Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Gizi Anak Bangsa

Salahuddin Wahid

Saat simpulan shalat berjamaah di masjid Pesantren Tebuireng , saya selalu dikerumuni ratusan santri yang ingin mencium tangan saya. Tradisi pesantren mewajibkan murid untuk mencium tangan guru dan ustaz. Namun , yang menarik perhatian saya dikala bersalaman itu ialah adanya banyak santri Tebuireng yang tubuhnya pendek (kontet) , padahal usia mereka minimal 12 tahun.

Rasanya jumlah anak pendek itu lebih banyak dikala ini daripada beberapa tahun lalu. Karena itu , saya tergelitik meminta kepala sekolah/madrasah yang ada di Tebuireng Agar mendata jumlah anak yang pendek badannya dan jumlah anak yang tinggi badannya.

Hasilnya sungguh menarik. Di madrasah aliyah , 22 ,5 persen siswa bertubuh tinggi (di atas 170 cm) , 21 ,6 persen bertubuh pendek (di bawah 160 cm) , dan 55 ,9 persen bertubuh sedang. Untuk siswi , 8 ,9 persen bertubuh tinggi (di atas 160 cm) , 21 persen bertubuh pendek (di bawah 150 cm) , dan 70 ,1 persen bertubuh sedang. Di Sekolah Menengan Atas , 6 persen siswi bertubuh pendek , 15 ,3 persen bertubuh tinggi , dan 78 ,7 persen bertubuh sedang. Untuk siswa , 33 ,8 persen bertubuh pendek , 19 persen bertubuh tinggi , dan 47 ,2 persen bertubuh sedang.

Batasan tinggi perlu diubah untuk Sekolah Menengah Pertama dan madrasah tsanawiyah (MTs). Laki-laki yang pendek (di bawah 152 cm) , yang tinggi (di atas 165 cm) , dan wanita yang pendek (di bawah 147 cm) , dan yang tinggi (di atas 157 cm). Di MTs , putra yang pendek tercatat 43 ,9 persen , yang sedang 45 ,6 persen , dan yang tinggi 10 ,5 persen. Untuk putri , yang pendek tercatat 28 ,7 persen , yang sedang 50 ,0 persen , dan yang tinggi 18 ,3 persen. Di Sekolah Menengah Pertama , untuk putri , yang pendek sebanyak 25 persen , yang sedang 43 persen , dan yang tinggi 12 persen. Untuk putra , yang pendek 40 persen , yang sedang 52 persen , dan yang tinggi 8 persen.

Masalah serius

Sebuah koran memuat gosip perihal kajian Bank Dunia berjudul ”Adjusting to Pressures” , menyatakan bahwa 36 persen dari anak Indonesia berumur di bawah lima tahun menderita kekerdilan fisik atau kontet. Angka itu di bawah Vietnam (23 ,3 persen) , Filipina (32) , dan Myanmar (35). Negara yang berada di bawah Indonesia ialah Kamboja (40 ,9 persen) dan Laos (44).

Menurut data UNICEF tahun 2003-2008 , Indonesia menempati urutan kelima dalam hal jumlah orang pendek terbanyak di antara negara-negara sedunia sehabis China , India , Nigeria , dan Pakistan. Menurut pengamat gizi Prof Abdul Razak Thaha , jumlah anak kontet di Indonesia tidak berkurang semenjak 1992. Fakta itu bertentangan dengan fakta bahwa pendapatan per kapita Indonesia meningkat. BerMakna ketimpangan pendapatan antarpenduduk terjadi setrik mencolok. Itu juga berMakna bahwa pembangunan kesehatan kita kurang merata dan tidak menyentuh kelompok miskin.

Di seluruh dunia , jumlah anak kontet mencapai 32 persen dari jumlah anak balita yang ada. Dari jumlah tersebut , 90 persen berada di negara yang sedang berkembang , termasuk Indonesia. Menurut Prof Soekirman dari IPB , sekitar 38 ,6 persen dari total anak balita Indonesia memiliki tinggi tubuh tidak sesuai umur. Maknanya , 4 dari 10 anak di Indonesia mengalami kekerdilan fisik jawaban kekurangan gizi , terutama kekurangan zat besi. Tidak sempurna apabila dikatakan anak bertubuh pendek itu jawaban faktor genetik.

Dalam kongres Nutrisi Asia XI (2011) terungkap , ada tanda-tanda peningkatan angka kegemukan pada masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Maknanya , jikalau sudah melewati usia pertumbuhan tinggi tubuh , penambahan tubuh bakal membuat tubuh si anak jadi gemuk.

Lantaran ingin bergaya modern , banyak anak terpengaruhi iklan dan mulai mengonsumsi minuman atau kuliner yummy yang cantik dan berlemak. Perubahan contoh konsumsi kuliner itu terjadi alasannya ialah teknologi pangan sekarang bisa memproduksi kuliner yummy dan murah , tapi kurang bergizi. Selain itu , ada contoh makan orang Indonesia yang perlu diperbaiki. Menurut data BPS 2011 , konsumsi beras orang Indonesia mencapai 113 ,48 kg per kapita per tahun. Itu ialah angka tertinggi di dunia. Konsumsi beras rata-rata orang Asia 65-70 kg/tahun.

Berlawanan dengan konsumsi karbohidrat yang terlalu tinggi itu , Indonesia ialah salah satu negara dengan konsumsi protein dan mineral paling rendah di dunia. Saat ini konsumsi protein hewani di Indonesia hanya 4 ,7 gram/orang/hari. Angka ini sangat rendah daripada Malaysia , Filipina , Thailand , yang rata-rata mengonsumsi protein hewani 10 gram/orang/hari. Apalagi jikalau dibandingkan dengan Korea Selatan , Brasil , China yang mencapai 20-40 gram/orang/hari. Kalau kita bitrik perihal AS , Jepang , Perancis , Inggris , dan Kanada yang konsumsinya mencapai 50-80 gram/orang/hari , bakal sangat jauh perbedaannya.

Dampak paling kasatmata dari rendahnya konsumsi protein dan mineral ialah rendahnya mutu insan Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Lihatlah prestasi olahraga bangsa kita. Meskipun penduduk kita keempat terbesar di dunia , prestasi olahraga kita tidak sebanding. Prestasi di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi juga kalah dibandingkan dengan negara-negara yang rakyatnya bisa menyediakan kuliner bergizi dan sadar untuk selalu memakan kuliner bergizi.

Fakta menyedihkan itu ialah jawaban kemiskinan yang masih melanda banyak rakyat kita. Kalau menggunakan standar pemerintah (penghasilan Rp 7.000-Rp 8.000 per orang per hari) , maka jumlahnya mencapai 12-13 persen dari jumlah penduduk kita atau sedikit di atas 30 juta orang. Namun , jikalau kita menggunakan standar Bank Dunia (2 dollar AS per orang per hari) , jumlahnya mencapai 115 juta orang. Bandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya sekitar 7 persen dari jumlah penduduk Malaysia (sekitar 2 juta orang) jikalau menggunakan standar Bank Dunia.

Peran serta masyarakat

Program penyuluhan gizi oleh pemerintah selama ini sepertinya kurang berhasil alasannya ialah rakyat tidak punya cukup uang untuk membeli kuliner bergizi. Program Badan Pelaksana Jaminan Sosial yang bakal berlaku mulai 2014 sepertinya tidak meliputi aktivitas penyuluhan gizi terhadap warga tidak bisa dan sekaligus membantu mereka yang kekurangan gizi tetapi tidak memahami dampaknya yang negatif terhadap pertumbuhan anak. BerMakna masyarakat harus ikut membantu.

Saya mendapatkan buku Peta Kemiskinan yang dikeluarkan Dompet Dhuafa sebagai dasar dari aktivitas mereka dalam membantu masyarakat miskin. Saya yakin banyak forum sosial lain yang punya aktivitas serupa , tetapi masih tidak mencukupi. Saya juga yakin banyak warga masyarakat yang hartanya berlebih mau membantu aktivitas semacam itu , tetapi forum sosial tentunya harus mau menjemput bola. Membantu orang yang makanannya kurang bergizi tentu lebih utama daripada menjamu orang kaya berbuka puasa.

Salahuddin Wahid , Pengasuh Pesantren Tebuireng

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Gizi Anak Bangsa"

Total Pageviews