Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Tantangan Negara Preman

R William Liddle 

The Act of Killing , tindakan pembunuhan , film dokumenter gres wacana pembantaian massal 1965-1966 di Indonesia , sedang ditayangkan di seantero Amerika Serikat.

Pengambilan gambar di Indonesia dilakukan antara 2005 dan 2009. Saya menonton di Columbus , di bioskop erat kampus Ohio State University , terdorong oleh perhatian pengamat politik dan film yang makin meningkat.

The Act of Killing diciptakan produser muda , Joshua Oppenheimer , yang berwarga negara Amerika dan Inggris , tetapi fasih berbahasa Indonesia. Film itu menggambarkan , melalui mata sejumlah pelaku di Medan , betapa kejam dan sadis tindakan orang antikomunis zaman itu. Namun , klaim utamanya ialah pelaku tersebut , dan penerus mereka , masih berkuasa sampai sekarang.

Reaksi pertama saya sebagai orang yang sudah usang mengikuti perkembangan politik Indonesia ialah jengkel pada pembuatnya , baik mengenai tafsiran sejarah maupun analisis kontemporernya. Namun , Setelah direnungkan , saya pun harus mengakui kemampuan Oppenheimer menandakan betapa berpengaruh imbas segi jelek Orde Baru pada Indonesia masa kini.

Distorsi besar

Pertama , The Act of Killing terperinci merupakan distorsi besar terhadap sejarah yang sebenarnya. Yang paling mengecewakan , penonton sama sekali tak diberi tahu wacana politik Indonesia sebelum 1 Oktober 1965 tatkala Partai Komunis Indonesia menjadi partai komunis terbesar di dunia Setelah Uni Soviet dan RRC.

Lagi pula , PKI ialah calon berpengaruh dan pesaing utama tentara menggantikan rezim Demokrasi Terpimpin yang dikuasai Presiden Soekarno. Sayangnya , kepada para penonton hanya disajikan kalimat singkat pada adegan awal yang mengklaim bahwa Pemerintah Indonesia digulingkan tentara pada 1965. Implikasinya: Demokrasi Terpimpin merupakan pemerintahan yang sah.

Selain membaca buku-buku sejarah yang lebih berimbang , saya menyaksikan pribadi apa yang terjadi di Sumatera Utara pada tahun 1962-1964 saat saya tinggal di Pematang Siantar , tempat saya mengumpulkan bahan- materi untuk disertasi S-3 saya. Dalam rangka itu , saya mengikuti aktivitas semua partai politik dan organisasi massa , termasuk PKI , dan mewawantriki pemimpinnya. Saya juga berkenalan dengan ratusan tokoh masyarakat dan warga biasa di seluruh Kabupaten Simalungun yang saya kunjungi berkali-kali.

Kesan berpengaruh saya: masyarakat nonkomunis di Siantar dan Sima- lungun waktu itu merasa teramat gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai kawasan perkebunan , Simalungun merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI menurut perbenturan kelas. Selain itu , orang beragama meyakini , PKI ialah partai ateis. Orang terdidik yang mengikuti perkembangan internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC ialah pemerintahan totaliter yang terbukti membunuh jutaan warganya sendiri Setelah partai komunis berkuasa di sana.

Fakta ini kiranya berlaku di banyak kawasan di Indonesia. Hal itu tentu tidak memaafkan perbuatan jahat yang kemudian dilakukan pemerintah Orde Baru bersama sebagian dari masyarakat Indonesia. Apalagi mengingat bahwa rencana penculikan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dirahasiakan pemimpin pucuk PKI dari anggotanya sendiri. Namun , sebuah penelusuran akhlak harus mulai dengan kenyataan itu , bukan dengan klaim kosong dan ahistoris bahwa Pemerintah Indonesia yang sah digulingkan tentara yang sewenang-wenang.

Perihal masa kini , klaim The Act of Killing yang paling keliru ialah Pemuda Pancasila beranggota 3 juta orang. Klaim fantastis ibarat itu ialah hal biasa dalam dunia organisasi dan politik Indonesia , tetapi orang luar perlu bersikap skeptis. Dalam hal Pemuda Pancasila , meski angka sempurna sulit ditemukan dalam penelitian sarjana , angka puluhan ribu mungkin lebih cermat ketimbang jutaan.

Tanpa angka akurat , penonton awam tak mungkin meletakkan tugas Pemuda Pancasila dalam konteks yang benar. Namun , siapa pun yang menonton film ini sulit menghindari kesimpulan bahwa para politisi masa kini bersikap dan bertindak terlalu lunak kepada sebuah ormas yang membanggakan jati dirinya selaku kumpulan kaum preman.

Cukup memprihatinkan

Setidaknya empat pejabat menggantungkan diri melalui wawantrik dengan Oppenheimer atau lewat pidato dan perbuatan yang direkam langsung. Mereka terdiri atas anggota DPRD tingkat provinsi mewakili Golkar , Gubernur Sumatera Utara , pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga , dan Wapres Republik Indonesia saat filmnya dibuat. Semuanya memuji Pemuda Pancasila sebagai organisasi patriotik , telah mengabdi kepada bangsa , dan perlu dipelihara buat masa depan.


Apakah Indonesia merupakan negara preman segimana digambarkan dalam film ini? Bagi saya , masih terlalu jauh menyimpulkan begitu , tetapi gejala-gejalanya cukup memprihatinkan.

R William Liddle Profesor Emeritus Ilmu Politik , Ohio State University , AS

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tantangan Negara Preman"

Total Pageviews