Acep Iwan Saidi
Tanggapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh terhadap beberapa penulis wacana Kurikulum 2013 (Kompas , 7/3/2013) menarik disimak. Tulisan saya sendiri , ”Petisi untuk Wapres” (Kompas , 2/3/2013) , tampak menjadi fokus bahasan Mendikbud.
Oleh lantaran itu , kiranya menjadi penting untuk memberi jawaban balik. Akan tetapi , saya tidak bakal menulis segimana Mendikbud menulis. Saya pikir , tak perlu membantah jawaban Mendikbud. Agarkan teks itu menetap dalam kepala publik yang cerdas. Lebih bermakna kiranya kalau mengelaborasi butir yang saya anggap penting dalam esai Mendikbud , yakni perspektifnya wacana bahasa Indonesia. Dengan begitu , dibutuhkan obrolan bakal menjadi konstruktif.
Strukturalisme Bahasa
Saya setuju dengan Mendikbud bahwa selama ini pelajaran Bahasa Indonesia tidak disenangi guru dan murid. Oleh lantaran itu , model pembelajarannya mutlak harus diubah. Saya sendiri beropini , pelajaran Bahasa Indonesia tak menarik lantaran pembelajarannya berpijak pada paradigma strukturalisme. Dalam paradigma ini , bahasa disikapi sebagai sistem (langue) , bukan insiden dalam wacana (narrative discourse). Apa yang dipahami sebagai subyek , contohnya , ialah subyek dalam kalimat.
Sebagai teladan , kalimat ”Budi pergi ke sawah dan Wati membantu Ibu di dapur” hanya dipahami sebagai kalimat beragam setara. Siswa tidak diberi ruang untuk mengerti mengapa Budi (laki-laki) yang harus ke sawah , sedangkan Wati (perempuan) hanya membantu ibu di dapur. Lebih jauh , semua siswa di seluruh Indonesia harus mendapatkan Budi dan Wati dalam kalimat tersebut. Tidak boleh siswa Batak menggantinya dengan Tigor , siswa Sunda menukarnya dengan Ujang , dan seterusnya.
Pada ranah pragmatik , strukturalisme menempatkan bahasa sebagai obyek mati , yakni sebagai sarana belaka. Oleh lantaran itu , definisi bahasa yang terkenal diketahui ialah alat komunikasi. Sebagai alat dalam komunikasi , fokus bahasan tentu komunikasi. Sebagai alat , bahasa mesti ditata sedemikian rupa semoga komunikasi berlangsung baik. Dari sinilah dikenal istilah kalimat efektif , yakni kalimat yang harus efisien dalam memberikan pesan komunikasi. Namun , masalah kemudian timbul. Kategori kalimat yang disebut efektif ditentukan oleh kuasa ilmu yang acap tak berpijak pada abjad masyarakat.
Efektivitas bahasa , lagi-lagi , didasarkan strukturalisme atau lebih luas , modernisme , yang salah satu cirinya antitradisi. Dalam dunia desain dan arsitek , contohnya , semenjak awal paham ini menyebut ornamen , sebuah isyarat tradisi , sebagai kriminal (Adolf Loose , 1909).
Di dalam bahasa , modernisme mengharamkan kalimat yang memiliki isyarat tradisi. Kalimat ”Rumahnya Pak Ahmad bagus” segera bakal disebut menyalahi struktur bahasa Indonesia lantaran enklitika-nya merupakan imbas bahasa Sunda (na , bumina) atau Jawa (he , omahe). Bayangkan , abjad budaya sendiri telah diusir dari struktur bahasa Indonesia. Akibat model pembelajaran demikian , bahasa Indonesia menjadi berjarak dengan siswa. Wajar kalau pelajaran Bahasa Indonesia tidak disukai. Rasa memiliki bahasa yang hidup dalam ketaksadaran kolektif masyarakat telah dipreteli. Bahasa Indonesia hanya disikapi sebagai ilmu , bukan entitas budaya. Mereka tidak pernah menerima pemahaman bahwa subyek bahasa Indonesia bergotong-royong ialah dirinya , identitasnya sebagai individu dan sebagai bangsa.
Apakah Kurikulum 2013 menjawab problem tersebut? Tidak! Eksplisit dalam Kompetensi Dasar
(KD) pelajaran ini bahwa kata kunci untuk bahasa Indonesia ialah pemanfaatan. Dengan kata lain , bahasa Indonesia kembali diletakkan sebagai alat. Maknanya , setrik konseptual , kurikulum ini masih menggunakan paradigma lama. Walhasil , kalau ia diberlakukan , penghormatan siswa terhadap bahasa bakal kian terkikis. Maka , jangan bitrik soal nasionalisme di situ. Di samping itu , ambisi mempragmatikkan bahasa tanpa dibarengi pemahaman yang memadai wacana fungsi bahasa sebagai ekspresi individu telah menyebabkan KD pelajaran ini terkesan dipaksakan. Ini yang dalam ”Petisi untuk Wapres” saya sebut mengada-ada.
Agar lebih tegas , perhatikan KD untuk kelas III SD sebagai berikut: ”Memiliki kedisiplinan dan tanggung jawab untuk hidup sehat serta merawat binatang dan flora melalui pemanfaatan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah”. Silakan periksa logika bahasanya: gimana sanggup kita merawat binatang dengan pemanfaatan bahasa Indonesia? Kalau tidak mau disebut mengada-ada , oke saya sebut itu kalimat nirnalar. Bagaimana mungkin perubahan terjadi kalau logika bahasa kurikulumnya saja sudah sedemikian rancu.
Ekspresi Individu
Salah satu penanda penting masa XXI ialah bergesernya sentra filsafat dari otak (rasio) ke bahasa. Ungkapan penegas yang sederhana , buat apa otak kalau tak dibahasakan. Namun , Maksud bahasa di sini tak berhenti sebagai alat. Dalam konteks ini , bahasa lebih dilihat sebagai sumbu Maknakulasi dan kreativitas , sebuah perspektif yang sangat luas dan dinamis. Bahasa ialah sesuatu yang bergerak dalam pengalaman keseharian yang kompleks. Dalam perspektif bahasa sebagai sumbu Maknakulasi dan kreativitas , benda-benda produksi—termasuk di dalamnya produk teknologi—telah bergeser ke digit kedua. Bahasalah yang menduduki urutan pertama. Kini , konsumsi insan terhadap benda-benda teknologi lebih banyak digerakkan oleh bahasa.
Konsumsi keseharian kita ialah image , gambaran , demikian dikatakan Shcroeder (2002). Nilai benda sekarang tidak bertumpu pada benda itu sendiri , tetapi pada nilai tanda yang dibangunnya. Nilai tanda ialah nilai citra. Bagaimana gambaran diciptakan ialah topik dalam bahasa.
Bagaimana bahasa Indonesia sanggup menduduki posisi demikian? Tak ada trik lain kecuali dipelajari sebagai sumbu Maknakulasi dan kreativitas , bukan sebagai alat. Jika ilmu bahasa menyampaikan frase ”kerupuk kulit ikan” berterima setrik gramatikal , pembelajaran bahasa sebagai sumbu kreativitas harus berlanjut pada pertanyaan gimana dengan ”kerupuk kulit pisang”? Jika sama-sama berterima , mengapa Anda tak berpikir wacana penciptaan kerupuk kulit pisang juga? Itu hanya amsal kecil.
Bahasa Indonesia punya potensi luar biasa jadi sumbu Maknakulasi dan kreativitas sedemikian. Caranya dengan mengalihkan rujukan pembelajaran bahasa pada parole , bahasa sebagai ekspresi individu dalam insiden keseharian yang dinamis.
Dengan begini , bahasa Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai penyampai ilmu pengetahuan , melainkan juga sumber pengetahuan itu sendiri. Riset saya menunjukkan bahwa konsep ini sanggup diturunkan setrik teknis sebagai model pembelajaran mulai tingkat sekolah dasar.
Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Bahasa Sebagai "Parole""