Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Apec 2013 Dan Prioritas Indonesia

Dinna Wisnu

Satu lagi perhelatan akbar diadakan di Pulau Dewata: APEC. Pertemuan wakil- wakil negara dan pebisnis besar dari 21 negara di Asia Pasifik ini mengangkat tema ”Resilient Asia-Pacific , Engine for Growth”.

Atrik ini digadang-gadang alasannya daerah ini ialah konsentrasi pusat pertumbuhan ekonomi dunia , salah satu daerah yang anggotanya masih tumbuh di tengah resesi global , dan arena lebih dari 55 persen atrik ekonomi terjadi di daerah ini.

Namun , sebetulnya tidak ada yang berubah dari APEC. Inilah lembaga sukarela bagi negara-negara daerah yang ingin sanggup fasilitas masuk ke pasar negara lain , memarkir uang dengan cita-cita jaminan laba sebesar-besarnya. Juga kesempatan bagi pakar dan praktisi mereka membuka ladang pekerjaan di negara-negara yang daya belinya bertumbuh. Wajar bahwa jargon growth alias pertumbuhan diulang-ulang dalam lembaga ini. Sebab , tanpa kerelaan negara-negara anggota membuka segala fasilitas itu , indikator pertumbuhan ekonomi mereka sulit tumbuh alasannya pasar domestiknya terbatas atau sedang lesu.
Perlu diwaspadai


Hal yang perlu diwaspadai adalah—karna dalam mencari pertumbuhan tadi—negara-negara anggota APEC mengedepankan penurunan kendala tarif secepat-cepatnya dan hingga sekecil-kecilnya. Padahal rata-rata dari mereka menerapkan kendala nontarif dan mencari peluang menghidupkan perekonomiannya sendiri , menyerupai dengan menjual teknologi dan jasanya.

Ambil pola Rusia. Alasan mereka masuk APEC ialah menjamin kelantrikn pasokan pangan dan mendukung konsep blue economy. Padahal , mereka menerapkan syarat standar mutu dan keamanan makanan sambil menunjukkan teknologinya , termasuk untuk pengawasan kelautan menyerupai radar dan sistem navigasi.

AS mengaku ingin menurunkan tarif barang masuk ke AS , tetapi kalaupun tarif mereka direndahkan , daya beli masyarakat AS sedang rendah , standar mutu untuk produk abnormal sangat tinggi , dan mereka mendesakkan teknologi konservasi lingkungan untuk ”membantu” produk kita.

Negara kota menyerupai Hongkong , Singapura , juga Taiwan dan Brunei pun getol minta penurunan tarif alasannya mereka memang hidup dari berdagang dan menyediakan jasa , termasuk layanan logistik. Tak dimungkiri , negara-negara kecil tersebut pintar bersilat pengecap dan kebijakan Agar ekspor dari negara-negara besar mampir dulu ke mereka sebelum diteruskan ke negara lain. Tujuannya jelas: pencatatan devisa masuk juga ke buku perdagangan mereka.

Setrik prinsip , keterlibatan di APEC tak sanggup dihindari alasannya Indonesia perlu menekan negara-negara lain untuk menurunkan segala bentuk kendala kolaborasi ekonomi. Akan tetapi , laba hanya sanggup diraup jikalau pemerintah lebih siap menghadapi tekanan kala perundingan , industri di Indonesia hidup dan terorganisasi dengan baik , para investor kita mau berangasan masuk mencari peluang ke negara-negara lain , dan para konsumen di Indonesia jeli. Kombinasi ini semua yang lemah.

Adapun yang kita hadapi ketika ini ialah AS , sekutunya , serta negara-negara kota yang kompak mendesakkan Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP) yang pada dasarnya tak jauh dari Trans Pacific Partnership. Mereka ingin garansi Agar perusahaan abnormal dijamin manfaatnya oleh pemerintah dan bahwa tak ada sektor yang dikecualikan untuk diturunkan tarifnya. Di sisi lain , negara-negara APEC ialah penyumbang 60 persen produk ramah lingkungan , meskipun kita tahu bahwa seorang andal produk jenis ini gres terbatas pada AS , China , Korea Selatan , Jepang , Taiwan , Singapura , dan Meksiko.

Kepentingan utama Indonesia ialah memastikan janji informal dengan APEC ini tidak menyudutkan produk-produk ekspor andalan Indonesia , membantu investor Indonesia menerima fasilitas berbisnis di negara anggota APEC , dan memperkuat kinerja industri mikro , kecil , dan menengah dalam persaingan yang mengedepankan standar mutu dan produksi massal demi harga murah. Harus disadari , prinsip standardisasi produk , peningkatan skala ekonomi , dan dukungan hak paten ialah hal utama yang harus dikejar untuk produk UKM. Selama ini tidak ada pelatihan pemerintah yang berMakna untuk memformalisasi atrik ekonomi UKM: rata-rata UKM pakai sistem gali lubang tutup lubang dan tak punya keahlian produksi massal alasannya kurang modal.

Selain itu , kita perlu waspadai konsekuensi perundingan pada sektor industri minyak sawit dan karet. Sektor ini diminta pemerintah untuk diakui sebagai sudah berstandar ramah lingkungan , padahal kenyataannya separuh dari produsen di sektor ini ialah petani rakyat dengan skala produksi dan modal yang kecil. Jangankan pencatatan pemenuhan mutu , untuk pestisida dan alat-alat pertanian pun masih seadanya. Setrik realistis sulit kita minta pengukuhan ramah lingkungan yang menyeluruh untuk dua produk tersebut , kecuali lembaga sertifikasi kita menjamin jangkauannya hingga ke petani terkecil sekalipun.

Negosiator harus jeli

Selain itu , perlu diperhatikan implikasi perundingan APEC pada daya saing produk gas alam , batubara , logistik (termasuk jasa pelabuhan , penerbangan , dan konektivitas antarpulau dan antar-kawasan) , teknologi isu , pendidikan , jasa kesehatan , industri kreatif , industri makanan dan minuman , properti , perbankan , pariwisata , semen , dan petrokimia. Inilah sektor yang cukup diandalkan di Indonesia , tapi belum berpengaruh untuk bersaing bebas.

Pengembangan teknologi isu , pendidikan , dan logistik belum terpadu dengan perkembangan industri besar. Birokrat kita belum sanggup membangun sistem terpadu yang serba tercatat setrik online dan rutin memanfaatkan hasil penelitian lembaga pendidikan. Sementara itu , daya beli konsumen yang meningkat justru sudah dimanfaatkan oleh investor dan operator asing.

Maknanya , para negosiator APEC harus lebih jeli alasannya beban kita ialah banyaknya pekerjaan rumah kementerian yang tidak dikerjakan dengan baik. Padahal swasta Indonesia masih sangat bergantung pada isyarat dan subsidi pemerintah. Melepas swasta kita kepada prosedur pasar yang diminta APEC sama saja bunuh diri , apalagi birokrat yang mendampingi tidak menguasai medan. Paling yang sanggup diperjuangkan ialah bahwa negara-negara yang mau mengimpor barang dan jasa dari Indonesia bakal mendapatkan insentif pengaturan logistik yang murah dan efisien. Agarkan ini menjadi pecut bagi BUMN dan kementerian terkait untuk merapikan sistem logistik dan meningkatkan daya saing produk Indonesia.

Dinna Wisnu , Direktur dan Co-Founder Paramadina Graduate School of Diplomacy , Jakarta

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Apec 2013 Dan Prioritas Indonesia"

Total Pageviews