Arif Budimanta
Beberapa ibu tiba kepada saya. Mereka mengeluhkan semua biaya hidup yang meroket luar biasa. ”Harga sembako terus bergerak naik , belum lagi biaya transpor , sekolah anak , kontrak rumah. Kalau hingga ada yang sakit , biayanya mahal. Mana ini mau Idulfitri lagi. Kami hanya bisa berdoa , tidak tahu lagi harus berbuat apa.”
Itulah fenomena yang dihadapi hampir semua rumah tangga di Indonesia dikala ini. Anehnya pemerintah tampaknya tidak berdaya meredam ”kekuatan” pasar. Suatu hal yang sungguh memprihatinkan lantaran kepentingan sekelompok pelaku pasar telah mengalahkan kepentingan rakyat (negara) dalam urusan pangan.
Data Badan Pusat Statistik (2012) memperlihatkan , rata-rata pengeluaran rumah tangga di Indonesia untuk membeli materi makanan ialah 49 persen dari total pengeluaran , bahkan pada rumah tangga di wilayah pedesaan mencapai 58 persen.
Maknanya setiap terjadi kenaikan terhadap materi makanan bakal memengaruhi setrik pribadi daya beli/pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan kehidupan lainnya menyerupai kemampuan untuk menyekolahkan anak , membiayai perumahan , atau pendidikan anak-anaknya , yang pada balasannya besar lengan berkuasa terhadap kesejahteraan hidup masyarakat.
Sedangkan di negara-negara maju pengeluaran rumah tangga untuk komponen materi makanan rata-rata kurang dari 30 persen. Hal ini disebabkan bukan hanya pendapatan yang tinggi , melainkan kemampuan negara mengendalikan harga materi makanan melalui kebijakan yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir.
Menjaga inflasi
Dalam setiap kesempatan pembahasan perkiraan makro RUU APBN di dewan perwakilan rakyat , saya selalu mengingatkan pemerintah Agar selain memprediksi perkiraan besaran inflasi umum juga menetapkan sasaran inflasi sembako yang harus lebih kecil dari inflasi umum. Sumbangan terbesar dari inflasi tahunan dari waktu ke waktu selalu tiba dari inflasi kelompok materi makanan yang meliputi 40 persen dari perhitungan inflasi setrik keseluruhan.
Setidaknya pemerintah menetapkan perkiraan kenaikan harga materi makanan jenis tertentu yang menjadi kebutuhan pokok rakyat menyerupai beras , gula , minyak goreng , telur/daging ayam , dan lainnya di bawah inflasi umum setiap tahunnya. Akan tetapi , kelihatannya tawaran tersebut hingga dikala ini belum bisa dipenuhi dengan banyak sekali macam pertimbangan.
Pengendalian harga sembako bakal tidak mungkin tanpa keberanian pemerintah melawan spekulan pasar. Kita perlu extraordinary actiondan setrik struktural menutup ruang gerak para spekulan , memperbaiki tata kelola jalur distribusi , dan sistem logistik nasional.
Penetapan harga maksimum dan minimum dan operasi pasar juga harus kembali dilakukan setrik efektif dan tidak setengah hati. Malaysia berhasil dalam mengendalikan harga sembako lantaran memiliki Undang-Undang mengenai Kontrol Harga dan Pengambilan Keuntungan berlebihan , yakni Act 723 tahun 2011 , dan forum Majelis Harga Nasional. Undang-undang semacam ini sangat berkhasiat memberantas permainan spekulan.
Selain itu , administrasi stok pemerintah juga harus baik dan harus lebih proaktif dalam menyerap hasil produksi petani dengan harga yang pantas. Dalam proses pengendalian harga sembako , petani dihentikan dirugikan , malah harus dimuliakan.
Memuliakan petani
Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan proses pengendalian harga pangan dengan trik impor. Selain tidak ada jaminan harga pangan menjadi stabil dan memengaruhi neraca perdagangan , akhir jangka panjangnya ialah mematikan kegiatan para petani produsen pangan nasional. Maka , sejumlah langkah sistemik harus dilakukan.
Luasan pengusahaan lahan pertanian bukan hambatan bagi kita untuk berswasembada. Bukankah pada abad 1980-an ketika kita berswasembada , kepemilikan lahan pertanian para petani kita khususnya lahan sawah juga kurang dari setengah hektar.
Paul McMahon (2013) dalam bukunya , Feeding Frenzy , menyampaikan , dengan luas kepemilikan lahan petani kurang dari setengah hektar , Vietnam berhasil menjalankan revolusi pertanian , menurunkan kemiskinan dari 58 persen pada tahun 1979 menjadi 15 persen pada tahun 2007 , dan menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia. Fenomena yang sama juga terjadi di Thailand. Maknanya , mitos yang menyampaikan bahwa pertanian modern membutuhkan lahan yang luas tidak sepenuhnya juga benar.
Untuk mencapai swasembada kembali , diharapkan kebijakan nasional yang terintegrasi. Salah satunya ialah memperlihatkan asas kepastian/keterjaminan kepada petani terhadap lahan yang diusahakan , jalan masuk terhadap pengetahuan pertanian yang mutakhir , benih , pupuk , peralatan yang baik , kredit , asuransi , dan harga jual yang pantas , serta memperlihatkan insentif terhadap jenis-jenis pajak tertentu menyerupai pajak bumi dan bangunan.
Pemerintah juga harus menginvestasikan pembangunan ataupun perbaikan infrastruktur penunjang pertanian menyerupai pengairan , jalan , kereta api , pelayaran rakyat , pergudangan , serta pasar yang menghubungkan kegiatan ekonomi pedesaan dengan perkotaan.
Agar para petani kita sanggup bekerja dengan risiko rendah dan terlindungi , perlu diimplementasikan kebijakan menyerupai kontrol harga , prosedur tarif , subsidi , dan pengelolaan cadangan pangan.
Kebijakan tersebut harus kita laksanakan setrik saksama dan penuh ketekunan. Ini lantaran masa depan kita bukan tergantung pada ”invisible hand” di pasar.
Arif Budimanta Anggota dewan perwakilan rakyat , KoordinatorKaukus Ekonomi Konstitusi
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Mengendalikan Harga Sembako"