Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Solusi Komprehensif Terorisme

Azyumardi Azra

Penanganan radikalisme dan terorisme , apalagi yang membawa-bawa semangat dan justifikasi keagamaan , terang sangat sulit , rumit , dan rawan.

Jika pegawapemerintah keamanan—dalam hal ini Densus 88—tidak hati-hati menanganinya , yang sanggup terja- di yaitu bundar setan kekerasan yang sangat sulit dihenti- kan. Celakanya lagi , bundar se- tan kekerasan itu tercipta di antara pegawapemerintah kepolisian yang mewakili negara sehingga mengakibatkan kesan adanya state terrorism pada satu pihak melawan non-state actors of terrorism.

Tak kurang celakanya bagi kehidupan berbangsa-bernegara ialah kian menguatnya kesan bahwa perang melawan terorisme mirip pertempuran Jalut melawan Thalut Daud di dalam Al Alquran atau Goliat versus David dalam dongeng Biblikal. Dalam penghadapan mirip ini , sanggup kian bertumbuh rasa tenggang rasa di kalangan masyarakat kepada Daud. Psikologi sosial-keagamaan ini sanggup memunculkan religious backlash dari kalangan masyarakat keagamaan yang terklaim direpresentasikan para pelaku kekerasan dan terorisme.

Dinamika proses sosio-keagamaan itu semestinya dicermati Densus 88 dalam menangani radikalisme dan terorisme. Terus terulangnya kekerasan pegawapemerintah yang dipandang kian banyak kalangan masyarakat sebagai berlebihan hanya membuat pendekatan keamanan semakin jauh daripada sanggup memenangkan pertarungan. Sebaliknya , pendekatan keamanan kian kontraproduktif , bahkan cenderung makin menerima perlawanan dari masyarakat yang tidak punya relasi dengan radikalisme dan terorisme.

Semua tanda-tanda ini terlihat dalam kasus terakhir di Poso saat Densus 88 menewaskan terduga terorisme , Nudin alias Bonda (10/6). Nudin yang sedang mengendarai motor ditembak mati Densus 88 alasannya ”katanya” melawan saat hendak ditangkap. Reaksi segera muncul: masyarakat yang murka memblokade jalan lintas Sulawesi dan berunjuk rasa di depan polres. Syukur , massa dan Polisi Republik Indonesia tidak lepas kontrol sehingga keadaan tidak terjerumus ke dalam lubang hitam (kekerasan) tanpa dasar.

Sosio-kultural keagamaan

Pendekatan penegakan aturan niscaya sangat perlu , tetapi terang bukan satu-satunya trik. Karena itu , pendekatan ini saja tak efektif. Dan sebaliknya , mirip terlihat dalam kasus Poso terakhir ini , terlihat sanggup jadi kontraproduktif. Saran gosip utama Kompas (12/6) , ”Carikan Solusi Tepat untuk Poso” , sangat perlu dipertimbangkan Densus 88 dan pegawapemerintah kepolisian umumnya , pemerintah lokal dan sentra , masyarakat sipil , baik berbasis agama maupun LSM pemantau , dan advokasi semacam Komnas HAM , forum perdamaian.

Solusi komprehensif penyelesaian radikalisme dan terorisme mesti melibatkan pendekatan sosio-kultural keagamaan. Sayangnya , pendekatan sosio-kultural keagamaan di tengah disorientasi nilai masyarakat mengalami krisis pula alasannya adanya perubahan politik sangat cepat di tingkat lokal dan nasional , terus meluasnya verbal kebebasan verbal , dan kian terpaparnya masyarakat Indonesia pada gagasan dan praksis transnasional teroristik.

Apalagi sejauh ini pendekatan ini kelihatannya hanya dipakai sporadis dan ad hoc dengan terutama melibatkan pemimpin dan tokoh keagamaan lokal. Namun , mereka sering diperlakukan mirip pemadam kebakaran. Ketika api kekerasan bernyala-nyala barulah mereka dipertemukan untuk memadamkan pengecap api yang tengah membakar.

Karena itu , pendekatan sosio-kultural keagamaan memerlukan revitalisasi dan pemberdayaan melalui pertolongan kesempatan lebih besar dalam upaya solusi radikalisme dan terorisme. Meski ada krisis , kepemimpinan sosial , kultural , dan keagamaan tetap masih memiliki potensi besar memperkuat kembali jalinan tenunan masyarakat. Dengan revitalisasi kepemimpinan ini , masyarakat bersangkutan sanggup merajut kembali kohesi dan solidaritas sosial yang perlu untuk penguatan sistem dan prosedur pencegahan dini dari infiltrasi anasir yang mengganggu pertahanan diri mereka.

Tak kurang pentingnya , dalam konteks pemberdayaan itu perlu kerja sama kepemimpinan sosio- kultural keagamaan lokal dan nasional. Pihak terakhir ini melalui jaringan ormas sosial-keagamaan semenjak tingkat nasional hingga ke lokal memiliki leverage , wibawa moral melaksanakan persuasi pada kepemimpinan lokal guna pencegahan kekerasan dan mengarahkan menuju perdamaian. Pemerintah—khususnya Kemenag dan Kemdikbud—wajib memfasilitasi mereka seperlunya.

Sosio-ekonomi

Solusi komprehensif terhadap radikalisme dan terorisme niscaya tak lengkap tanpa pendekatan so- sio-ekonomi. Meski tak ada relasi yang meyakinkan antara kemiskinan dengan radikalisme dan terorisme , terang masyarakat yang nestapa setrik sosial-ekonomi lebih rentan. Apalagi jikalau terdapat kepincangan dan ketakadilan di antara banyak sekali lapisan masyarakat , yang membuat mereka jadi rumput kering yang sangat gampang terbakar.

Sebab itu , perlu pemberdayaan sosio-ekonomi masyarakat bersangkutan , khususnya cukup umur dan perjaka yang memang sangat rentan terhadap infiltrasi gagasan dan praksis radikalisme dan terorisme. Pendekatan ini sanggup jadi langkah efektif mencegah terjerumusnya warga muda bangsa ke dalam tindakan merusak diri sekaligus negara-bangsa.

Tak kurang pentingnya , pemberdayaan sosio-ekonomi pelaku terorisme yang dipenjarakan , kemudian telah selesai eksekusi masing-masing dan kembali ke masyarakat. Sudah bukan belakang layar lagi , banyak di antara mereka tak memiliki pekerjaan menafkahi keluarga masing-masing. Selain terbelenggu stigma sebagai mantan narapidana , mereka tak punya pengetahuan , keterampilan , dan modal memulai usaha. Dalam keadaan mirip ini , mereka lebih rentan kembali kambuh jadi pelaku terorisme.

Pemerintah—Kemsos , Kemenakertrans , Kemenkop dan UKM , serta Kementerian BUMN—wajib memfasilitas training , penyaluran lapangan kerja , dan permodalan bagi mantan pelaku terorisme. Dengan memiliki pekerjaan dan penghasilan menafkahi diri dan keluarga , mereka sanggup kembali memiliki harkat dan martabat. Dengan begitu , mereka lebih tangguh lahir batin menghadapi godaan dan basuh otak menempuh jalan pintas jadi ”pengantin” melalui bom bunuh diri.

Azyumardi Azra , Guru Besar Sejarah , Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Solusi Komprehensif Terorisme"

Total Pageviews