Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Memanfaatkan Janji Tak Mengikat

Sebagai tuan rumah penyelenggaraan APEC tahun ini , Indonesia mengajukan tawaran Agar APEC membahas dan menghasilkan janji yang membumi.

Kesepakatan yang membumi sangat penting dikala ini. Perekonomian Indonesia yang mengidap defisit transaksi berjalan akhir defisit perdagangan serta defisit transaksi modal dan keuangan mengatakan bahwa perekonomian membutuhkan transformasi lanjutan yang harus operasional.

Ada tiga prioritas pembahasan pertemuan yang dihadiri para pemimpin 21 entitas ekonomi APEC dan sekitar 1.200 pemimpin bisnis. Pertama , melakukan janji Bogor Goals , yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi pada 2010 bagi negara maju dan 2020 bagi negara berkembang. Kedua , mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan tempat APEC disertai pemerataan. Ketiga , gosip keterhubungan (konektivitas) , menyangkut infrastruktur fisik serta fasilitas kemudian lintas orang , barang , dan jasa. Tiga prioritas pembahasan APEC tersebut berkaitan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2009-2014 Indonesia.

APEC memang memberi peluang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perdagangan bebas dan investasi setrik teori memberi jalan masuk produk tiap anggota memasuki pasar anggota lain tanpa hambatan. Tarif di antara anggota APEC rata-rata turun menjadi sekitar 6 ,8 persen dari 16-17 persen pada 15 tahun lalu. Investasi ajaib masuk deras ke Indonesia hingga pertengahan tahun kemudian , sebagian besar berasal dari anggota APEC.

Prioritas kedua , membahas , antara lain , gosip ketahanan pangan , energi terbarukan , kelautan , daya saing perjuangan kecil dan menengah , meningkatkan pMaknasipasi wanita dalam UKM , serta inklusi keuangan. Hal itu termasuk juga membahas obat tradisional dan tumbuhan obat bagi kesehatan.

Pangan

Dalam ketahanan pangan , contohnya , disepakati tanpa petani skala kecil tidak ada ketahanan pangan. Isu bagi Indonesia ialah kedaulatan pangan menyangkut hak-hak petani dan ketahanan pangan yang berkaitan dengan hak-hak konsumen.

Ironi bahwa Indonesia sebagai negara agraris mengalami kekurangan pangan , tecermin antara lain dari gejolak harga dari waktu ke waktu. Situasi ini merugikan petani sebagai produsen dan konsumen.
Dengan alasan menstabilkan harga dan mencegah inflasi , pemerintah setrik khusus turun tangan mengatur impor kedelai dan daging sapi , termasuk bawang putih , cabe , dan bawang merah.

Ketidakmampuan meningkatkan produksi menimbulkan Indonesia pasar bagi produk pangan dari luar dengan akhir menghilangkan kesempatan ekonomi dan lapangan kerja petani di dalam negeri.

Ada banyak hal yang harus diselesaikan Agar Indonesia sanggup bersaing di dalam APEC. Asupan teknologi dan penemuan tidak sanggup ditawar , terutama yang sempurna guna. Hal itu mulai dari menurunkan kehilangan hasil panen , memperpanjang umur simpan , jaminan harga bagi petani produsen—segera melakukan resi gudang , contohnya—hingga keamanan pangan. Kerja sama petani kecil dan pengusaha besar diperlukan meningkatkan kapasitas petani kecil dalam kolaborasi saling menguntungkan.

Petani Indonesia sulit bersaing dengan petani negara kaya meskipun sangat efisien berproduksi , terutama petani beras. Petani negara kaya menerima subsidi sangat besar dari pemerintahnya berupa subsidi pribadi , selain biaya untuk riset dan pengembangan , infrastruktur , asuransi , dan perlindungan terhadap produk dari luar.
Di Indonesia , agrobisnis pangan menghadapi biaya tinggi. Separuhnya disebabkan biaya politik , hanya 30 persen biaya riil yang dikeluarkan petani , dan 20 persen lantaran infrastruktur tidak efisien.

Pekerjaan rumah

Persoalan yang dihadapi sektor pangan juga terjadi dalam bidang-bidang lain. Sejumlah regulasi dirasakan mendiskriminasi dan menghambat pelaku perjuangan di dalam negeri.

Pembiayaan dan inklusi keuangan , contohnya , masih menjadi persoalan. Selain kondisi sebagai negara kepulauan menjadi tantangan dalam membangun infrastruktur , sumber daya insan juga menjadi hambatan dalam jalan masuk terhadap jasa keuangan formal.

Isu konektivitas yang di dalam negeri dibahas semenjak Mei 2011 melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia hingga hari ini masih tersendat-sendat pelaksanaannya. Dari sisi pemerintah , pembiayaan membangun infrastruktur menjadi hambatan , tetapi swasta juga tidak tertarik segera berinvestasi lantaran membutuhkan kepastian aturan dan fasilitas berbisnis dari pemerintah sentra dan daerah.

Kecenderungan lebih melihat ke dalam , contohnya , kebijakan kabotase , meskipun bertujuan menumbuhkan industri logistik di dalam negeri , di sisi lain menurunkan daya saing Indonesia. Hal ini disebabkan hanya beberapa pelabuhan diizinkan menjadi pintu masuk-keluar barang dari luar Indonesia.

Data perdagangan menunjukkan bahwa donasi perdagangan internasional dalam perekonomian masih 15-16 persen , kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia juga belum masuk di dalam rantai nilai global produk industri , kecuali untuk garmen yang nilainya rendah dibandingkan produk manufaktur lain.

Meskipun mengusung tema pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan pemerataan , dalam kenyataan , tiap negara menerjemahkan gosip tersebut berdasarkan kepentingan masing-masing. Hal ini tecermin dari belum disepakatinya oleh Amerika Serikat minyak sawit masuk sebagai produk ramah lingkungan. CPO dihadapkan pada pembangkit listrik energi surya dalam konteks energi terbarukan. Pun pada negosiasi di WTO untuk sengketa perdagangan produk pertanian , negara kawan dagang Indonesia tidak mau melakukan pencabutan tarif impor ke negaranya.

Ada laba APEC merupakan lembaga kolaborasi tidak mengikat. Indonesia bisa mencar ilmu banyak dari sesama anggota , terutama dalam meningkatkan kapasitas. Harapannya , dari mencar ilmu , kemudian diterapkan Agar segera naik kelas , tidak sekadar menjadi daftar pekerjaan rumah.

Redaksi Kompas

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Memanfaatkan Janji Tak Mengikat"

Total Pageviews