Azyumardi Azra
”Konspirasi”. ”Persekongkolan”. Istilah ini kembali menyeruak ke depan publik persis final Januari 2012 pascapenahanan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq oleh Komisi Pemberantasan Korupsi alasannya yaitu dugaan terlibat suap bersama tiga tersangka lain yang diduga juga terlibat rasuah.
Para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) umumnya menyatakan , penahanan Luthfi yaitu sebuah konspirasi di antara aneka macam kekuatan dalam dan luar negeri untuk menghancurkan PKS menjelang Pemilu 2014. Sementara PKS sudah memasang sasaran untuk meningkatkan perolehan bunyi , menjadi salah satu dari tiga kekuatan politik terbesar di negeri ini.
Bagi banyak kalangan publik Tanah Air dan juga kalangan ajaib yang mengamati perkembangan politik Indonesia , prosedur pertahanan diri PKS dengan menggunakan kepercayaan pada ”teori adanya konspirasi” merupakan upaya kontra produktif. Bagi mereka , trik berpikir ibarat ini , alih-alih sanggup memperbaiki kerusakan yang telah terjadi , sebaliknya justru membuat gambaran PKS kian pudar. Apakah presiden gres PKS , Anis Matta , berhasil dalam ”pertobatan nasional” , konsolidasi partai , dan bakal bisa mencapai sasaran Pemilu 2014 , masih harus ditunggu.
Kelatenan Teori Konspirasi
Adanya kepercayaan dan teori konspirasi yang dipegang individu ataupun kelompok masyarakat bukan hal baru. Gejala semacam ini sudah ada semenjak lama. Orang dan kelompok yang percaya pada konspirasi ini ada baik dalam masyarakat yang masih primitif , masyarakat berkembang , maupun masyarakat maju sekalipun. Pikiran konspirasi laten dalam masyarakat dan negara mana pun , dan sanggup muncul ke permukaan publik sewaktu-waktu.
Berbagai teori dan kepercayaan perihal adanya konspirasi tertentu beredar dalam masyarakat , mulai dari tingkat lokal , nasional , sampai internasional. Pikiran dan persepsi yang dikuasai teori konspirasi juga ada pada aneka macam bidang kehidupan , tidak hanya politik , tetapi juga ekonomi , agama , sosial , budaya , kesenian , dan bahkan olahraga. Di kalangan bangsa Yahudi ada teori perihal persekongkolan aneka macam kalangan internasional semenjak kala pertengahan yang mencapai puncaknya di zaman Hitler dengan holocaust untuk menghancurkan mereka. Di kalangan masyarakat Muslim juga ada teori dan kepercayaan perihal adanya konspirasi Dunia Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.
Di dunia sepak bola , lazim adanya pikiran dan persepsi perihal konspirasi di kalangan para wasit dan hakim garis untuk memastikan Manchester United , Real Madrid , atau Juventus untuk terus memegang dominasi dan hegemoni dalam pertarungan di liga nasional masing-masing. Karena adanya konspirasi semacam itu , hampir mustahil bagi tim-tim sepak bola lain untuk menjadi juara.
Mengapa dan dari mana munculnya kepercayaan terhadap pada teori konspirasi tertentu di kalangan masyarakat tertentu? Karena kelatenan teori konspirasi , para psikolog , sejarawan , antropolog , dan jago politik telah usang pula berusaha menjawab fenomena tersebut. Mereka antara lain berkesimpulan , perilaku percaya orang atau kelompok tertentu pada adanya konspirasi jahat yang mengorbankan mereka pada hakikatnya merupakan problem psikologis. Lebih jauh , dalam kesimpulan banyak jago tersebut , teori konspirasi merupakan manifestasi dari kegoyahan persepsi diri , histeria , delusional dan bahkan paranoia individu dan masyarakat terkait.
Lebih jauh , kepercayaan pada adanya konspirasi juga bersumber dari bias kognitif yang menjadikan distorsi evaluasi terhadap tanda-tanda realitas pahit yang mereka hadapi. Dengan pikiran yang sudah dirasuki teori konspirasi , individu dan kelompok bersangkutan tetap bertahan dengan kepercayaan konspiratif itu meski banyak bukti dan indikasi membantah adanya persekongkolan tersebut.
Meminjam kerangka Tim Melley dalam masterpiece-nya , Empire of Conspiracy (2000) , trik berpikir perihal konspirasi bersumber dari sedikitnya dua faktor; pertama , dikala seseorang atau kelompok memegang sangat besar lengan berkuasa nilai individualistis dan in-group belaka; kedua , dikala individu dan kelompok ibarat itu kehilangan sense of control sehingga mengalihkan problem internalnya kepada pihak lain.
Teori Konspirasi dan Kepercayaan
Apakah teori konspirasi semacam itu benar dan berdasar? Bagi mereka yang terkuasai pikiran dan psikologi konspiratif , hal itu tentu saja benar. Mereka merasa adanya semacam konspirasi melalui semacam spekulasi berkenaan dengan keadaan atau situasi tertentu yang merugikan kepentingan mereka. Namun , dikala diminta bukti-bukti memadai , mereka umumnya tidak sanggup memberikannya. Pengujian ilmiah-akademis perihal aneka macam teori konspirasi yang beredar dalam masyarakat umumnya mengungkapkan , dugaan persekongkolan selalu hampir tidak berdasar dan tidak bisa dibuktikan. Sebaliknya , justru terdapat banyak indikasi dan bukti yang membantah aneka macam teori konspirasi itu.
Sebab itulah , dalam aneka macam kajian ilmiah akademis , pikiran dan teori konspirasi muncul dari diri seseorang atau kelompok alasannya yaitu ketidakmampuan mereka sendiri untuk menjelaskan hal-hal yang dalam persepsi langsung susah mereka pahami setrik logis dan rasional. Misalnya , bagi kalangan internal pihak yang tercekoki pikiran konspiratif , tidak masuk nalar seorang figur pimpinan yang terlanjur sudah tepersepsikan sebagai langsung higienis dan memiliki integritas kemudian sanggup menjadi tersangka dalam kasus suap , gratifikasi , atau bentuk-bentuk KKN (korupsi , kongkalikong , dan nepotisme) lain.
Dengan demikian , pikiran perihal adanya konspirasi sekaligus mencerminkan ketidakmampuan individu dan kelompok untuk mendapatkan dan memahami kesenjangan di antara persepsi diri tadi dengan realitas pahit yang tiba-tiba muncul. Padahal , realitas itu sendiri masih harus diuji dan dibuktikan setrik cermat dalam proses berikutnya , yakni apakah itu merupakan realitas hakiki atau semu belaka.
Karena itu , teori konspirasi lazimnya lebih merupakan prosedur pertahanan diri yang menunjukkan perilaku apologetis dan defensif belaka. Teori konspirasi juga mencerminkan perilaku melemparkan kesalahan dan tanggung jawab internal kepada pihak luar. Dalam konteks kehidupan berbangsa-bernegara dan berjamaah- berumat , percaya kepada konspirasi tertentu terang tidak menolong , sebaliknya sanggup mengikis perilaku saling percaya , mutual trust , yang justru sangat penting dan urgen bagi adanya modal sosial. Dan , modal sosial amatlah mutlak bagi masyarakat , umat , dan bangsa untuk mencapai kohesi sosial demi kemajuan.
Azyumardi Azra , Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Council on Faith , World Economic Forum , Davos
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Teori Konspirasi"