Azyumardi Azra
Aksi kekerasan itu biasanya mengambil bentuk pengeboman rumah ibadah , makam tokoh agama dan tempat suci lain , pasar , dan jalan raya. Aksi sektarianisme hampir tidak pernah henti; dan bahkan cenderung meningkat setiap simpulan pekan—Kamis sore hingga Sabtu malam , hari libur , di Timur Tengah.
Sektarianisme keagamaan kian meruyak di Timur Tengah semenjak bermulanya transisi ke demokrasi. Seiring dengan kian menguatnya isu terkini semi Arab yang mula-mula terjadi di Tunisia pada Desember 2010 dan menyebar ke banyak negara Arab , sektarianisme keagamaan juga makin mewarnai pergumulan politik. Meski gelombang demokrasi di Dunia Arab telah memasuki tahun ketiga , belum terlihat tanda menyurutnya sektarianisme agama , sosial , dan politik.
Sektarianisme agama dan sosial-politik juga terlihat meningkat di Indonesia semenjak demokrasi liberal diterapkan pada 1999. Khusus sektarianisme intra dan antar-agama di Tanah Air , meski masih sporadis dan isolatif , bukan tak perlu dicermati. Dengan konsolidasi demokrasi yang belum solid , kelemahan penegakan aturan , serta penyebaran pemahaman dan praksis agama transnasional di tengah keragaman intra dan antar-
agama , boleh jadi sektarianisme agama dan sosial-politik terus bertahan—jika tak meningkat di negeri ini.
Sektarianisme Berlapis
Bisa dipastikan , tidak ada negara dan masyarakat yang bebas dari perbedaan aliran agama , sosial , budaya , dan politik. Masalahnya , perbedaan-perbedaan itu sanggup meningkat menjadi sektarianisme , adalah kebencian intra dan antar-agama atau antar- mazhab , aliran , denominasi agama; antarkelas sosial; antarkelompok etnis dan budaya; dan juga di antara faksi-faksi dalam kekuatan dan gerakan politik. Sektarianisme sanggup muncul dalam aneka macam bentuk , mulai dari yang sederhana sekadar tunjangan restu dari kalangan elite agama dan politik pada sikap sektarianisme , pembenaran tindakan kekerasan yang berbau sektarianisme , hingga pada sikap dan kebijakan politik yang mengandung sektarianisme.
Sektarianisme yang sekarang menyala-nyala di Timur Tengah bukan hal baru. Setrik sosio-historis , daerah ini penuh riwayat sektarianisme agama , sosial-budaya , dan politik yang berlapis-lapis. Paling tidak sanggup dirunut semenjak masa kemunculan Kristianitas yang berhadapan dengan Yudaisme , saat Yesus Kristus dan ajarannya dianggap menyimpang dari agama Yahudi. Sektarianisme intra-agama Yahudi juga berlanjut hingga kini: antara Yahudi Ortodoks dan Yahudi Reformasi. Begitu juga intra-Kristianitas yang meliputi denominasi amat banyak , khususnya periode XII-XVII , pascamasa Reformasi Gereja yang memunculkan Protestanisme.
Jelas , semangat sektarianisme antara Kristianitas dan Islam menjadi faktor penting terjadinya sembilan kali Perang Salib antara 1096 hingga 1272 untuk pembebasan Tanah Suci dari kekuasaan Muslim. Konflik antara Muslim dan kaum Kristiani juga masih berlanjut di Semenanjung Iberia (Spanyol) semenjak kekuasaan Islam tertancap tahun 711 , yang berakhir lewat reconquista oleh adonan kekuatan Gereja Nasrani pada 2 Januari 1492 dengan inquisisi terhadap kaum Muslim dan Yahudi.
Sektarianisme intra-Islam berkembang semenjak masa sahabat Nabi Muhammad , yakni saat kaum Khawarij yang muncul menjelang simpulan Perang Siffin (657M; antara pasukan Ali ibn Abi Thalib versus Mu’awiyah ibn Abi Sufyan) melaksanakan agresi kekerasan terhadap kaum Muslim lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Selanjutnya , skisma dan sektarianisme antara Sunni dan Syiah yang juga muncul pasca-Perang Siffin berlanjut hingga sekarang di banyak daerah Timur Tengah.
Dengan beban sosio-historis sektarianisme berlapis-lapis , tak heran kalau bara kebencian atas dasar perbedaan agama , paham , aliran , dan denominasi yang kemudian berbaur dengan sektarianisme sosial , budaya , dan politik terus berlanjut di Timur Tengah. Berganda dengan krisis politik , sosial , dan ekonomi yang tidak terpecahkan , sektarianisme menjadi sangat sukar diatasi di daerah ini , dan terus mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa , harta , dan benda.
Potensi Sektarianisme
Indonesia sepanjang sejarah tidak mewarisi sektarianisme dalam kadar berlapis ibarat di Timur Tengah. Padahal , lapisan keagamaan dan sosial Indonesia relatif lebih kompleks dibandingkan Timur Tengah.
Setrik keagamaan , Indonesia meliputi tak hanya Islam dan Kristianitas dengan aneka macam mazhab , aliran , dan denominasi , tetapi juga Hindu , Buddha , Konghucu , dan agama-agama lain yang belum menerima ratifikasi resmi dari negara. Setrik sosial , berdasarkan data BPS 2010 , terdapat 1.128 suku bangsa atau kelompok etnis di Indonesia.
Mempertimbangkan realitas keragaman intra dan antar-agama serta kelompok etnis , potensi sektarianisme sangat besar di Tanah Air. Meski tak serumit sektarianisme di Timur Tengah , sektarianisme di Indonesia sanggup berlipat dan berkombinasi di antara sektarianisme agama dan sektarianisme etnis , dan bahkan sektarianisme sosial-politik. Hal ini terang dan menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional sepanjang tahun pemilu 2013-2014.
Karena itu , duduk masalah sektarianisme di Indonesia tidak sanggup diperlakukan setrik taken for granted , atau tidak perlu dipandang serius , atau diasumsikan sanggup baik dengan sendirinya dalam perjalanan waktu. Memandang sektarianisme yang cenderung meningkat dalam dasawarsa terakhir , pandangan dan sikap ibarat itu sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia yang kondusif , hening , bersatu , dan utuh.
Dalam konteks itu , perlu peningkatan kewaspadaan dan keseriusan seluruh pemangku kepentingan untuk mencegah peningkatan sektarianisme. Para pemimpin agama , sosial , dan politik sepatutnya menyadari dan melaksanakan aneka macam upaya melalui institusi masing-masing untuk mencegah berlanjutnya sektarianisme , sekaligus memperkuat harmoni dan saling menghargai perbedaan yang ada di antara aneka macam kelompok intra dan antar-agama , kelompok etnis , dan faksi politik.
Di atas semua itu , pemerintah sepatutnya lebih bertekad lingkaran dalam prevensi proliferasi sektarianisme dalam masyarakat. Sepatutnya aneka macam ketentuan perundangan dan pegawapemerintah negara yang sanggup menangkal sektarianisme difungsikan dengan sungguh-sungguh.
Selain itu , upaya penciptaan harmoni dan saling penghargaan di antara aneka macam kelompok masyarakat juga perlu lebih diberdayakan melalui pendidikan. Juga sosialisasi empat pilar negara-bangsa Indonesia , yakni Undang-Undang Dasar 1945 , Pancasila , NKRI , dan Bhinneka Tunggal Ika.
Azyumardi Azra , Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Council on Faith , World Economic Forum , Davos
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Waspadai Sektarianisme"