Radhar Panca Dahana
Ide ini menjadi buntut atau epigon dari forum-forum dunia lain menyerupai di Davos untuk bidang ekonomi dan di Brasilia untuk bidang sosial.
Tema utama WCF yaitu gimana memosisikan kebudayaan sebagai katalis(ator) pembangunan berkelanjutan. Maknanya gimana menempatkan kerja-kerja kebudayaan , produk-produknya , sampai trik berpikir pada kedudukan yang tinggi dalam trik kita bernegara dan berbangsa. Maknanya kita memperhitungkan khazanah nilai , norma , tradisi , estetika , dan etika sebagai pertimbangan yang sama , utamanya dengan , katakanlah , politik dan ekonomi yang selama ini menjadi panglima.
Untuk memperlihatkan niat dan kepantasan negara kita sebagai penggerak dan penyelenggara tetap , bakal banyak dihelat pergelaran kesenian dan hasil-hasil kreatif lain dalam kesempatan itu. Suatu hal yang sesungguhnya tidak perlu digemborkan berlebihan alasannya yaitu sesungguhnya semenjak ratusan bahkan ribuan tahun kemudian dunia sudah mengakui itu dengan berbondong-bondong tiba ke Nusantara untuk menguasai dan mengolonisasi , sampai kini.
Sebuah lembaga besar dan global semacam itu tidaklah cukup diisi dengan keramaian pasar malam , hal-hal yang bersifat pekan raya atau karnaval , alasannya yaitu publik sudah melakukannya. Bahkan sebuah kota kecil semacam Jember , Jawa Timur , bisa menyelenggarakan sebuah pesta kebudayaan berupa karnaval busana berkaliber internasional. Belum lagi pekan raya musik , sastra , seni pertunjukan , dan sebagainya di seluruh Indonesia.
Sebuah lembaga global semacam WCF menjadi terlalu glamor jikalau sekadar membuat keramaian. Ia mesti memiliki misi berkait dengan amplitudo aktivitas yang mengglobal. Maknanya , ia juga memberi tugas signifikan pada masyarakat dunia untuk ikut memecahkan masalah-masalah regional maupun global.
Namun , problem pertama dari perjuangan yang tidak main-main itu justru tiba dari tema yang ditetapkan.
Masalah di Indonesia
Memang proposisi ”kebudayaan yaitu katalisator bagi pembangunan yang berkelanjutan” tidak salah. Yang menjadi perkara yaitu ketika kita menyodorkan proposisi itu pada dunia , kita tidak memperlihatkan bukti cukup dan memadai untuk mematuhi proposisi itu. Benarkah , pertanyaan dasar dan pertamanya , kebudayaan di negeri ini sudah menjadi katalisator pembangunan? Menjadi pertimbangan yang sama berpengaruh dengan politik , ekonomi , bahkan aturan dan militer?
Dalam bentuk tentang saja , berapa banyak kita mendengar elite pengambil kebijakan di negeri ini membitrikkan kebudayaan sebagai dasar pertimbangan kebijakan yang diambilnya? Minim sekali.
Begitu pun dalam kebijakan penyelenggara negara (pemerintah) , berapa banyak yang terkait dengan kebudayaan? Bagaimana sesungguhnya visi para pemimpin bangsa ini dalam soal kebudayaan? Adakah kita memiliki seni administrasi kebudayaan? Berapa kali presiden menyebut kebudayaan dalam pidato-pidato kenegaraan? Signifikankah alokasi APBN untuk pengembangan kebudayaan?
Dengan sangat menyesal saya harus menjawab semua itu dengan sebuah afirmasi negatif: tidak. Dibandingkan dengan negara-negara lain , bahkan ASEAN , Indonesia begitu tertinggal alasannya yaitu merasa diri memiliki kebudayaan tinggi tetapi tidak memiliki seni administrasi dan visi ke depan. Kata kebudayaan , baik sebagai kata kerja maupun benda , senantiasa luput dari diskursus para pemimpin terpenting kita.
Yang menyedihkan , dibanding Brasil yang mengalokasikan 20 persen dari anggaran tahunan untuk kebudayaan (seperti perkara pendidikan di negeri kita) , Indonesia hanya mengalokasikan sekitar Rp 600 miliar tahun 2012 untuk bab Kebudayaan Kemdikbud RI. Ini bahkan kurang dari 0 ,5 persen—bukan dari APBN—tetapi dari anggaran saudara mudanya , pendidikan. Maknanya kurang dari Rp 30.000 per kapita. Apa yang bisa diperbuat dengan angka itu?
Pemerintah menyerupai tidak berbuat apa-apa. Maka , pemerintah selaiknya bersyukur dan berterima kasih kepada para seniman dan para pekerja budaya Indonesia yang telah bekerja setrik swadaya atau berdikari dalam menyelenggarakan proses , dinamika , dan produk-produk kebudayaan bangsa kita.
”Cultural Summit”
Dalam posisi dan kondisi semacam itu , dapatkah kita menyampaikan kebudayaan sudah menjadi katalisator bagi pembangunan berkelanjutan Indonesia? Saya kira Anda oke jikalau kita bersama menyampaikan dengan tegas: tidak. Dan saya tidak perlu melanjutkan dengan kenyataan infrastruktur di bidang kebudayaan dan kesenian yang ada di seantero negeri ini. Di lebih dari 30 kota penting Indonesia yang saya kunjungi belakangan ini , infrastruktur kebudayaannya tidak hanya minim , tetapi juga mengenaskan.
Sebagai pengundang , situasi ini tentu harus segera dibenahi semoga kita tidak menjadi tebal muka , alasannya yaitu tuan rumah belum menjadi contoh yang baik dari tema lembaga di atas. Pemerintah harus mengajak semua pihak dan pemangku kepentingan kebudayaan bekerja sama menempatkan kebudayaan menyerupai yang dibayangkan.
Kebudayaan semestinya menjadi rompi pujian kita yang indah , berpengaruh , dan dikenakan di bab luar , sebagai daya tarik sekaligus sebagai daya tahan. Sesungguhnya kita memiliki semua alasan untuk itu.
Walaupun nyatanya ketika ini kebudayaan menjadi pasif alasannya yaitu negara tidak memperlihatkan pertolongan cukup untuk berhadapan dengan kebudayaan global yang sumir dan Maknafisial , tetapi dilengkapi dengan uang dan diplomasi politik.
Kebudayaan di negeri ini bukan sekadar tradisi , etik dan estetik , melainkan juga sebuah peranti sosial yang efektif mengatasi persoalan-persoalan kontemporer. Semua itu diperlihatkan oleh banyak sekali budaya etnik dan sub-etnik , yang dalam kompetisi dengan budaya global masih bisa menyebarkan diri dan meneguhkan eksistensi.
Berbagai adat-tradisi Nusantara , entah itu Ambon , Bugis , Minahasa , Batak , Jawa , Bali , Banten , Sunda , dan banyak lainnya bisa memberi pola bagi warganya untuk bertahan dan berkembang , menjadi postmodern tanpa kehilangan rujukan primordialnya. Itulah bangsa Nusantara , bangsa Indonesia. Sebuah kenyataan kebudayaan yang menjadi bukti pada dunia bahwa kita ada dan bakal tetap ada.
Kenyataan kebudayaan dengan kekayaan etika dan tradisi inilah yang semestinya kita tawarkan kepada dunia , sebagai trik kebudayaan yang khas Indonesia dalam memecahkan persoalan-persoalan pelik di Bumi. Persoalan-persoalan antarbangsa tidak harus diselesaikan dengan trik (bertindak dan berpikir) politik atau ekonomi apalagi militer. Cara kebudayaan yaitu alternatif penting yang sanggup dipahami oleh siapa pun , bahkan oleh pemimpin-pemimpin dunia. Penting diselipkan dalam lembaga ini semacam cultural summit bagi para pemimpin.
Tidakkah membahagiakan jikalau dalam fora kebudayaan menyerupai ini kita bisa mendudukkan dalam meja yang sama Barack Obama , Ahmadinejad , dan Benjamin Netanyahu? Mereka bakal dicap tidak berbudaya jikalau menolaknya.
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Lembaga Kebudayaan Dunia"