Radhar Panca Dahana
Dalam filsafat Jawa Suryomentaraman , prinsip hidup mulur mungkret (luwes , elastis ibarat karet) memiliki nilai nyata dan keistimewaan bahkan dianggap menjadi salah satu ciri jati diri orang Jawa. Namun , dalam pergaulan masa kini , prinsip hidup itu menerima komplemen makna negatif sebagai perilaku hidup yang tidak tegas , plin-plan , dan lembek.
Mungkin makna terakhir itu pula yang sanggup kita sematkan pada Presiden SBY dan kabinetnya , setidaknya dalam soal subsidi dan kenaikan harga BBM. Mulur mungkret! Masyarakat pun menderita alasannya ketidakjelasan itu. Presiden yang bahwasanya oleh UU memiliki kewenangan untuk itu , bahkan didorong oleh DPR , malah justru menampik wewenangnya dan justru balik melempar bola ke DPR.
Sebagai striker , bola yang sudah di depan gawang—berlagak tiki-taka—malah dikembalikan ke pemain tengah. Lalu golnya kapan? Tak terciptanya gol-gol dalam proyeksi , tujuan , serta misi negara dan bangsa ketika ini—terutama untuk kesejahteraan dan masa depan rakyat—oleh banyak kalangan dianggap tanggapan (kelemahan) SBY: peragu , tidak tough , dengan huruf yang lembek ibarat tape.
Karakter kabinet ibarat yang tergambar di atas kesudahannya melahirkan pemimpin-pemimpin yang berprofil ibarat tape: bermula dari singkong yang keras kemudian lunak dalam peragian , dari UU yang tegas menjadi lunak dalam kebijakan , praksis , bahkan dirinya sendiri. Praktis mengasihani diri sendiri dan menebar iba kepada publik untuk profit simpati. Itulah yang diperlihatkan SBY ketika dahulu ia memamerkan bahaya teroris yang ”konon” mengarah padanya. Entah jikalau ia hidup ibarat Presiden Soekarno yang lebih dari 50 kali—atau Yasser Arafat yang lebih dari 100 kali—mendapat bahaya pembunuhan.
Situasi serupa terjadi pada heboh ujian nasional. Mendikbud M Nuh , dalam sebuah laporan media massa terkemuka , ibarat mengadu dan memelas kepada bosnya , SBY: ”Sudah seminggu ini aku tidur cuma tiga jam sehari.”
Sang Presiden merespons keluhan anak buahnya itu dengan gaya khasnya , ”Adik gres sekali ini , aku sudah delapan tahun.” Lho , mengapa ia dulu ngotot ikut rebutan jadi presiden?
Saya kira profil atau huruf pemimpin ibarat ini jadi pola mereka yang dipimpin. Di mana-mana! Yang penting , menjadi pejabat publik itu sukses berkelit dari kesalahan , tidak jeblok banget rapornya , prestasi sedikit dipromo habis-habisan , pengorbanan diri dibesar-besarkan , pragmatisme murahan jadi pedoman.
Itulah yang menggejala belakangan ini , ketika masa jabatan tinggal tak banyak bulan lagi. Sementara harapan ke depan masih berpengaruh ia gantungkan. Retorika yang dahulu yaitu seni keindahan bahasa dan adekuasi argumen , kini tinggal busa dari sebuah opera politik murahan.
Gagal manfaatkan momentum
Saya kira , potret mediokratik kabinet ”tape” kita di atas berkorelasi dengan pe- nurunan peringkat yang dibentuk Standard & Poor’s (S&P). Juga kritik dari forum pemeringkat lainnya , Moody’s Investors Services (MIS) , yang diributkan kalangan pejabat dan elite ekonomi akhir-akhir ini. Betapa pun , bahwasanya kita bisa tak peduli dengan peringkat-peringkat tendensius S&P dan MIS itu. Kritik yang mereka bangkit tetap bisa direnungkan setrik positif. Terutama , mengapa pemerintahan SBY dianggap gagal memanfaatkan momentum , antara lain perilaku mulur mungkret-nya dalam dilema subsidi BBM.
Kecepatan pembangunan , katakanlah , dalam laju pertumbuhan rata-rata 6 persen dalam lima tahun belakangan gagal dimanfaatkan untuk terciptanya semacam lompatan atau percepatan yang bisa mengakselerasi pembangunan ke tingkat tinggi ibarat Korea Selatan pada 1970-an , Malaysia dan China pada 1980-an , kemudian India pada abad 1990-an. Mereka dianggap sukses memanfaatkan momentum itu untuk mencapai posisi keekonomian yang dihargai dunia belakangan ini.
Posisi itu dalam standar material global ketika ini jadi dasar eksistensi sebuah bangsa atau negara. Ia memberi efek hampir di semua sektor dan dimensi kehidupan lokal dan global. Menguatnya efek China , India , Brasil , Korea Selatan , sampai Afrika Selatan juga alasannya dihela oleh sukses itu. Dampaknya pun nyata pada diplomasi internasional , tugas regional , sampai soal olahraga dan kebudayaan.
Bahkan India ibarat menerima surplus komplemen ketika AS tak mengajak komunitas internasional untuk mengecam proyek pengembangan dan percobaan senjata nuklirnya. Setidaknya jikalau dibandingkan dengan Iran , yang berkali-kali Kejatuhan embargo. Termasuk peluang India , walau tipis , untuk menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB , segimana Jepang , Brasil , dan Afrika Selatan.
Indonesia , tentu , jangan dulu berangan- angan memiliki senjata nuklir , apalagi jadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB , segimana busa para diplomatnya. Bukan hanya alasannya penolakan eksternal niscaya tiba membanjir , kendala internal pun masih terlalu sesak untuk bisa diatasi.
Indonesia dalam realitas komparatif di atas tercipta , antara lain , tanggapan dari ”kabinet tape” yang lembek dan
asem-manis tadi. Kabinet yang males-males-an menjalankan misi dan program-program kebijakannya. Sebab , memang tak ada hukuman yang keras dikenakan pada kegagalan , bahkan penyimpangan.
Dari puncak kuasa sampai dataran bangsa , kita kian tidak menyadari betapa kita sesungguhnya telah bertahap meninggalkan , bahkan mengkhianati , impian dan dasar di mana republik ini didirikan. Apa yang dahulu lebih kini kurang , yang dahulu unggul kini udik , yang dahulu dipelajari orang kini kita yang berguru dari orang , dulu dikagumi kini kita berduyun-duyun mengagumi , dan apa yang dahulu kita banggakan kini kita sesalkan. Dari pantai , garam , singkong , badminton , sampai sepak bola.
Krisis mendasar
Kini bukan hanya ketertinggalan , bahwasanya kita sudah mencapai tahap yang kritis dari perkembangan. Bukan hanya alasannya aturan yang terkebiri , politik yang tercemar , atau bisnis yang padat korupsi , tapi juga pada soal pendidikan , lingkungan , dan energi yang sudah lampu merah tanpa kita sadari. Laporan khusus Kompas wacana energi pada 3 Mei 2013 , antara lain , menggambarkan situasi itu.
Ada semacam pemagaran , berdasarkan laporan itu , bahkan justru penciptaan regulasi yang setrik licin melegalkan permainan licik dari para pemain atau oligarki politik-bisnis usang (mereka yang sudah bermain semenjak awal Orde Baru) untuk mengisap energi dan mineral dalam darah bangsa ini. Permainan yang membuat kondisi bisnis energi kita—dengan porsinya yang signifikan dalam ekspor , hampir 50 persen—kini semakin tertekan , dan memberi kita contoh terbaik gimana tidak adanya kedaulatan pada diri kita sendiri.
Semua dilema di atas tentu saja tidak sanggup diselesaikan oleh kabinet lembek dan medioker di atas. Pelajaran dari banyak sekali negara mengatakan , bahkan Eropa yang begitu tangguh model dan sistem politik maupun pemerintahannya mengalami banyak guncangan. Bonus demografis , geografis , sampai kebudayaan yang kita miliki mustahil sanggup dimaksimalkan oleh para pejuang yang cuma cari bahagia , bukan cari menang.
Karena itu , cukuplah sudah pemerintahan yang hanya ”manis di bibir ini” , yang sibuk menggali puja-puji luar negeri , tapi lupa membaca diri. Kita membutuhkan pemimpin yang berpengaruh , bervisi , dan berani ambil risiko. Mumpung masih ada waktu menjelang Pemilu 2014 , seluruh bangsa harus siap dengan munculnya calon pemimpin gres , yang higienis , jujur , terbuka , dan tidak mengasihani diri.
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kabinet Tape"