Ahmad Syafii Maarif
Pemilihan presiden eksklusif gres dimulai 2004 sebagai pelaksanaan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan presiden dan wakil dipilih setrik eksklusif , segimana juga berlaku dalam pemilihan gubernur , bupati , dan wali kota. Biayanya memang sangat besar , tetapi inilah risiko yang harus dipikul negara sesuai dengan perubahan Undang-Undang Dasar yang terasa dikerjakan kurang cermat di tengah euforia demokrasi yang eksesif.
Peradaban Demokrasi Rendah
Karena tingkat peradaban demokrasi Indonesia masih berada di bawah standar jikalau diukur dengan tujuan yang hendak diraih oleh Indonesia Merdeka , Pilpres 2014 menjadi sangat krusial dan penting. Jika sosok yang terpilih punya potensi menjadi negarawan , ada harapan demokrasi Indonesia bakal meninggalkan corak yang serba ritual dan prosedural menuju terciptanya sebuah demokrasi substansial yang sepenuhnya berpihak ke kepentingan rakyat banyak. Isu-isu keadilan dan kesejahteraan yang selama ini masih tergantung di awan tinggi , di bawah pimpinan para negarawan dari pucuk tertinggi hingga ke akar yang paling bawah , setrik berangsur dan niscaya bakal menjadi kenyataan dalam formatnya konkret.
Namun , jikalau yang tampil yaitu mereka yang miskin visi dan tunamoral , kondisi Indonesia yang sudah usang berkubang dalam dosa dan dusta bakal kian rontok , tunamartabat , dan sunyi dari keadilan. Dengan demikian , 2014 bakal jadi momen krusial bagi sistem demokrasi yang tidak saja sangat kritikal , tetapi juga bakal menentukan corak hari depan bangsa dan negara ini , apakah masih berdaulat atau kedaulatan pindah tangan melalui agen-agen domestik pihak absurd yang telah kehilangan harga diri sebagai insan merdeka. Di bawah kendali para biro ini , tidak banyak gunanya bagi tuan dan puan untuk berbitrik wacana kedaulatan politik dan kedaulatan ekonomi , sebuah harapan mulia yang dulu dijadikan aliran dan teladan utama oleh para pendiri bangsa dan negara tercinta ini. Setelah lebih enam dasawarsa pascaproklamasi , cengkeraman kuku absurd atas kekayaan bangsa malah semakin menguat dan melilit kita semua.
Berbagai perjanjian dagang telah disepakati , tetapi sering sangat merugikan posisi Indonesia. Kasus Freeport yang menghebohkan itu hanyalah salah satu contoh betapa leluasanya absurd mengeruk laba dari bumi Papua gara-gara pihak Jakarta melaksanakan blunder politik yang sangat fatal. Akibatnya sangat terperinci , kita tidak lagi sepenuhnya menjadi tuan di rumah kita. Inilah hasilnya , bila bangsa dan negara dipimpin londo ireng yang tidak punya nyali berhadapan dengan pihak asing. Harga diri kita dengan mental terjajah sangatlah rendah sekalipun masih saja berlagak sebagai insan merdeka. Padahal , syarat bagi seorang insan merdeka ada dalam ungkapan Bung Karno , ”Mana dadamu , ini dadaku.” Bangsa-bangsa lain kita hormati , tetapi jikalau mau mendikte , tunjukkan bahwa kita yaitu insan merdeka yang punya harga diri.
Kriteria Calon Presiden 2014
Adakah tokoh yang bisa membalik situasi demi kedaulatan bangsa pada 2014? Saya tidak pesimistis. Pastilah dari rahim Indonesia telah lahir sosok yang diperlukan itu. Sosok inilah yang harus dimunculkan dalam tempo bersahabat ini. Dilihat jejak rekamnya jikalau sudah pernah menjabat , dinilai integritas moralnya , dipantau pula sikapnya terhadap benda dan kekuasaan , dan yang tak kurang pentingnya yaitu ditimbang nyalinya dalam mengambil keputusan kenegaraan penting sekalipun mungkin tidak populer.
Dalam situasi situasional kritikal ini , usia calon tidak terlalu mustahak dijadikan syarat. Saya berharap parpol bisa menjinakkan ego politiknya untuk turut menemukan dan mendukung figur nasional yang memenuhi kriteria di atas , tidak perlu harus dari kalangan partainya.
Dalam bacaan saya semenjak proklamasi , telah dikenal beberapa tokoh negarawan yang dinilai cukup punya kemampuan mengisi kemerdekaan setrik sungguh-sungguh dan bertanggung jawab , tetapi tak diberi kesempatan menjadi orang pertama. Dari sisi mana pun kita meneropong , mereka memenuhi semua kriteria di atas. Mereka yaitu Bung Hatta , Sri Sultan Hamengku Buwono IX , dan M Jusuf Kalla. Amat disayangkan , alasannya yaitu lemahnya visi kenegarawanan elite politik nasional , mereka tak sanggup peluang dan pemberian untuk tampil memimpin bangsa dan negara demi terwujudnya harapan suci kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan meratanya kesejahteraan rakyat yang hingga sekarang masih menjadi mimpi nasional.
Pengamat migas , Kurtubi , sudah usang berteriak Agar politik migas kita diubah setrik radikal. Disarankan Agar pemerintah dan Pertamina mendirikan kilang-kilang pemroses minyak mentah dalam jumlah lebih banyak lagi. Namun , saran ini tak pernah digubris dengan dalih untungnya tak banyak. Menurut Kurtubi , untung memang tak banyak , tetapi niscaya beruntung. Cara ini bakal jauh lebih bermartabat dibandingkan apa yang ditempuh selama ini dengan membeli BBM lewat agen-agen tengkulak di Singapura.
Adalah kebiasaan jelek pemerintah dan Pertamina yang sering menempuh jalan gampang sekalipun dalam jangka panjang niscaya menggerogoti kekuatan ekonomi nasional. Dalam perspektif ini , saya berharap presiden 2014 membuka indera pendengaran dan mata mendengarkan saran-saran positif dari para andal perminyakan untuk membalik politik migas yang tidak sempurna selama ini. Indonesia yaitu sebuah benua maritim dengan ribuan pulau berserakan. Karena abdnegara pengawal dan penjaga bahari yang luasnya jauh melebihi daratan masih dalam posisi lemah , tidak mengherankan pencuri ikan telah merampok kekayaan bahari kita dengan kerugian negara mencapai Rp 30 triliun saban tahun. Sebagai negara maritim , semestinya kekuatan Angkatan Laut kita setidak-tidaknya setanding dengan kekuatan Angkatan Darat. Dengan AL yang tangguh , para perampok dan pencuri kekayaan bahari bakal berpikir 1.000 kali sebelum meneruskan petualangan kriminalnya yang sangat merugikan negara itu.
Akhirnya , presiden yang kita harapkan muncul pada 2014 yaitu figur yang mengenal betul peta Indonesia setrik utuh dengan segala sisi kekuatan dan kelemahannya. Berdasarkan peta itu , dibentuk taktik pembangunan nasional yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat jelata , bukan ”memanjakan” kelompok elitis yang kebanyakan telah usang mati rasa.
Ahmad Syafii Maarif , Pendiri Maarif Institute
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Presiden 2014"