Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Saatnya Orang Non-Jawa

Radhar Panca Dahana

Satu dari beberapa isu beraroma mistis menyampaikan keberhasilan Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta menjadi semacam penyempurna dari gagalnya serangan masif yang dilakukan Raja Mataram Sultan Agung , pada Batavia hampir empat periode yang lalu.

Ada pula yang menyampaikan sukses Jokowi menaklukkan Jakarta karna setrik etimologis keduanya bermakna sama. Jakarta bisa merupakan turunan dari Jayakarta (Makna: kemenangan yang gemilang) , tapi bisa juga peleburan kata ”jaka” dan ”karta” (Makna: lelaki yang sukses meraih hasil usahanya). Sementara ”joko” yang berMakna lanang bener alias lelaki sejati yang memiliki sifat dan kapasitas ”widodo” yang beruntung , selamat , dan sukses dalam usahanya.

Gathuk , kata orang Jawa. Jodohlah Jokowi dan Jakarta. Perjodohan yang seolah memberi legitimasi atau validasi bagi anggapan sebagian kalangan ihwal pemimpin bangsa ini yang lumrah (bahkan wajib)-nya berasal dari suku Jawa. Cukup banyak , tentu , argumentasi untuk premis bernafsu yang bersama-sama masih berupa pra-anggapan ini.

Terlebih ketika banyak survei menawarkan gimana popularitas dan elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden meroket begitu hebat , melampaui nama- nama ambisius yang sudah berkampanye-sembunyi selama ini. Plus , dua nama berpengaruh yang menyusul di belakangnya pun berkait erat dengan suku dominan di Indonesia itu: Prabowo Subianto dan Megawati.

Demokrasi yang tergelincir

Pra-anggapan itu sudah lebih setengah periode mengeram di balik bilik kesadaran publik. Ia bukan hanya (seakan) memustahilkan calon-calon potensial yang berasal dari luar atau non-Jawa , melainkan juga memberi posisi puncak bagi mereka yang tidak Jawa hanya pada RI-2 alias wakil presiden. Karena itu , sebelum ia menjadi sebuah tabu politik , menjadi fatsun yang mengharamkan , pra-anggapan yang tergelincir itu perlu dibongkar segera semoga negeri ini dan bangsa ini tak terjerumus dalam kepandiran infinit atau kekeliruan fatal yang terbudayakan sehingga jadi tragedi pada nantinya.

Sudah saatnya prosedur politik dan seleksi kepemimpinan negeri ini dilucuti dari banyak sekali pertimbangan , pola , atau hal-hal yang bersifat mistis dan mitis , segimana yang selama ini terjadi. Sudah saatnya pula pemimpin atau kepala kawasan di seluruh negeri ini tak lagi mengandalkan kekuatan , moral , sosial , kultural , atau spiritual yang berlandaskan pada perhitungan yang ilogis , supranatural , atau logika yang ”akal-akalan”. Terutama bila menyangkut hajat hidup sebuah bangsa di mana di dalamnya terhimpun ratusan keyakinan , adat , juga kepercayaan yang tidak mungkin ditunggalkan.

Sejarah negeri ini bersama-sama tidaklah merasa gila dengan kepemimpinan yang berasal dari negeri gila , baik antarsuku lokal maupun bangsa mancanegara. Terlebih bagi orang Jawa yang setrik khusus jadi etnik dominan bangsa dan dianggap menjadi variabel yang desisif proses pengambilan keputusan yang bersendi pada ilham ”demokrasi”.

Seperti sama kita mafhumi , bila ilham itu dijadikan landasan pengambilan putusan , mungkin kita tak bakal pernah memiliki bahasa Indonesia sebagai persatuan. Bahkan boleh jadi dasar negara atau landasan konstitusional kita tidak bakal seluas dan sedalam visinya menyerupai yang kita ketahui dan kagumi dikala ini. Bisa dibayangkan , bila suku Jawa menggunakan senjata ”demokratis”-nya , apa yang bakal kita warisi dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 , contohnya , ialah benih kekuasaan yang tiranik.

Mungkin saja , kekeliruan-kekeliruan regulasional bahkan (tafsir) konstitusional selama ini terjadi karna begitu mudahnya kita menyerahkan proses yang penuh kearifan dan kebijaksanaan itu pada proses yang melulu—membuat politik—bermuara pada transaksi , kekuasaan , uang , akomodasi , sampai seks. Dan kita , terutama elite dan pihak pemerintah , cukup pengecut untuk mengakui itu. Sebab mereka menganggap legalisasi bakal hal itu bakal menyudutkan mereka ke posisi pariah dalam pergaulan internasional. Berpra-anggapan , dengan menjalankan kearifan politik sendiri , bangsa ini bakal dinafikan , dikucilkan , bahkan bakal di balkanisir atau dimusimsemikan.

Tentu saja hal itu tidak benar. Tidak manis untuk jadi panutan. Karena ia dibalut oleh selendang-selendang pesolek demokrasi yang menutupi justru kepercayaan diri. Sesungguhnya kita memiliki modal , dasar , juga latar historis yang berpengaruh untuk jadi bangsa yang lebih pandai balig cukup akal ketimbang menjadi lelaki yang berlagak macho , tapi feminin itu.

Orang Jawa , bahkan sampai hari ini , dipercaya oleh para petinggi adat (keraton-keraton) semenjak berabad yang kemudian , menganggap genealogisnya justru dari luar Jawa: India tepatnya. Sekurangnya berdasarkan Mangkunegara IV , leluhur itu berjulukan Ajisaka yang tiba pada 78 Masehi , waktu yang juga dipakai sebagai awal kalender Jawa (Saka).

Bahkan untuk realitas eksistensial , orang Jawa ”berani” memasrahkan dirinya pada ”orang asing” (walau bersama-sama Jawa jauh lebih bau tanah dari itu) , setidaknya memberi kita indikasi kelapangan diri orang Jawa untuk sebagian dirinya pada mereka yang berasal dari ”luar”. Kematangan kultural semacam ini tentu bukan omong kosong , ketika kita tahu contohnya , Aki Tirem , penguasa wilayah Jawa Barat di awal Masehi , menyerahkan kerajaannya—juga putri sulungnya— kepada pelarian dari India Selatan (Bharata) , Dewawarman dan menegakkan kerajaan Hindu atau Arya pertama di kepulauan ini , Salakanagara.

Begitupun kerajaan-kerajaan awal menyerupai Tarumanegara di Bogor sampai Kutai di Kalimantan , dibangun juga dipimpin oleh pelarian-pelarian Bharata lainnya. Setrik internal , di antara etnik-etnik lokal , kita juga sama mengerti gimana Dapunta Hyang yang dianggap sebagai perintis kerajaan maritim besar Sriwijaya , menurunkan sebuah wangsa (Syailendra) yang kemudian menguasai Jawa sampai terbentuknya Kerajaan Mataram Kuno (717-760) dengan wangsa Sanjaya sebagai pelanjutnya.

Orang Jawa juga sangat tidak keberatan ketika para rohaniwan atau wali-wali agama suci , yang jadi pemimpin informal bahkan formal kerajaan , juga ternyata banyak berasal dari negeri seberang: Gujarat , Palestina , China , Yaman , Persia , bahkan Turki dan Samarkand. Lihatlah Wali Sanga , contohnya , bila kita menelusurinya sebagai sebuah majelis yang terus berganti anggota.

Dengan telusuran sejenak sejarah kita itu , mestinya kita paham: ada semacam kearifan lokal yang membuat kita cukup matang untuk tak hanya menghargai ”pendatang” dalam jiwa yang toleran , kosmopolit , dan multikultural. Juga memberi peluang para ”pendatang” itu untuk memimpin , bila memang ia berkapasitas dan memiliki loyalitas penuh serta teruji pada komunitas di mana ia hidup selama ini.

Pemimpin maritim

Barangkali suku Jawa banyak melahirkan ”orang besar” , sebutlah nama menyerupai Soekarno , Cokroaminoto , sampai Soeharto. Namun non-Jawa juga melahirkan ”orang besar” yang sama dan tidak lebih minor kualitas serta kapasitasnya. Sebutlah mulai Hatta , Yamin , Agoes Salim , Nasution , Ratulangi , Teuku Umar , Hasanudin , sampai Pattimura.

Daerah-daerah itu bersama-sama ialah kebun lain dari kecambah para pemimpin bangsa yang penuh kualitas luar-dalamnya. Mereka umumnya ialah perantau , segimana budbahasa maritim membentuk mereka dan nenek moyangnya. Realitas eksistensial yang sesungguhnya membuat mereka lebih bisa melihat horizon yang lebih jauh , mengakrabi keasingan (dan mengasimilasinya ke dalam diri) , mengenali dengan sangat baik peta geografis dan demografis negeri yang dibangun oleh 13.000 lebih pulau dan sabuk-sabuk maritim yang mengikat kesatuannya.

Ya , sabuk maritim atau selat-selat negeri maritim itulah yang membuat kearifan lokal itu. Ia tak hanya melahirkan kedewasaan dalam soal menentukan pemimpin , tapi juga menandakan pada dunia gimana ia tetap kencang menjaga kesatuan kita (sebelum ia diobrak-abrik setrik keji oleh nafsu ekonomi kapital dan politik demokratis belakangan ini).

Kita , bangsa ini , juga orang Jawa , tidak lagi memiliki argumentasi cukup untuk menolak maju dan naiknya pemimpin non-Jawa sebagai pemegang kendali negeri dan pemerintah negara ini. Tunjukkanlah pada diri sendiri , tak perlu kepada dunia , bahwa Indonesia ialah sebuah negeri dan bangsa yang sudah matang dalam budaya politiknya , dalam budbahasa yang dikembangkannya. Usia 68 tahun itu , betapapun suci maknanya , dalam realitas kontemporernya bersama-sama hanyalah semacam usia baju gres yang kita beli di toko-toko yang berjajar di Champs Elysee atau Street Gallery di Tokyo dan New York. Tentu bila ia dibandingkan angka milenia yang menjadi usia sejarah bangsa ini.

Radhar Panca Dahana , Budayawan

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Saatnya Orang Non-Jawa"

Total Pageviews