Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Sino-Ri| Beberapa Catatan

Makmur Keliat  

China kini telah menjadi pasar ekspor Indonesia yang sangat penting di tempat Asia. Setelah Jepang , China diperkirakan menjadi pasar ekspor kedua terbesar bagi Indonesia. Hal ini berMakna China telah menggeser posisi Singapura.

China diperkirakan telah pula menjadi importir terbesar bagi Indonesia mengalahkan baik Jepang maupun Singapura. Namun , identifikasi yang dilakukan mengatakan terdapat empat kelemahan dalam contoh perdagangan , investasi , ataupun pemberian pinjaman. Pertama , adanya kecenderungan yang mengatakan sehabis 2008 , China mengalami surplus terhadap Indonesia dalam perdagangan bilateral kedua negara.

Kedua , ekspor utama Indonesia ke China umumnya energi dan hasil sumber daya alam. Sedangkan konsentrasi impor Indonesia dari China terletak pada barang industri manufaktur dan barang modal (mesin dan peralatan).

Dua hal ini disebut dengan kelemahan lantaran dua alasan berikut. Pertama , Indonesia kini tengah menghadapi duduk kasus pasokan energi yang akut dan bakal kian parah di masa depan. Setrik logika ekonomi , mengamankan pasokan energi domestik seharusnya jadi prioritas kebijakan utama kecuali pembuat kebijakan di Jakarta memiliki pertimbangan strategis lain. Kedua , bakal terdapat kesulitan bagi Indonesia membuatkan industri nasional , khususnya manufaktur lantaran membanjirnya produk impor China itu. Dua kelemahan ini sanggup memunculkan penguatan sentimen ”nasionalisme sumber daya” (resource nationalism) dan sentimen perlindungan ekonomi di masa depan , khususnya terhadap produk dari China.

Kelemahan ketiga terkait abjad investasi yang dilakukan. Tampaknya simpul utama dan terkuat investasi China ke Indonesia masih terletak pada bidang energi. Investasi sektor energi yang besar ini sebagian juga menjelaskan mengapa contoh perdagangan bilateral RI-China defisit beberapa tahun terakhir. Investasi di sektor energi yang dilakukan China menjadikan lonjakan kebutuhan untuk impor barang modal berupa mesin dan peralatan dari China. Namun , Indonesia juga harus menyadari , peningkatan impor barang modal berupa peralatan dan mesin ini menjelaskan duduk kasus struktural pengembangan industri di Indonesia. Sejak Orde Baru pengembangan industri manufaktur kita tak didukung oleh pengembangan industri dasar dan strategis. Rezim Orde Baru telah menelantarkan cetak biru industri strategis yang telah diletakkan Bung Karno pada awal kemerdekaan. Karena itu , impor barang modal dari China sebagian disebabkan oleh ketimpangan dalam pengembangan industri nasional.

Terlepas dari soal ini , sesuatu yang harus tetap dicatat ialah bahwa investasi sektor energi menyerap tenaga kerja jauh lebih sedikit dibandingkan dengan investasi di manufaktur. Kecuali suatu terobosan dilakukan , tidak terdapat peluang besar bagi Indonesia bersandar pada China dalam mengatasi duduk kasus absorpsi tenaga kerja kalau contoh investasi ini diagarkan terus berlanjut di masa depan.

Batu kerikil

Kelemahan keempat menyangkut pinjaman. Jumlah pemberian pinjaman yang diberikan masih sangat minim dibandingkan dengan yang diberikan Jepang , khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Hingga kini Jepang masih pemberi pemberian pinjaman infrastruktur terbesar bagi Indonesia melalui kerangka ODA. Karena itu , walau tak tampak sebagai kasus serius , beberapa kelemahan dalam interaksi ekonomi bilateral kedua negara sanggup jadi watu kerikil di masa depan. Pertanyaannya , apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan korelasi ekonomi bilateral kedua negara? Kepentingan apa yang harus diajukan Indonesia? Pertama , tentu saja yang perlu dilakukan ialah mengoreksi empat kelemahan di atas. Di luar empat kasus ini , Indonesia perlu pula merealisasikan satu peluang , yaitu terkait MP3EI. Salah satu hambatan bagi Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi ialah minimnya infrastruktur. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi , pembangunan infrastruktur menyerupai jalan , pelabuhan udara dan maritim , kereta api , maupun jalan raya mengatakan stagnasi sepuluh tahun terakhir.

Dokumen MP3EI sendiri mencatat asumsi total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur sampai 2025 setidaknya sekitar Rp 4.000 triliun. Beberapa laporan bahkan menyebutkan kalau mobilisasi pendanaan sanggup dilakukan , proyeksi perihal pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia yang telah dicanangkan dalam MP3EI sampai 2025 kemungkinan besar sanggup dicapai. Bagi China , angka Rp 4.000 triliun ini hanya kurang dari 2 persen dari cadangan devisa negara itu , yang kini sekitar 3.000 miliar dollar AS dan dikategorikan terbesar di dunia.

Dalam kaitan ini penting untuk mencatat , China memiliki kepentingan untuk menyalurkan kembali cadangan devisa yang semakin membesar itu. Kepentingan itu ialah untuk mengatasi tekanan-tekanan apresiasi terhadap mata uangnya sebagai jawaban surplus perdagangan yang terus-menerus dalam tiga dasawarsa terakhir. Karena itu , rekomendasi yang sanggup diberikan terkait peluang ini ialah gimana membuat langkah-langkah nyata Agar China sanggup membantu Indonesia merealisasikan MP3EI , khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Indonesia harus sanggup meyakinkan China bahwa keberhasilan MP3EI merupakan pecahan dari kepentingan dasar China.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan kekuatan dasar dari peningkatan korelasi ekonomi kedua negara , tak hanya kini , tetapi juga di masa depan. Mestinya posisi tawar Indonesia dikala ini untuk meyakinkan China jauh lebih baik lantaran kesulitan keuangan yang kini dialami Eropa dan AS telah menurunkan daya serap ekspor China ke dua wilayah pasar itu. Tentu saja ini tak mudah.

Terdapat dua kategori hambatan yang perlu dicermati. Di tataran internasional , hambatan mewujudkan rekomendasi ini kemungkinan besar terutama bakal tiba dari AS dan Jepang. Bagi kedua negara ini , kedekatan korelasi ekonomi Indonesia dan China kemungkinan besar bakal dipersepsikan menggeser tugas penting kedua negara itu dalam perekonomian Indonesia yang telah terjadwal beberapa puluh tahun terakhir. Ancaman lain tiba dari konflik Laut China Selatan. Jika konflik Laut China Selatan mengalami eskalasi dalam bentuk konflik bersenjata , informasi pentingnya meningkatkan dimensi ekonomi dalam korelasi bilateral China-RI kemungkinan besar bakal terpinggirkan dan konsentrasi bakal lebih banyak diarahkan pada dimensi bahaya keamanan. Karena itu , tugas diplomasi Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan bakal memperoleh justifikasinya kalau dikaitkan kebutuhan mendapat sumber mobilisasi dana dari China.

Di sisi domestik , bahaya terutama bakal tiba dari kelompok yang melihat korelasi ekonomi yang semakin erat sebagai bentuk ”penjajahan baru” , menyerupai yang dialami Jepang awal 1970-an di Indonesia. Untuk mengatasi ini , ada dua hal yang sanggup direkomendasikan. Pertama , meminta China lebih meningkatkan setrik substansial aktivitas filantropis dalam aktivitas diplomasinya , terutama melalui pemberian beasiswa bagi ilmuwan Indonesia berguru di China. Kedua , meminta China ikut membantu memasarkan produk-produk industri Indonesia dalam jaringan pasar China di tingkat global. Patut dicatat , salah satu keunggulan China untuk memasuki pasar internasional ialah kekuatan jaringannya. Kedua saran ini dibutuhkan sanggup mengurangi kecemasan domestik terhadap kian dekatnya korelasi ekonomi kedua negara.

Makmur Keliat  Peneliti pada ASEAN Studies Centre , Departemen Hubungan Internasional , FISIP , Universitas Indonesia

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Sino-Ri| Beberapa Catatan"

Total Pageviews