Acep Iwan Saidi
Pulang yaitu salah satu momen terindah dalam perjalanan. Dalam pulang , kita bayangkan orang-orang yang ditinggalkan sedang menunggu , setidaknya terhadap dongeng yang hendak kita dedahkan.
Dalam semiotika , pulang yaitu sebuah tanda bahwa insan hidup dalam siklus yang tak pernah putus. Saat sebelum pergi , perjalanan yaitu masa depan , sedangkan titik berangkat yaitu sejarah. Saat pulang , situasinya jadi terbalik. Perjalanan yaitu sejarah , tentu dengan sejuta kisah. Sejarah yang indah yaitu dikala ia memberi kenangan , sekaligus kenang-kenangan. Itu sebabnya , dikala pulang , sang pengembara selalu berusaha membawa buah tangan. Itu sebabnya pula , pengembara sejati selalu berusaha memberi makna pada setiap lekuk perjalanan. Bahkan , naluri untuk membuat segalanya bermakna memang telah ada dalam diri setiap manusia. Salah satu penanda di lapis terluar , para pelancong (turis) biasanya tidak pernah lupa membawa kamera.
Hal ini menandai bahwa jauh di bawah tak sadarnya , insan memiliki keyakinan bahwa hidup yang berMakna yaitu gambar abadi. Hidup itu sendiri , segimana dikatakan Nettis (1965) dalam Schroeder (2005) memang tak lebih dari rangkaian gambar.
Pulang massal
Begitulah , setidaknya sekali dalam setahun kita menyaksikan insiden pulang yang massal: pulang kampung Lebaran. Mudik yaitu ”mekanisme tak sadar” bahwa pengembaraan minta dikisahkan kepada orang-orang yang ditinggalkan di tanah asal , sang ”ibu kandung kebudayaan”. Kamera butuh dibuka untuk orang lain , juga diri sendiri.
Tentu banyak trik gimana kisah itu diMaknakulasikan: sanggup dengan oleh-oleh , dengan yang ditampilkan , hingga dengan sekadar bualan. Tuntutan tak sadar ini menjadikan bahwa pulang kampung tidak pernah sanggup ditunda. Bahkan untuk seseorang yang notabene tidak ingin lagi mengenal kampung halamannya sendiri , pulang tetap diperlukan. Kita sanggup catat ini , setidaknya melalui kisah Malin Kundang.
Pulang sebagai insiden budaya sedemikian gayung bersambut dengan pulang sebagai insiden spiritual. Semua Muslim tahu belaka bahwa Idul Fitri yaitu sebuah titik kepulangan , ruang bagi berkumpulnya insan yang kembali suci. Dalam kajian narasi , Idulfitri yaitu sebuah momen flashback dalam alur kehidupan. Ramadhan jadi miniatur wacana gimana perjalanan pulang ke ”ruang suci” tersebut harus ditempuh , yakni dengan menahan diri (shaum) dari lapar dan dahaga , dari segala hal yang dimotivasi hasrat.
Bagaimana jalan spiritual itu sanggup sinkron dengan jalan budaya? Mengapa pulang kampung justru ditempuh dengan hiruk-pikuk? Mengapa pulang dalam Idulfitri malah cenderung menjadi ”jalan petaka” ketimbang kedua jalan tadi? Pertanyaan ini tak gampang dijawab. Mudik dengan fenomena mengerikan sedemikian tidak sanggup dilihat hanya dari lapis luar sebagai ”euforia pulang”. Itu terjadi lantaran sejauh ini pemerintah memang tak melihat pulang kampung sebagai insiden yang berkaitan dengan spiritualitas dan kebudayaan. Mudik hanya dilihat sebagai massa yang pulang ke kolot Setelah sebulan berpuasa.
Karena timbangannya hanya hingga di situ , pulang kampung tak pernah digarap maksimal sebagai insiden besar yang bermakna dan bernilai tinggi bagi kehidupan beragama , apalagi berbangsa. Penanganan pulang kampung sangat menyedihkan. Karena infrastruktur pulang kampung yang morat-marit , korban akhir kecelakaan selama prosesi ini pun besar. Tahun 2012 , hampir 1.000 orang. Perang selama dua pekan belum tentu menelan korban sebanyak ini. Anehnya , pemerintah menganggap sepi. Seperti biasa , tak ada pernyataan apa pun dari kepala negara.
Korban dengan jumlah besar juga disebabkan fakta , yang menangani pulang kampung hanya Kementerian Perhubungan dan kepolisian. Sepanjang sejarah pulang kampung , kita tak pernah mendengar kementerian yang membidangi kebudayaan , contohnya , turut mengawal. Padahal , jikalau pulang kampung disikapi sebagai insiden kebudayaan , banyak jadwal yang sanggup dibentuk oleh kementerian ini. Sebagai pola , pulang kampung sanggup jadi ”hajat budaya dan pariwisata kolosal” dengan membuat sepanjang jalur pulang kampung menjadi ”rute budaya dan pariwisata tahunan”.
Jika digabung dengan Kementerian Agama yang membuat jadwal ”mudik spiritual” , bakal lahir sebuah atrik besar: bolehlah kita beri nama , ”mudik sebagai perjalanan budaya dan pariwisata spiritual”. Sayang , dalam soal Ramadhan , Kementerian Agama lebih banyak terpaku pada soal-soal formal dan balasannya tak kreatif. Ketimbang memotivasi umat berperilaku spiritual , dengan sidang isbatnya kementerian ini justru lebih suka buat ”kegaduhan” pada awal dan tamat Ramadhan.
”Pulang kecil”
Akan tetapi , sepakat , terlepas dari plus-minus penanganannya , Agar pulang kampung kali ini menjadi insiden yang ”nikmat dan bermanfaat”. Kita memang masih menemukan jalan raya yang rusak di sana-sini dan hanya diperbaiki dengan grasa-grusu menjelang Idulfitri , tetapi mudahan-mudahan itu bukan representasi pemerintah dan bangsa yang rusak. Semoga pulang kampung kali ini jadi refleksi bagi semua pihak: sesungguhnya pengembaraan insan di dunia yaitu perjalanan menuju pulang.
Silaunya mata lantaran sinar dunia menjadikan seperti kita sedang berjalan ke depan. Padahal , jikalau kita sadar sejenak saja , langkah kita bahwasanya menuju titik akhir. Kita sedang melangkah ke belakang , ke sebuah titik daerah dulu diberangkatkan. Dan , sekali lagi , pulang dalam Idul Fitri hanyalah sebuah miniatur , sebut saja sebagai ”pulang kecil”. Maka Agar ”pulang kecil” kita kali ini membawa kenangan dan kenang-kenangan. Selamat Idul Fitri!
Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pulang"