Azyumardi Azra
Lihatlah masalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo , contohnya , yang kekayaannya begitu banyak , khususnya properti yang jumlahnya sekitar 12 rumah besar dan rumah mewahnya disita KPK di sejumlah kota. Ini belum terhitung asetnya yang lain. Tidak masuk nalar kalau petinggi Polri—seperti juga pejabat tinggi lain dengan honor relatif terbatas—mampu memiliki kekayaan amat berlimpah. Kalau hanya dari honor , mana mungkin punya uang untuk membeli aset demikian banyak.
Penting dicatat , penyitaan aset yang dilakukan KPK merupakan terobosan penting ke arah pemiskinan koruptor. Sepatutnya terobosan ini terus dilakukan pada masalah korupsi lain. Saat yang sama , perlu antisipasi adanya modus-modus gres dalam pembersihan uang hasil korupsi. Jika Djoko Susilo diduga berpengaruh melalui beberapa ijab kabul bawah tangan yang tidak tercatat , bukan mustahil koruptor lain melaksanakan pembersihan uang korupsi melalui trik tersembunyi lain.
Meski korupsi tampak kian mewabah dan nyaris membuat masyarakat frustrasi dan skeptis dengan pemberantasan korupsi , publik Indonesia masih memiliki modal sosial antikorupsi. Dalam sejumlah konferensi di dalam dan luar negeri , saya sering menyatakan , memang korupsi masih sangat endemis di Indonesia , tetapi keadaannya bukan tanpa harapan.
Harapan itu , selain pada KPK , juga ada pada modal sosial berupa dua pilar demokrasi , ialah media bebas antikorupsi dan kelompok atau organisasi masyarakat sipil. Peran kedua pilar ini sangat vital dalam merespons tantangan besar memerangi korupsi tatkala lembaga-lembaga penegak aturan , Polisi Republik Indonesia , Kejaksaan , dan Kehakiman/Peradilan belum bisa menegakkan integritas seluruh pejabat dan pegawainya untuk tidak korupsi.
Media Antikorupsi
Seperti bisa disaksikan masyarakat , media di Indonesia baik cetak maupun elektronik sangat bebas. Bisa dikatakan , media di Indonesia paling bebas di seluruh dunia. Kebebasan juga ada ekses negatifnya. Namun , terperinci jauh lebih banyak sisi positifnya , terutama dalam pengungkapan kasus-kasus terindikasi sebagai tindak pidana korupsi. Berkat kebebasan pers , media , baik di tingkat nasional maupun lokal , tidak sungkan mengungkapkan kedaluwarsa busuk yang menguap , mengindikasikan ketidakberesan , dan penyimpangan dana publik.
Memang tidak selalu gampang bagi media bebas antikorupsi mengungkapkan kasus-kasus tertentu yang terindikasi korupsi. Hal ini terjadi khususnya dikala kasus-kasus tersebut terkait dengan pejabat tinggi tertentu atau politisi yang merupakan anggota keluarga atau kerabat pejabat tinggi.
Menghadapi kasus-kasus semacam itu , media bebas antikorupsi kian pandai mencari celah dan trik tertentu untuk sanggup menggelindingkan masalah mirip itu kepada khalayak luas. Melalui trik ini , masalah demi masalah alhasil menjadi pengetahuan publik setrik luas , membuat persepsi—yang mungkin belum tentu sepenuhnya benar wacana pejabat atau politisi yang bersangkutan.
Kasus ini , contohnya , terlihat dalam pemberitaan harian The Jakarta Post pada awal Februari 2013 wacana SPT tahun 2011 keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bocornya SPT keluarga RI-1 ini terperinci sangat sensitif , apalagi isinya mengandung diskrepansi yang sanggup memancing munculnya tak hanya dugaan penyimpangan pajak , tetapi juga indikasi penambahan kekayaan setrik tidak jelas.
Terlepas dari hal apakah isi SPT itu benar atau tidak , sensitivitas masalahnya membuat tak ada media lain yang awalnya cukup berani memberitakan masalah ini , kecuali The Jakarta Post. Namun , dalam perkembangan berikutnya , melalui teknik pendekatan dan pengolahan tertentu yang cerdas dan menggelikan , problem ini menjadi pembitrikan terbuka baik di media cetak maupun elektronik lainnya.
Media bebas antikorupsi , selain andal dalam teknik pemberitaan , juga pandai memainkan data atau bocoran dokumen. Kini hampir tidak ada lagi jaminan dokumen tertentu tidak bocor. Ini , contohnya , terlihat dari bocornya SPT tadi hingga bocoran daftar akseptor anutan dana proyek Hambalang. Media elektronik dengan lihai memberi stabilo pada nama tertentu dalam daftar itu yang kemudian disorot akrab sehingga para pemirsa sanggup membacanya dengan jelas.
Hasilnya , dikala dugaan masalah korupsi dan bocoran dokumen semacam itu menjadi konsumsi publik , damage has been done—kerusakan telah menimpa orang yang bersangkutan. Citra , persepsi , dan kecurigaan yang selama ini mungkin telah ada dalam masyarakat wacana figur politik tertentu tak bisa lain kecuali kian menguat; nyaris tidak lagi menyisakan ruang untuk sanggup dipulihkan kembali.
”Lesson Learned”
Jika para pejabat publik juga cermat dan cerdas mengamati tendensi media di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dalam hal korupsi , mestinya mereka lebih mawas diri menjaga integritas langsung , forum , instansi , bahkan keluarga masing-masing. Sekali lagi , kini hampir tidak ada lagi hal yang tak bisa diberitakan media—apalagi , menyangkut dugaan atau indikasi tindakan koruptif yang dilakukan pejabat publik dan politisi.
Berhadapan dengan media bebas , para pejabat publik dan politisi menyerupai orang yang memegang mata pisau , sedangkan hulunya ada di pihak media. Maknanya , kalau pisau itu ditarik , tangan pejabat publik atau politisi itulah yang bakal berdarah-darah , sedangkan media pemegang hulu pisau sulit terluka. Inilah dilema pejabat publik atau politisi yang terduga atau terindikasi korupsi; posisi yang juga bisa disebut sebagai ”maju kena mundur kena”. Agar tidak terjebak dalam dilema ini , tidak ada trik lain , kecuali jangan pernah korupsi.
Namun , terperinci , meskipun media bebas antikorupsi hampir tidak pernah lengah memberitakan atau bahkan berpanjang-panjang mengulasnya dalam talk show di TV atau laporan investigatif di media cetak , tetap saja kian banyak pejabat publik atau politisi yang tidak bisa mengendalikan syahwatnya untuk korupsi. Mereka seperti tidak takut korupsi , apalagi eksekusi yang dijatuhkan pengadilan sering sangat ringan. Tambahan lagi , aset dan harta hasil korupsi tak disita dan dikembalikan kepada negara. Dengan remisi berlipat-lipat , mereka segera bebas dan sambil senyum-senyum menikmati kekayaan hasil korupsi.
Di lain pihak , karier pejabat publik atau politisi mirip ini agaknya tidak lagi bisa terpulihkan. Namun , menjelang Pemilu 2014 ini , bukan mustahil mereka rahasia menyelinap ke dalam parpol kontestan pemilu. Di sinilah media bebas antikorupsi dan masyarakat luas perlu mencermati daftar calon legislatif pada keseluruhan tingkatan forum legislatif sehingga mereka (yang calon koruptor) tidak begitu saja melenggang kangkung maju sebagai calon ”wakil rakyat”.
Azyumardi Azra , Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; dan Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance , Stockholm
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Media Bebas Antikorupsi"