Aristo MA Pangaribuan
Korupsi yakni kejahatan luar biasa dan berdampak signifikan negatif terhadap pembangunan bangsa. Itu yakni Notoire feiten ,sesuatu yang tidak perlu lagi diperdebatkan faktanya. Namun , trik menyikapi fakta tersebut dalam bentuk aturan membuka ruang diskursus yang luas.
Saya melihat ada dua hal krusial yang sanggup diperdebatkan: pertama , penambahan persyaratan khusus dalam PP 99 , utamanya mengenai kesediaan untuk bekerja sama dengan penegak aturan (cooperation with law enforcerment authorities). Kedua , mengenai baju tahanan KPK yang diperkenalkan kembali dengan aneka macam model yang harus digunakan oleh tersangka ataupun narapidana masalah korupsi.
Kerja sama
Polemik pertama , ada hal yang menarik dari penambahan persyaratan khusus bagi narapidana kasus-kasus kejahatan luar biasa , salah satunya korupsi , untuk memperoleh remisi. Hal tersebut yakni mengenai terminologi ”bersedia bekerja sama dengan penegak hukum” atau yang marak disebut dengan istilah justice collaborator. Terminologi ini dikenal melalui United Nations Convention against Transnational Organized Crime yang kemudian diratifikasi Indonesia tahun 2009 melalui UU Nomor 5 Tahun 2009. Di sana dikatakan bahwa kolaborasi antara penegak aturan dan tersangka (substantial cooperation) sanggup menjadi dasar meringankan sanksi bagi tersangka tersebut (mitigating punishment).
Dengan klarifikasi ini , sanggup diambil pengertian bahwa status justice collaborator tersebut berada dalam ranah ajudikasi(persidangan). Misalnya , hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat pernah meringankan sanksi bagi para terdakwa yang bekerja sama dengan penegak aturan dalam masalah AS melawan Kimbrough (06-6330) dan AS melawan Gall (06-7949) tahun 2007 mengenai jaringan peredaran narkoba. Proses kolaborasi ini dituangkan dalam bentuk Plea and Cooperation Agreement dengan kejaksaan.
Penegak aturan tidak sanggup memilih sendiri apakah seseorang sanggup mendapat predikat Justice Collaborator karna hakim yang bakal memilih pantas atau tidaknya seorang tersangka/terdakwa menyandang status tersebut pada ketika persidangan.
Di dalam PP 99 yang menjadi polemik , ranah justice collaborator untuk kejahatan-kejahatan luar biasa termasuk korupsi menjadi berbeda pengertiannya. Ranah justice collaborator menurut PP tersebut berada di dalam proses pasca-ajudikasi. Hal ini ditegaskan dengan fakta bahwa status justice collaborator yakni salah satu syarat mutlak bagi para narapidana untuk mendapat remisi. Padahal , apabila seseorang sudah menyandang status terpidana , dihentikan lagi ada diskriminasi menurut hal apa pun sesuai dengan prinsip dasar Kongres PBB mengenai Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Rasionya , begitu sudah menjadi narapidana , tidak sanggup lagi diperhitungkan hal-hal lain yang memberatkan pada khususnya alasannya yakni pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah tamat pada proses pengadilan (ajudikasi).
Perbuatan vs pelaku
Polemik kedua mengenai baju tahanan KPK. Pimpinan KPK memperkenalkan empat model baju tahanan: pertama , baju tahanan untuk sidang , baju tahanan untuk harian , baju tangkapan , dan baju olahraga untuk tahanan. Semuanya merupakan baju , baik untuk para tersangka yang bakal dan sedang menjalani sidang pengadilan (untried prisoner) dan tidak dibedakan dengan para narapidana.
Sayangnya , hal itu tidak sesuai dengan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Disebutkan dalam Pasal 88 Standard PBB tersebut bahwa para untried prisoners sanggup menggunakan pakaiannya sendiri alasannya yakni mereka harus dianggap tidak bersalah alasannya yakni belum adanya putusan pengadilan. Dan , soal pakaian , harus dibedakan antara untried prisoners dan convicted prisoners (terpidana yang sudah memiliki kekuatan aturan tetap).
Penulis baiklah bahwa tindak pidana korupsi harus diberantas. Namun , semangat ”yang penting koruptor harus dieksekusi berat” haruslah memperhatikan rasio aturan yang ada. Dua permasalahan itu mengatakan bahwa sistem aturan program pidana yang hendak dibangun menekankan pada prinsip pemidanaan retribusi (retributive justice) yang masih tradisional dengan menaruh sang pelaku tindak pidana (the offender) sebagai fokus sentralnya dan bukan perbuatannya (the offence) sebagai konsentrasi utama.
Dalam perkembangannya , prinsip ini sudah kuno alasannya yakni dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan aturan program pidana yang modern dan lebih menekankan keadilan yang restoratif (restorative justice) sebagai alternatif pemidanaan yang menekankan kepada perbuatannya dan bukan pelakunya.
Terlepas dari itu , penulis mengapresiasi syarat dari remisi PP tersebut yang membayarkan uang pengganti korupsi sebagai salah satu syarat untuk mendapat remisi. Hal-hal menyerupai ini yang perlu dikedepankan alasannya yakni menaruh fokus kepada perbuatannya dan bukan sang pelaku tindak pidananya. Karena esensi dari uang pengganti itu tentunya yakni mengembalikan kekayaan negara yang telah dicuri oleh sang koruptor.
Semangat ”pokoknya koruptor harus dieksekusi berat” haruslah diimbangi dengan rasio dan dasar aturan yang berpengaruh sehingga nantinya kebijakan yang lahir bukanlah kebijakan balas dendam terhadap pelakunya , menyerupai yang pernah diutarakan Francis Bacon , filsuf sekaligus mantan Jaksa Agung dan Lord Chancellor Inggris dalam esainya yang berjudul Of Revenge.
Aristo MA Pangaribuan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Aturan Berat Koruptor"