di hampir semua kota besar , kriminalitas yang meningkat , pasar-pasar yang tak kunjung tertata baik , korupsi , dan harga pangan yang melambung.
Apa yang sanggup dibaca , kecuali indikasi yang sama , dikala seorang Presiden murka kepada para pembantunya alasannya yakni harga cabe dan daging meroket? Ketika seorang Presiden mengetahui terjadinya peristiwa bukan dari pejabat teknis bawahannya , tetapi justru dari media? Berjalankah sistem di negeri ini?
Data dan fakta
Negeri kita sekarang , dengan pendapatan 3.000 dollar AS per kapita , jauh lebih tinggi dari 600-1.000 dollar AS pada kala Orde Baru. Maka dengan kebijaksanaan sederhana , ada peningkatan minimal tiga kali lipatnya. Namun , kenyataannya justru kesenjangan ekonomi meninggi , yang ditunjukkan oleh koefisien Gini. Uang yang dihasilkan segenap keringat rakyat itu ternyata dinikmati hanya oleh 2 persen elite orang kaya. Selebihnya sama , bahkan lebih miskin daripada sebelumnya.
Lalu untuk apa setiap tahun rakyat menyerahkan uangnya hingga Rp 1.800 triliun sebagai modal direktur menyelenggarakan negara , jikalau kenyataannya gagal memenuhi ekspektasi pemilik saham sebetulnya (rakyat)? Jika negeri ini sebuah perusahaan , direktur itu niscaya dipecat. Inilah kenyataan miris APBN kita.
Modal sebesar itu harus dipotong setengahnya untuk kelewat / overhead yang meningkat drastis dengan tumbuhnya institusi-institusi gres negara dan wilayah-wilayah administratif baru. Dari sisanya , separuh yang menjadi kegiatan di semua forum negara ternyata harus dipotong lagi 35-50 persen , untuk sedikit pajak dan kolusi manipulasi-korupsi di internal birokrasi bersama rekanan usahanya dalam proses tender.
Ini diam-diam yang sesungguhnya bukan diam-diam , alasannya yakni semua pihak terlibat , termasuk para pejabat publik yang tutup mata seraya menyebarkan telapak tangan untuk mendapatkan jatahnya. Dari sisa anggaran kegiatan yang hanya 50-60 persen , masih harus dipotong lagi untuk laba pengusaha pemenang tender dan penyusutan nilai barang yang dikorupsi.
Maka dana yang sanggup dipakai untuk mengerjakan kegiatan dan menjalankan pembangunan tinggal 30-40 persen. Maknanya , hanya sekitar Rp 700 triliun dari Rp 1.800 triliun keringat rakyat yang kembali untuk kesejahteraan masyarakat. Itu pun harus diuji lagi kualitas kemudahan yang dihasilkan.
Akhirnya , dengan modal kerja terbatas , kualitas pemenang tender rendah , dan laporan hasil kerja yang berfokus hanya pada keuangan dan bukti fisik-administratif , setiap dana APBN yang dikucurkan merosot nilainya tinggal 20 persen saja hingga ke publik. Ini sangat mengenaskan , karut-marut , dan menyedihkan.
Bila karut-marut administrasi pemerintahan yang akut itu diperbaiki , sesungguhnya kita sanggup melipatduakan angka pertumbuhan di atas , lebih dari bangsa mana pun. Tentu saja , kerja-kerja immaterial yang lunak harus lebih banyak ditunaikan. Mulai dari dilaksanakannya tertib regulasi/konstitusi , disiplin dan etika kerja , hingga perangkat-perangkat lunak yang menjadi dasar sistemik dari kerja pemerintah.
Diterima saja
Saat ini , semua mengamini situasi ini sebagai satu hal yang given: sebuah sistem dasar (trik kita hidup , bernegara , berekonomi , berhukum , dan berpolitik) yang justru meringkus hidup kita dalam pragmatisme hiper , di mana usaha dan ekspresi insan hanya didedikasikan pada melulu pencapaian material yang berdimensi praktis.
Tak ada pengendapan , kontemplasi , apalagi transendensi yang menempatkan kerja (kebudayaan) kita dalam jangkauan ruang dan waktu yang lebih lapang. Hilanglah visi. Miskinlah kita bakal pemimpin juga calon-calonnya yang visioner.
Kasus anak muda suku Daya yang berhadapan dengan para tetuanya , yakni citra dua pihak yang hidup dalam batas ruang dan waktu berbeda. Yang satu mudah dan pragmatis (hidup untuk hari ini) , dan yang satu lagi visioner dan futuristik (hidup untuk menghidupi generasi nanti).
Bayangkanlah bila sebuah negara atau bangsa dikelola dengan pemahaman ontologis-kosmis segimana anak muda di atas. Enam puluh delapan tahun umur republik kita , ternyata kita masih saja memfoya-foyakan waktu , energi , dan sumber daya , tanpa ingat anak dan cucu kita
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Hidup Yang Kita Ringkus"