Radhar Panca Dahana
Tanggal tetap sebuah hal yang ajaib dan kosong. Hal yang sepanjang sejarah kebudayaan mati-matian mau dimaterialisasi. Pikiran yang memiliki anggapan demikian. Seolah waktu bisa kita tundukkan , kemudian kita kerat dalam cuilan atau satuan tertentu.
Waktu (mungkin) ialah entitas yang berlangsung melalui diri sendiri. Manusia tak bisa menjangkau , mengendalikan , apalagi membagi-baginya dalam kalender atau buku agenda. Yang terjadi sebaliknya , insan teperdaya dan dikendalikan waktu.
Karena itu , makna 31 Desember atau 1 Januari tidak berbeda dengan 3 Agustus atau 16 Juli. Tahun Baru pun sudah tidak punya konteks dengan kita , terlebih mengingat ini perayaan yang ditiru dari agama pagan. Ia menerima Makna ”baru” semata untuk menghargai Julius Caesar—penggubah kalender Masehi—yang dipadankan dengan Dewa Janus , asal kata Januari.
Ia pun bekerjsama tidak bekerjasama dengan agama , bahkan Kristen. Betapa pun Paus Gregorius pernah menetapkannya sebagai kalender liturgi , dan zaman pertengahan mengaitkannya dengan kelahiran Yesus pada 25 Desember , Tahun Baru tetap tinggal sebagai hari ”biasa”. Tahun Baru tinggal semata sebagai produk industri , di mana masyarakat global merayakan dengan membelanjakan uang. Inilah puncak kekalahan kesadaran insan atas logika terhadap nafsu industri yang gigantik.
Limbah Kebudayaan
Tahun Baru bekerjsama berpeluang besar dikala masyarakat dunia sanggup digerakkan untuk menyadari realitas kekinian (kontemporer)-nya. Dunia sekarang berada dalam momen kontemplatif itu alasannya realitas kontemporer sudah memberi desakan kedaruratan yang memberi bahaya tidak ringan bagi keberlangsungan peradaban , bahkan kemanusiaan itu sendiri.
Kita harus membuat ajakan bahwa momen global yang tidak tertandingi ini (kecuali oleh olimpiade dan piala dunia sepak bola) harus kita daya gunakan untuk penciptaan dunia mental , intelektual , dan spiritual baru. Setidaknya Agar kita tidak menjadi pandir dan nir-adab alasannya hanya meladeni nafsu hedonis. Kesenangan bukan sebuah dosa , tapi kontemplasi bakal memberi kita makna , termasuk untuk apa kesenangan itu ada.
Selama ini bekerjsama kita melihat aneka macam masalah dalam kehidupan global ini. Remaja yang membunuh ibu kandungnya sendiri , ayah yang menggauli putri kandung hingga hamil , penembakan yang menewaskan ratusan anak sekolah di Amerika Serikat , hingga pelecehan seksual atas mahasiswi kedokteran hingga meninggal di India. Semua ini menjadi alarm berpengaruh bahwa peradaban sedang berjalan ke arah yang menghancurkan.
Manmohan Singh , Perdana Menteri India , menegaskan perlunya perubahan sosial (juga mental) di dalam masyarakat India. Begitu pun PM Perancis Dominique de Villepin menyerukan perlunya mengubah trik berpikir orang Perancis , bahkan memperhitungkan kembali prinsip-prinsip dasar Revolusi Prancis akhir kerusuhan ahli di Banlieus.
Pemimpin-pemimpin (negara) besar dunia kian menyadari , di samping desakan-desakan hidup yang membuat mereka menjadi sangat pragmatis , ada persoalan-persoalan idealistis yang jikalau tidak segera diantisipasi bakal membuat semua perhitungan pragmatis sia-sia. Betapa pun dunia mencoba menghindari , tetap bisa terjadi munculnya pemimpin yang megalomania , bahkan maniak , dan memulai sebuah perang global.
Sebuah kegilaan yang berdampak dalam hitungan detik , dalam kurs , harga minyak , distribusi barang , dan aneka macam nilai atau atrik vital lainnya.
Tanpa fakta itu pun kita semua menyadari , cadangan energi yang menipis tidak bakal mengurangi nafsu untuk terus mengeksploitasi. Namun , kebutuhan energi-tak-terbarukan yang meningkat membuat banyak negara krisis. Pada masa itu , kita mungkin bakal bertempur—dengan bendo atau pistol—demi sekaleng bensin atau air bersih.
Sebuah laporan yang dilansir Newsweek menjelang final hidup edisi cetaknya menunjukkan kepada kita , gimana kenaikan suhu dunia 1ยบ Fahrenheit saja membuat kemerosotan produksi materi pangan utama dunia (jagung , gandum , dan beras) hingga 20 persen. Kejadian kecil pada cuaca membuat pedagang tempe kita blingsatan beberapa waktu lalu.
Baiklah kita sadari dan renungi bersama , hidup bukan melulu soal terompet tahun gres , Shahrukh Khan , James Bond , Sinchan , atau Gangnam Style. Bukan hanya ritus membanjiri outlet atau mal-mal untuk menyerbu diskon merek ternama. Dunia global juga ialah limbah kebudayaan dan sampah peradaban , yang menumpuk-menggunung tanpa kita siap menghadapi itu semua.
Jawaban Kebudayaan
Maka celakalah sebuah bangsa , sebuah negara , jikalau para pemimpin atau calon pemimpinnya tidak memiliki kesadaran , visi , bahkan imajinasi yang cukup lapang mengenai tantangan-tantangan kritis di atas. Kebesaran sebuah bangsa diukur dari seberapa adekuat bangsa itu—dihela para pemimpinnya—merespons semua masalah yang sekarang berdimensi global itu.
Perlukah penyelesaian bersifat universal untuk kemudian diterapkan di tingkat lokal? Atau kita mengakselerasi dunia lokal untuk menawarkan balasan ke dunia global? Bagaimana visi sebuah negara-bangsa , apa taktik kebudayaan yang harus mereka susun dan tetapkan?
Akan jadi peristiwa bila sebuah bangsa atau negara justru diisi oleh para pemimpin dan kandidat yang melulu sibuk , mengeluarkan miliaran bahkan triliunan rupiah , hanya untuk mempersolek dan memoles gincu urat malunya. Akan menjadi kenistaan sejarah (historic embarrassment) jikalau kita , satu bangsa , memagarkan pemimpin dan calon pemimpin dengan hasrat kekuasaan di bibir , memagarkan anak dan cucu kita menghadapi tantangan berat di zamannya , tidak dengan bekal yang kita cukupkan , tapi justru dengan sisa sumber daya yang keropos.
Tidak perlu informasi murahan atau speculative analysis dari para peneliti atau pakar bodong aneh yang menyatakan ada peradaban besar atau kejayaan kebudayaan di negeri ini pada masa lalu. Indonesia , tetap perlu menyadari , sebagai sebuah negeri—sebelum menjadi negara atau bangsa—tetap sebuah peradaban yang tidak bisa diremehkan. Ratusan tradisi ahli masih bertahan dan menjadi bukti di dalamnya.
Karena itu , di sini , Nusantara yang laut ini , ialah naif jikalau kita merasa tak bisa menemukan balasan atas semua masalah di atas. Jutaan rakyat dan ratusan tradisi bekerjsama telah menjawab lewat trik mereka melakoni hidup , survive , dan tetap tumbuh. Kenaifan , mungkin kebebalan juga , justru terasa di kalangan elite atau para penentu kebijakan publik , yang tidak bisa menemukan balasan kebudayaan.
Krisis terjadi atau kian parah justru dari kalangan yang paling menikmati surplus dari negerinya sendiri. Ia melahirkan sebuah prosedur yang sistemik , yang menggaransi comfort zone dari hedonisme bermuka gres itu. Politik ibarat itu bukan politik yang ideal-reflektif , tapi cenderung banal-destruktif. Memang , terlalu kurang pandai dan hina jikalau masalah sebesar ini diserahkan hanya kepada politisi.
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tantangan Sebuah Bangsa"