Azyumardi Azra
Mengambil aturan ke tangan mereka (taking into their hands) , ”gerombolan” tersebut menewaskan empat orang asal Nusa Tenggara Timur , tahanan titipan Polisi Republik Indonesia yang merupakan tersangka pengeroyokan yang menewaskan anggota Kopassus Tentara Nasional Indonesia AD , Sertu Santoso , Selasa (19/3) , di sebuah bar di Sleman.
Sebelumnya , Kamis (7/3) , masih segar dalam ingatan , sejumlah oknum Tentara Nasional Indonesia AD Armed 76/15 Martapura menyerbu kompleks Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Serbuan ini meluluhlantakkan sebagian bangunan beserta peralatan kantor dan arsip , puluhan motor dan kendaraan beroda empat , serta menewaskan satu orang sipil. Aksi ini yakni buntut dari tewasnya anggota Tentara Nasional Indonesia AD dari satuan tersebut , Pratu Heru , oleh Brigadir Wijaya , anggota Satlantas Polisi Republik Indonesia , Minggu (27/1). Tak sabar menunggu proses aturan yang sedang dilakukan polda di Palembang , kumpulan anggota Tentara Nasional Indonesia AD tersebut menjalankan aturan rimba.
Lampu Merah
Hukum rimba terang kian merajalela di banyak sekali pelosok negeri ini sehingga sanggup dikatakan sudah mencapai tingkat ”lampu merah”. Meruyaknya aturan rimba telah menjangkiti banyak sekali lapisan masyarakat , mulai dari perkampungan hingga sentra keramaian , menyerupai terminal bus atau pasar. Celakanya , aturan rimba juga mewabahi kalangan penegak aturan dan pemelihara keamanan yang memiliki senjata api yang sanggup dipakai kapan saja.
Wabah main hakim sendiri terlihat terang seiring dengan merosotnya kewibawaan negara dan penegak aturan pasca-pemerintahan Soeharto , khususnya beberapa tahun terakhir. Sangat banyak perkara aturan rimba yang dipertontonkan oleh ”massa tidak dikenal” (anonymous mass) terhadap orang yang dicurigai sebagai pencopet di terminal atau pencuri di perkampungan dan kompleks perumahan. Massa mengamuk , menggebuki atau memperabukan orang-orang yang tercurigai hingga mati. Hukum rimba juga terlihat di jalan raya dikala bus kota dan kendaraan pribadi melindas pengguna jalan lain. Massa anonim dengan segera merusak dan memperabukan kendaraan tersebut di bawah tatapan petugas Polisi Republik Indonesia yang seolah tidak berdaya apa-apa.
Hukum tak ada daya menghadapi massa yang main hakim sendiri. Hampir tidak ada penegakan aturan terhadap massa pelaku yang membunuh mereka yang tercurigai bakal atau telah melaksanakan agresi kriminalitas.
Massa pelaku kekerasan dan aturan rimba pada praktiknya memiliki impunitas—kebal terhadap ketentuan dan hukuman hukum.
Berbeda dengan massa anonim yang menewaskan orang-orang tercurigai dengan pentungan , golok , atau bensin , mereka yang menjalankan aturan rimba di Mapolres OKU dan Lapas Sleman memegang senjata api (lethal weapons) dalam banyak sekali bentuk dan ukuran. Dengan menggunakan senjata api , hampir tidak ada orang atau petugas yang berani menghentikan agresi main hakim sendiri semacam itu , kecuali kalau mereka mau menjadi target aksesori atau siap ”perang” dalam skala yang sulit diduga.
Karena itu , bisa dibayangkan efek dan akhir lebih jauh—selain kematian—dari agresi aturan rimba yang dimainkan kelompok bersenjata api. Setrik psikologis , kian terlihat semacam kecanggungan forum dan pegawapemerintah aturan lain berhadapan eksklusif dengan kelompok-kelompok bersenjata api. Sementara di kalangan masyarakat luas , tindakan main hakim sendiri oleh kelompok pemegang senjata api menjadikan semacam ”psikologi ketakutan” (psychology of fear). Psikologi semacam ini memunculkan rasa tidak kondusif dan ketakutan yang kian mencekam dalam masyarakat luas.
Negara Gagal
Kian mewabahnya aturan rimba dan meluasnya keberantakan aturan (lawlessness) tidak ragu lagi merupakan salah satu indikator pokok negara gagal (failed state). Para pejabat tinggi Indonesia boleh saja amat gusar dikala Indonesia dikatakan setrik moderat sebagai berada ”di tubir negara gagal” karna—mereka mengklaim—ekonomi Indonesia terus tumbuh lebih dari 6 persen per tahun , menjadi keajaiban yang hanya bisa dikalahkan oleh China dan India.
Akan tetapi , meminjam kesimpulan When States Fail: Causes and Consequences (ed Robert I Rotberg , 2003) , negara gagal yakni negara yang tidak bisa memberi kebajikan umum (public good) kepada warga , khususnya keamanan atas harta benda dan jiwa. Pemerintah Indonesia beserta pegawapemerintah aturan dan keamanan semenjak dari sentra hingga tempat terlihat kian tidak bisa memenuhi kiprah dan kewajiban delivering public good ini.
Jika Indonesia diproyeksikan lebih jauh ke dalam parameter ”negara gagal” ini , terlihat dari tidak adanya kemampuan dan kesungguhan menegakkan hukum; kegagalan mencegah kekerasan di antara kelompok masyarakat; ketidakmampuan menghentikan keresahan sosial ekonomi (socio-economic discontents) di antara kelompok warga berbeda atau di antara warga dan pegawapemerintah negara atau bahkan sesama pegawapemerintah negara.
Jika dilihat dalam parameter lebih lanjut , negara gagal yakni negara yang tidak bisa mencegah meningkatnya gerombolan kriminal terorganisasi (organized crime) atau premanisme , meluasnya penjualan narkoba , dan perdagangan manusia. Ketika pegawapemerintah penegak aturan terlihat tidak bisa memberantas kriminalitas semacam itu , mereka kian kehilangan kredibilitasnya di mata warga. Akhirnya , kian sering mereka menjadi target amuk massa yang menyerbu ke kantor kepolisian.
Mengapa sebuah negara yang setrik ekonomi bisa bertumbuh dengan baik sanggup terjerumus ke dalam labirin negara gagal? Hal ini terkait banyak dengan kegagalan kepemimpinan negara—yang lalu menular ke daerah—dan menawarkan kesepakatan yang tidak bisa ditawar pada penegakan hukum. Sekali para pejabat publik—baik direktur , legislatif , maupun yudikatif—terlihat oleh masyarakat luas dan anggota pegawapemerintah keamanan/penegak aturan tidak sungguh-sungguh , tidak memiliki kesepakatan penuh , tidak berintegritas , tidak menyelaraskan perkataan dengan perbuatan , terciptalah keadaan anomie. Jika keadaan anomie yang disertai disorientasi dan dislokasi kian meluas dalam masyarakat , bisa dipastikan aturan rimba menjadi order of the day.
Azyumardi Azra , Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dan Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) , Stockholm
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Aturan Rimba"