M Ali Zaidan
Museum Nasional dibobol”. Demikian informasi utama harian ini , Jumat (13/9/2013). Judul utama itu dilengkapi dengan anak judul , ”Empat Koleksi Emas Berumur 1.000 Tahun Hilang”.
Dalam konteks ini apakah hilangnya benda bersejarah itu harus dianggap pencurian biasa atau sebuah petaka besar , yakni hilangnya identitas bangsa ini.
Pencurian benda-benda bernilai sejarah dan jadi bukti perjalanan bangsa ini telah jamak terjadi dan uniknya selalu berulang. Kelalaian , kekurangsigapan , atau keterbatasan anggaran maupun akomodasi jadi kambing hitam yang empuk untuk ditumbalkan. Namun , semua itu menunjukkan kurangnya kepedulian bangsa ini terhadap benda- benda yang bernilai sejarah dan penting untuk diwariskan kepada generasi penerus bangsa.
Kelalaian sejarah
Terjadinya kasus tersebut paling tidak disebabkan banyak sekali faktor. Pertama , makin tingginya nilai rupiah , baik dalam pasaran domestik maupun internasional , sehingga merangsang pelaku untuk mengambil barang milik bangsanya sendiri untuk ditukar dengan sejumlah uang. Kedua , benda purbakala dianggap warisan sejarah masa kemudian yang tidak bermakna dalam konteks kekinian. Benda-benda tersebut dianggap warisan masa kemudian yang membebani generasi ketika ini sehingga kehadirannya dianggap tindak penting lagi.
Kekurangpedulian ini melahirkan kelalaian sejarah yang terus berulang , tanpa sanggup diketahui siapa bekerjsama yang paling bertanggung jawab dan sanggup dimintai pertanggungjawaban setrik hukum. Kelalaian sejarah ini , berdasarkan penulis , tidak sanggup dipandang sebagai sebuah perkiraan tanpa bukti.
Hilangnya naskah Supersemar ialah bukti bahwa bangsa ini tidak peduli bakal perjalanan sejarah bangsanya dan berakibat lalai untuk menjaganya , hingga kemudian terjadi malapetaka. Hilangnya naskah yang menjadi bukti perjalanan Orde Baru , yang ”antiklimaks” terhadap orde sebelumnya , telah menjadikan sejarah bangsa ini menjadi cacat. Cacat tersebut telah dibawa semenjak kelahiran orde tersebut hingga ketika ini.
Berbagai analisis sejarah telah disumbangkan , tapi bukti-bukti yang mendukungnya tidak ditemukan lagi.Mutatis mutandis dengan hal itu , yakni pelanggaran hak asasi insan berat yang terjadi di awal Orde Baru yang menjadi cacatan kelam perjalanan bangsa kita. Hampir semua data dan fakta perihal insiden itu lenyap , kecuali data yang dimiliki pemerintah kala itu. Namun , alat bukti oral atau ingatan publik diyakini masih sanggup merawat memori itu setrik utuh.
Sayangnya , undang-undang yang hendak dijadikan dasar penyelesaian kasus masa kemudian itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Maka sejarah harus dimulai dari nol lagi. Begitu juga dengan pencurian benda pusaka yang sering terjadi , UU Cagar Budaya Tahun 1996 bekerjsama merupakan aturan positif , tetapi bukan merupakan ketentuan aturan pidana dalam Makna sesungguhnya. Oleh lantaran itu , penerapannya lebih bernuansa manajemen atau pemerintahan (ordeningsstrafrecht). Apakah dengan menghukum pelaku beberapa tahun telah cukup mengembalikan benda-benda warisan leluhur tersebut?
Kejadian yang sama bakal terus berulang , kelalaian petugas selalu menjadi target atau kurangnya sarana dan anggaran jadi alasan. Tanpa ada perjuangan yang serius dan perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah terhadap hal ini , maka sejarah bangsa bakal lenyap. Salah satu katup pengaman bukti sejarah tersebut sanggup dilakukan melalui perangkat aturan positif. Dalam hal ini , diyakini aturan sanggup dijadikan pencegah orang melaksanakan pencurian terhadap milik bangsanya sendiri.
Ketentuan aturan pidana yang mengatur perihal pencurian hanya diatur dalam satu pasal , yakni Pasal 362 , dengan bahaya pidana lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah (KUHP terjemahan Moelyatno). Dari sudut criminal policy , bahaya hukuman penjara dan denda yang begitu jauh kesenjangan menjadikan pasal tersebut kurang efektif menanggulangi pencurian.
Urgensi KUHP
Ancaman denda yang hanya sekali dilakukan melalui Perppu No 18/1960 yang menyatakan jumlah denda dalam kitab undang-undang hukum pidana harus dibaca dengan rupiah dan dilipatkan lima belas kali justru menjadikan sejumlah kasus pencurian harus dijatuhkan penjara meskipun hanya beberapa bulan/hari. Pencurian kakao , semangka , dan sandal jepit ialah pola betapa gagasan KUHP— lantaran kelalaian sejarah bangsa ini—perlu segera diganti menjadi faktor kriminogen dan bahkan viktimogen.
Menurut pandangan liberal , semua benda (barang) memiliki nilai yang sama. Oleh lantaran itu , pengaturan hukumnya cukup dalam satu pasal dan diancam sama dengan benda lain , termasuk benda pusaka sekalipun. Sementara di pihak lain , bangsa ini memiliki keragaman budaya yang salah satunya tecermin dari benda-benda pusaka/purbakala tersebut.
Benda yang bernilai sejarah dan diwariskan setrik turun- temurun memiliki nilai historis yang harus dirawat oleh penerusnya. Kelalaian merawatnya sanggup menjadikan kepemilikannya sanggup dialihkan kepada pihak lain yang lebih berhak dan peduli merawat benda tersebut.
Namun , sayangnya , konsep kitab undang-undang hukum pidana yang digagas oleh tim selalu dikembalikan oleh dewan perwakilan rakyat kepada pemerintah dan tim. Mudah ketentuan perihal pencurian benda yang bernilai sejarah tersebut hanya menjadi ideal norm/ius constituendum. Pencurian benda purbakala ini merupakan pesan simbolik yang harus ditangkap dewan perwakilan rakyat untuk segera membahas dan mengesahkan kitab undang-undang hukum pidana , bukan berdebat perihal santet yang tidak berkesudahan.
M Ali Zaidan Dosen Ilmu Hukum UPN Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pencurian Benda Purbakala Dalam Konteks Kuhp"