Radhar Panca Dahana
Ini sekadar guyonan , jangan terlalu serius menanggapi. Dahulu kala , banyak pelawat abnormal yang tiba dari sejumlah negara sebab tertarik pada dunia gres di tenggara Asia ini. Mereka menemukan kenyataan , aneka macam penduduknya yang sudah kawin-kemawin dengan bangsa abnormal , juga dari pelbagai negara.
Para pelawat atau pengunjung abnormal itu menyebut mereka yang berdarah adonan itu sebagai Indo (mestiezen). Ada Indo-Arab , Indo-Keling , Indo-Portugis , Indo-Belanda , Indo-Jepang , Indo-China , dan sebagainya.
Yang menarik , mereka yang tergolong Indo ternyata mengeram sebuah penyakit amnesia , penyakit yang hinggap pada seseorang yang katakanlah ”pendek ingatan” atau simpel melupakan sesuatu. Konon , dari sanalah muncul kata ”Indonesia” alias Indo(am)nesia.
Terserah kalau Anda hendak menghubungkannya dengan situasi lain di negeri ini , termasuk di masa kini. Yang terperinci , dari soal nama , betapa pun ia mungkin tiada Maknanya bagi Shakespeare (yang ternyata namanya abadi) , Indonesia yaitu nama yang sepanjang sejarah memiliki masalah.
Sebagian tidak cukup mendapatkan kata itu yang bila sanggup juga bermakna ”kepulauan India penggalan belakang” atau ”pulau-pulau India di kejauhan”. Seakan kita ini hanya perpanjangan tangan , sejarah , dan peradaban dari India , negeri induknya. Sebuah penafian yang keliru.
Asal kata Indonesia
Sebenarnya bukan James Richardson Logan , sarjana aturan Skotlandia , yang menggunakan kata ”Indonesia” pertama kali dalam Maknakelnya , The Etnology of Indian Archipelago (1850). Ia hanya menjumput dari istilah yang digambarkan gurunya , George Samuel Windsor Earl , untuk orang-orang di Semenanjung Malaya , memanjang hingga Filipina dan Papua , sebagai ”Indunesia”. Logan hanya mengganti ”u” dengan ”o” hanya sekadar—konon—kenyamanan penyebutan.
Nama ini pertama kali diambil oleh aktivis/intelektual Indonesia , Suwardi Surjadininingrat alias Ki Hajar Dewantara , dikala ia dibuang ke Belanda dan menerbitkan kantor info Indonesische Pers-bureau. Nama inilah yang beredar dan kemudian terkenal di kalangan intelektual dan pejuang kala itu. Tahun 1928 sekelompok cowok menggunakan dalam sebuah Sumpah.
Padahal , hanya tujuh tahun dari penyebutan ”Indonesia” oleh Ki Hajar , Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Setiabudi juga menunjukkan nama pada deretan kepulauan di tenggara Asia ini. Ia mendapatkan nama itu dalam kitab Pararaton dari zaman keemasan Majapahit , yang diucapkan juga dalam sebuah Sumpah , ”lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa” (kalau telah (aku menguasai) Nusantara , gres saya (bakal) berhenti berpuasa).
Sumpah itu—sama ternamanya dengan Sumpah Pemuda—adalah Sumpah Palapa , yang diucapkan oleh Amangkubhumi gres Majapahit , Gajah Mada.
Penyebutan ini bahu-membahu bukannya tiada efek , baik setrik penyebutan , kesejarahan , keilmuan , hingga kebudayaan (peradaban). Dulu hingga kini.
Dua peradaban
Dua penyebutan di atas setrik simpel sanggup kita pahami sebagai nama yang mewakili dua kebudayaan dan dua peradaban dunia yang paling lebih banyak didominasi (kalau tidak , ya hanya dua itu): daratan dan kelautan. Ki Hajar dan Sumpah Pemuda terperinci mewakili daratan. Mereka yang ada di dalamnya hampir 100 persen mendapatkan pendidikan atau mengalami pergaulan dalam budaya Belanda , wakil dari peradaban daratan Eropa. Mereka , tentu saja , juga mengenali dengan baik kebudayaan-kebudayaan daratan lain di Eropa , macam Perancis , Inggris , Jerman , dan lainnya.
Sementara Gajah Mada , sebagai sumber wangsit Dr Setiabudi , sangat kita ketahui yaitu mahapatih dari kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di daerah ini. Namun , semenjak keruntuhannya , bangsa-bangsa di kepulauan ini dipaksa untuk ”mendarat” oleh kerajaan-kerajaan konsentris (menurut istilah Lombard dalam Le Carrefour Javanais) , yang menumpukkan seluruh intensitas kerja kebudayaan , mulai dari kekuasaan , perdagangan , hingga kebudayaan di tengah daratan (hulu sungai atau lereng puncak gunung).
Hal ini berbanding terbalik dengan dunia maritim yang lebih mengandalkan maritim , samudra , dan sungai-sungai sebagai saluran perdagangan dan pertahanan. Politik , kekuasaan dan pemerintahan , kamar-kamar dagang , hingga kerja kebudayaan berlangsung jauh dari gunung , di bandar-bandar yang menyebar di pulau-pulau Nusantara.
Proses pendaratan
Keliru bila kita beranggapan dunia maritim itu dipaksa ”mendarat” oleh bangsa-bangsa daratan dari Barat (Eropa) , menyerupai Portugis , Belanda , Perancis , dan seterusnya. Lima ratus tahun sebelumnya , atau dua milenium sebelum sekarang , bangsa India sudah menggelar karpet merah untuk proses ”pendaratan” bangsa Eropa kemudian , Setelah mereka lebih dulu menaklukan kerajaan-kerajaan lokal dari dalam. Seperti yang terjadi di Jawa Barat dalam kasus Salaka Nagara dan Kalimantan dalam kasus Kutai.
Budaya dan peradaban ”Daratan” pun kemudian merajalela di seluruh Indonesia , seiring dengan gerak ekspansi VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Peradaban ”daratan” sepertinya sukses melindas kejayaan peradaban ”kelautan” yang dalam hitungan penulis berusia lima milenium sebelumnya. Hingga hari ini , Indonesia berciri-ciri dan berkarakter khas ”daratan”.
Anda menjadi saksi dan —mungkin—pelakunya sendiri. Bagaimana budpekerti ”daratan” yang keras , bergairah , dominatif , inflitratif , material , logis-rasional , dan imperialistik menjadi muatan , tersembunyi atau tidak , dalam sikap rakyat bangsa kita , terutama pejabat publiknya.
Ada banyak alasan historis , arkeologis , antropologis , hingga kultural mengapa peradaban ”daratan” memiliki ciri-ciri menyerupai tersebut di atas. Negeri ini menyerupai menjadi miniaturnya , di mana media massa setiap hari (bahkan sering dalam info utama) mengungkap kekasaran , kekerasan , kehendak mendominasi hingga nafsu material yang infiltratif , terjadi di seluruh belahan republik ini , baik di tingkat elite hingga akar rumput.
Semua pihak ingin lebih banyak didominasi menjadi raja. Seperti pemeo , ”Bila tidak sanggup menjadi menteri besar (menjadi pejabat publik di sentra ibu kota) jadilah raja kecil (penguasa di wilayah sendiri)”. Tak mengherankan bila nafsu pemekaran menyerupai tiada henti , bahkan kian meluap. Kalau perlu keringat , senjata , dan darah dipakai untuk merealisasikan. Mungkin hampir tak terhentikan hingga Indonesia pun menjadi kepingan-kepingan kecil yang kian rapuh.
Semua itu , berdasarkan irit saya , sebab kita telah mengingkari bahkan mengkhianati jati diri kita sendiri sebagai bangsa maritim (kelautan). Setrik tragis hal itu mungkin sanggup disimbolisasi dengan cerita Pinisi Nusantara , sebuah kapal yang dibentuk oleh bangsa sendiri , dibangga-banggakan dan berhasil mengarungi Samudra Pasifik hingga Vancouver , Kanada , 15 September 1986.
Apa yang kemudian terjadi? Kapal pujian yang dielus-elus oleh (alm) Laksamana Sudomo itu nyungsep , melapuk , dan dilupakan di Karang Ayer Kecil , Kepulauan Seribu , Jakarta , 15 September 2002.
Nasib kelautan
Begitulah nasib kelautan bagi bangsa kita yang ”mabuk daratan” dan dikuasai setengah kala oleh angkatan darat , perhubungan darat , jembatan-jembatan , jalan tol-jalan tol , dan seterusnya. Bayangkan , ada rencana pembuatan jembatan untuk menghubungkan daratan Sumatera dan Jawa berbiaya Rp 200 triliun. Berapa kapal , besar dan kecil , yang sanggup dibeli dari jumlah itu untuk menjadi penghubung ribuan pulau negeri ini?
Ketika banyak kalangan bitrik ihwal kembali ke dunia maritim , revolusi biru , dan sebagainya , sesungguhnya ada yang sangat tidak siap dari nafsu-nafsu itu. Yakni identifikasi awal ihwal gimana peradaban maritim itu. Diskusi dan konsensus nasional diharapkan untuk itu , termasuk akibat-akibat besar sebagai dampaknya.
Mereka yang selama ini merasa nyaman dengan budpekerti ”daratan” harus banyak legawa. Agar kita kembali ke jati diri kita: Kelautan. Jalesveva Jayamahe!
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jalesveva Jayamahe"