A Prasetyantoko
Tak hanya publik , beberapa media dan forum gila pun melihat gejolak ekonomi kali ini berpotensi mengulang krisis 1998. Benarkah krisis Asia kembali mengancam?
Di Tanah Air , banyak pihak bernostalgia dengan krisis yang mendorong Reformasi 1998 itu. Tak bisa disangkal , gejolak selalu memicu perubahan. Mengapa gejolak 2008 tak membuat orang berpikir soal Reformasi 1998? Memang ada konteks ekonomi-politik yang berbeda di setiap gejolak. Kali ini , gejolak terjadi di tengah menipisnya keyakinan publik kepada pemerintah , dan alasannya yaitu itu sentimen yang sangat jelek bisa saja tak membutuhkan acuan situasi mendasar yang sama buruknya dengan reaksi yang ditimbulkan. Bisa saja situasi mendasar tak terlalu jelek , tetapi pasar menghukum lebih keras dari kesalahan yang kita lakukan.
Jika berbasis indikator nilai tukar dan pasar modal , gejolak 2008 lebih berat. Saat itu , rupiah terdepresiasi 16 persen dan Indeks Harga Saham Gabungan terkoreksi 50 persen lebih. Kali ini , sampai penutupan pasar ahad kemudian , depresiasi rupiah sekitar 17 persen. Namun , bahwasanya pelemahan belum melewati titik terendah 2008 pada Rp 12.400 per dollar AS. Pasar terlihat lebih optimistis alasannya yaitu pada penutupan ahad kemudian berada pada level kurang lebih sama dengan awal tahun (4.300-an). Memang jikalau dihitung dari level tertinggi Mei 2013 (5.200) , koreksi sekitar 16 persen. Sederhananya , mestinya gejolak kali ini tak bakal lebih jelek dari 2008 , tapi mengapa orang rindu perubahan serta merujuk pada Reformasi 1998?
Joseph A Schumpeter pernah menyampaikan , ketika paling baik penemuan yaitu ketika krisis. Saat itu , semua orang berpikir perubahan dan setrik sukarela meninggalkan kemapanan (status quo). Maka , krisis dan perubahan sering beriringan. Mestinya tak perlu menunggu krisis dalam untuk mendorong perubahan penting dalam perekonomian kita.
Ada beberapa problem mendasar yang menghantui perekonomian kita akhir-akhir ini. Pertama , defisit neraca perdagangan yang Juli kemudian mencapai rekor tertinggi 2 ,3 miliar dollar AS. Pada 2008 terjadi surplus neraca perdagangan 2 ,1 miliar dollar AS , sedangkan 1998 surplus 21 miliar dollar AS. Kian hari , arus barang yang masuk lebih besar ketimbang yang keluar. Akibatnya , pendapatan dari atrik riil (ekspor-impor) terus menurun. Cadangan devisa lebih mengandalkan arus modal dan investasi , selain beberapa denah donasi dan swaps.
Kedua , defisit neraca transaksi berjalan atau NTB (mencatat seluruh transaksi barang , jasa , dan pembayaran) kuartal II-2013 mencapai 9 ,8 miliar dollar AS. Ketika terjadi gejolak 2008 , NTB defisit 630 juta dollar AS , dan 1998 defisit tak sebesar 2013. Setrik lebih sederhana , ketergantungan kita pada barang impor dan arus modal gila guna menopang dinamika perekonomian kian meningkat. Dan tantangan dari sisi eksternal bakal semakin intens di masa depan , contohnya bakal berlakunya Komunitas Ekonomi ASEAN pada 2015.
Kebijakan moneter
Sebenarnya , dinamika 2013 ini bisa jadi dering peringatan yang harus direspons dengan transformasi kebijakan setrik utuh , bukan tambal sulam menyerupai kini ini. Tak perlu menunggu gejolak lebih dalam alasannya yaitu biaya yang bakal ditimbulkan juga bakal sangat mahal.
Harus diakui , gejolak selalu menuntut respons cepat yang sering kali memberi imbas (trade-off) negatif dalam jangka panjang. Fokus pada stabilitas sering harus dibayar mahal dengan imbas jangka panjang. Misalnya , kebijakan suku bunga yang terlalu tinggi sehingga mengakibatkan kenaikan biaya dana. Sejak gejolak mulai terjadi pada Juni 2013 , BI sudah menaikkan suku bunga pola (BI Rate) empat kali sebesar 150 basis poin menjadi 7 ,25 persen. Jika situasi lebih jelek lagi , tak tertutup kemungkinan kembali dinaikkan menjadi sekitar 7 ,5 bahkan 8 persen. Sebagai perbandingan , menghadapi gejolak 2008 BI Rate dinaikkan menjadi 9 ,5 persen. Kondisi 1998 agak sulit dibandingkan alasannya yaitu kenaikan suku bunga 60 persen.
Namun , krisis 1998 memberi pelajaran sangat berharga pada otoritas moneter untuk tak terlalu ”terpancing” reaksi pasar sehingga BI tak selalu harus ambil sikap mendahului keinginan pasar (ahead the curve). Dalam konteks 1998 , kebijakan moneter yang garang menaikkan suku bunga justru mendorong krisis lebih dalam (pro-cycle). Dalam situasi di mana kebijakan fiskal dan industrial tak bisa meyakinkan pasar , kebijakan moneter jadi tumpuan impian meredam sentimen negatif.
Ketergantungan pada modal gila untuk menutup defisit neraca perdagangan menjadi ciri khas AS. Mereka bisa bertahan puluhan tahun dengan defisit neraca perdagangan besar. Kita tak bisa merujuk situasi AS untuk menjustifikasi kebijakan moneter dan keuangan dalam menutup defisit perdagangan. Perekonomian AS dengan gampang bisa menarik likuiditas dan mempertahankannya.
Ketergantungan kita pada aliran modal gila untuk menutup defisit perdagangan bakal membuat gejolak lebih intens. Hal itu alasannya yaitu likuiditas berperilaku paradoksal (paradox of liquidity). Ketika situasi kondusif mereka bakal mengalir ke negara dengan tingkat bunga tinggi , tetapi ketika terjadi gejolak mereka bakal kembali ke mata uang negara maju yang dianggap lebih kondusif , meski suku bunga lebih rendah. Negara maju justru menikmati ketika ada gejolak. Mereka dengan gampang menutup defisit perdagangan dengan jual surat utang.
Reformasi industrial
Situasi kita kini menyerupai dengan kondisi AS , di mana defisit neraca perdagangan ditutup dengan aliran likuiditas asing. Mereka masuk ke pasar keuangan kita untuk memburu suku bunga tinggi. Namun , ketika terjadi guncangan sedikit saja , mereka keluar. Melihat hal itu , ketergantungan pada kebijakan moneter sangat kontraproduktif , bahkan dalam jangka pendek , ketika terjadi gejolak. Apalagi dalam jangka panjang bakal menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal dan industrial harus didorong lebih keras untuk meyakinkan modal gila Agar tetap bertahan. Namun , upaya ini perlu waktu lebih usang , selain mengasumsikan kematangan dalam kelembagaan di balik kebijakan itu. Tak ada guna melansir banyak kebijakan , tetapi tak terjadi koordinasi dan lambat di implementasinya.
Kita berharap gejolak kali ini cukup untuk mendorong reformasi industrial yang menghadirkan kembali rancang berdiri kebijakan industri yang tangguh. Kebijakan industrial merupakan tulang punggung ekonomi , tanpanya perekonomian bakal terombang-ambing dinamika eksternal. Defisit neraca perdagangan dan NTB bukti berpengaruh hilangnya kebijakan industrial tersebut.
A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Momentum Perubahan"