Radhar Panca Dahana
Seniman itu ”eksentrik” , ”urakan” , ”susah diatur” , ”semau gue” , dan sebutan-sebutan lain yang memberi semacam privilese atau ”kejaizan” untuk keluar atau melanggar tertib sosial , baik setrik yuridis , normatif , manajerial , maupun adat. Sebuah otoritas yang kemudian dipahami setrik keliru sebagai potongan dari licentia poetica.
Cara kerja—bahkan trik hidup—yang diyakini menyerupai itu , dianggap oleh banyak kalangan memungkinkan seniman memperoleh pikiran atau gagasan yang segar , aneh , alternatif , lain dari yang lain , yang nonlinier , yang out of the box. Dengan trik itu pula kreativitas bisa terjadi dan berlangsung setrik dinamik , bahkan sebagian lain menganggapnya sebagai conditio sine qua non bagi keberadaan seorang seniman.
Kondisi , trik berpikir , hingga pola hidup menyerupai itu sudah saatnya kita pertimbangkan kembali untuk tidak mengatakan: stop! Apa yang menjadi selimut dari trik berpikir , bersikap , hingga bertindak di atas tidak lain yaitu sebuah romantisme yang agak psikotik ihwal posisi dan tugas seniman yang ”berbeda” dari elemen-elemen sosial lainnya. Berbeda dengan kaum akademisi , politik , pedagang , agamawan , dan sebagainya. Seniman yaitu makhluk atau insan khas yang dilahirkan untuk ”beda” dari insan yang lain.
Saya belum meneliti , dari mana anggapan emosional atau praasumsi ini bisa muncul. Bisa jadi romantisme ini muncul dari riwayat hidup banyak seniman besar pada masa kemudian , di dalam ataupun di luar negeri yang diisi oleh banyak insiden unik , avonturisme besar , hingga watak atau sikap senimannya yang membuat masyarakat umum atau mainstream terkejut dan merasa aneh. Dan masyarakat umum pun menyerupai memberi permakluman atau permisivitas yang cukup tinggi , ketika keganjilan , bias bahkan deviasi itu dikaitkan dengan (ke)seniman(an).
Romantisme itu menjadi semacam basil yang menular dikala seorang seniman atau calon seniman membaca riwayat penuh penderitaan dari seniman besar macam Moliere , Dostoyevski , hingga Pramoedya , atau seniman avontur yang penuh kelas menyerupai Picasso , Hemingway , Baudellaire , hingga Raden Saleh dan Chairil Anwar , atau seniman urakan bahkan patetik yang selalu rapi , dan tampil flamboyan menyerupai Riviera , Mozart , hingga WS Rendra , dan seterusnya.
Idealisasi romantik semacam ini mengundang banyak kasus , apalagi ketika ia berproses dan menuju pada sebuah anggapan umum seniman itu yaitu semacam stranger in a town. Lebih-lebih bila itu menjadi sebuah sikap yang menolak organisasi , administrasi , disiplin , dan ketertiban sebagai racun bahkan lawan dari kesenimanan dan kreativitas. Ada sekurangnya lima alasan yang bisa disebut untuk itu.
Kekeliruan kreatif
Pertama , kita keliru bila mengambil pola sikap kesenimanan atau kreatif dari nama-nama besar di atas untuk kita terapkan sebagai gaya atau pola hidup kita sehari-hari , tanpa impuls apa pun yang khas dari hidup sehari-hari itu. Apa yang terjadi dalam hidup para seniman besar di atas bukanlah gaya yang mereka bentuk dengan sengaja , melainkan semacam sikap atau respons dari realitas atau kenyataan kontemporer mereka. Dan sikap itu muncul dari sebuah renungan , dari efek yang mereka sanggup atau rasakan , dari pendirian intelektual-filosofis bahkan spiritual yang mereka bangun.
Sifatnya situasional. Jauh dari romantisme apalagi kegenitan dalam trik berbusana , penggunaan tambahan , panjang rambut , hingga trik berbitrik dan berbahasa badan yang Maknafisial atau dibuat-buat. Ada argumentasi yang besar lengan berkuasa katakanlah dari ”rambut gondrong” , ”baju hitam” , atau ”celana penuh sobekan” dari para seniman historis di atas ketimbang sekadar impuls murahan hanya untuk dikatakan ”berbeda”.
Kedua , sikap romantik di atas sanggup menjadi kerugian personal bahkan komunal. Terutama jikalau ia terjadi melalui proses peniruan atau semacam epigonisme. Termasuk di antaranya pemeo menggelikan di kalangan seniman—kebanyakan sastrawan—yang menyatakan , ”Adalah kesalahan mencuri buku , tetapi dosa besar bila mengembalikan buku yang dipinjam.” Akibatnya , banyak buku di perpustakaan yang pindah ke rak buku pengarang , hingga tak kurang dari 1.000 judul buku hilang dari perpustakaan pribadi saya. Ini bukan lagi sekadar romantisme , melainkan sudah menjadi vandalisme.
Ketiga , eksentrisitas dan urakanisme kalaupun itu ada bahwasanya bukanlah milik sah atau privilese dari kaum seniman saja. Sikap semacam itu juga ada pada pemikir-filosof Michel Foucault , diktator macam Hitler dan Stalin , fisikawan Albert Einstein , bahkan pada pemimpin politik macam Abraham Lincoln dan Soekarno. Ini yaitu sebuah sikap yang menolak kemapanan , menolak sistem yang berlaku (established) , atau sikap revolusioner dikala menentang rezim usang (dalam politik , ekonomi , bahkan ilmu pengetahuan). Dia bukan trik hidup yang harus kita praktikan bahkan selebrasi ketika realitas sekitar kita tak memberi alasan untuk itu , bahkan mungkin tersenyum geli karnanya.
Keempat , hal yang sangat penting , kesenian yaitu sebuah bidang atau jalan hidup yang menempatkan disiplin setrik integral di dalam dirinya. Tak ada karya yang baik sanggup diproduksi setrik kreatif tanpa sebuah disiplin yang keras berproses di baliknya. Dan , mungkin tidak banya disadari , disiplin yaitu kata dasar dari apa yang kemudian kita sebut sebagai organisasi , administrasi , atau sistem di mana tertib dan keteraturan menjadi buah yang ditanaknya.
Tak ada kesenian baik tanpa disiplin , tak ada kesenian elok tanpa organisasi. Apa pun cabang kesenian yang dipilih seseorang , organisasi sudah menjadi prakondisi untuk melahirkan sebuah karya. Bukankah sebuah organisasi yang disiplin untuk menyusun potongan , bagian-bagian kisah , plot , huruf , hingga opening dan ending dari sebuah novel? Bukankah sebuah lukisan tidak lain yaitu organisasi luar biasa dari titik , garis , bidang dan warna? Bukankah larik atau bait yaitu organisasi kata-kata yang disusun dengan ketat dan penuh disiplin? Dan gimana Anda bitrik ihwal sebuah pertunjukan , teater , musik atau tari? Apa tidak keseluruhannya yaitu kerja disiplin organisasi yang berlapis?
Vitalitas organisasi
Organisasi bukan saja tak terhindarkan , tetapi ia yaitu sebuah realitas natural dari kesenian. Penolakan atas nama romantisme sudah saatnya diakhiri dikala ini. Tidak bakal muncul sebuah karya yang baik , yang besar , yang beramplitudo dan bermagnitud tinggi , yang kanonik , tanpa disiplin , tanpa organisasi. Seni dan seniman Indonesia sudah hampir setengah kala menyampingkan , menafikan atau alergi terhadap hal ini. Mungkin ini salah satu penyebab stagnasi kualitas dari karya-karya sastra mutakhir kita.
Situasi di atas menunjuk pada hal kelima , di mana organisasi di tingkat komunal pun dianggap sebagai ancaman yang membahayakan para seniman. Selain alasan-alasan individual di atas , alasan komunal ini bahwasanya juga Maknafisial bahkan cenderung psikosis. Alasan itu tidak menurut pada realitas yang rasional dan faktual , tetapi lebih pada realitas historis yang traumatis bahkan patologis. Realitas historis itu muncul dari pengalaman para seniman , pengarang terutama , pada masa tahun 50-an dan 60-an. Masa di mana para seniman dan pengarang dikotak-kotak oleh banyak sekali organisasi yang menjadi onderbouw atau sayap kepentingan kelompok atau partai politik tertentu.
Ini saatnya bagi seniman , mereka pengarang-pengarang terbaik dan terpenting yang berkumpul dalam Pertemuan Pengarang Indonesia 2012 di Makassar , November kemudian , untuk berani melucuti diri—baik setrik personal maupun komunal—dari stigma , syok , juga romantisme yang menyesatkan bahkan justru mengancam di atas. Ini pula saatnya kita , para pengarang , memulihkan kesatuan di masa usaha republik dulu , memadatkan kekuatan kolektif serta membentuk sinergi yang memungkinkan kesusastraan Indonesia mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Kemampuan yang bahwasanya terpendam menjadi potensi sebab dikubur oleh hal-hal di atas. Kemampuan sinergis yang mestinya memberi peluang kesusastraan dan kesenian pada umumnya untuk mengambil tugas historis dan kultural yang ada padanya—setrik natural dan nurtural—dalam dinamika atau proses perkembangan/pembangunan bangsa yang sedang berjalan. Sinergi dan tugas sosiokultural yang selaiknya mempertinggi posisi tawar kesusastraan dalam berhadapan dengan stakeholders atau elemen-elemen sosial lainnya.
Asosiasi pengarang pada karnanya yaitu sebuah kekuatan besar yang bakal mempertahankan dan membela semua kepentingan pengarang di luar kasus Maknastik yang menjadi domain langsung setiap pengarang. Namun , semacam asosiasi ini , bakal memperjuangkan kebutuhan , kepentingan , hingga martabat setiap pengarang pada semua kasus , dari ekonomi (pajak , royalti , honor , honor , dan sebagainya) hingga kasus politik (hak , kebebasan , pendapat , dan sebagainya) hingga kasus yuridis (pelanggaran hak , urusan keamanan , penuntutan , dan sebagainya).
Inilah momen sejarah di mana pengarang menetapkan setrik sadar tugas dan kekuatannya , bukan dalam romantisme masa kemudian , melainkan dalam optimisme ke masa depan. Selain karya yang elok , pengarang masa sekarang juga mendapat peluang memberi warisan kepada generasi berikut ihwal visi dan orientasi kebudayaan yang memberi arah dan pola ke mana sebuah bangsa bakal ditujukan. Pada dikala yang bersamaan , kita mengobati dan menyembuhkan luka-luka sejarah yang tertinggal menjadi koreng bahkan tumor yang mengganggu metabolisme badan kreatif kita.
Atau kita masih menunggu lagi? Hingga bila? Sambutlah tangan ini , kita bersama , berorganisasi , berasosiasi.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Saatnya Pengarang Bersinergi"