Musa Asy’arie
Akhir pekan ini di Makassar , Sulawesi Selatan , ada pertemuan ilmiah menarik. Masyarakat Neurosains Indonesia menggelar atrik yang membahas ”From Neuron to Nation”. Salah satu yang hendak dibahas ialah gimana membuat otak normal menjadi otak sehat.
Otak sehat ditandai dengan adanya prosedur berpikir yang bisa menembus batas-batas dimensi fisik serta memasuki dimensi nilai-nilai dan spiritual Agar sanggup menyatukannya dalam tindakan yang memberi manfaat bagi banyak orang.
Prof Moh Hasan Machfoed selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) menjelaskan bahwa fungsi otak tidak bakal berjalan baik tanpa keterlibatan neuron sebagai inti sistem saraf. Otak sehat bukan sekadar normal , melainkan juga berMakna: berfungsinya neuron yang memungkinkan otak bekerja dengan baik sehingga baiknya fungsi neuron bakal mencerminkan baiknya abjad suatu bangsa.
Penjelasan itu sanggup dipahami: pembentukan abjad bangsa berkaitan dengan fungsi neuron dalam otak yang memungkinkan seseorang berpikir sehat.
Otak bergotong-royong bukan hanya seonggok zat yang bersemayam di dalam kepala insan , tetapi mencerminkan sebuah prosedur berpikir yang sistemis yang membentuk peradaban suatu bangsa. Jika setrik ontologis peradaban itu ada , sebab adanya insan , keberadaan insan bergotong-royong ditentukan oleh berfungsinya otak sebagai suatu prosedur berpikir sistemis yang lalu membentuk suatu kebudayaan.
Dalam dunia filsafat dikenal adanya filsafat nilai atau aksiologi. Di dalamnya dibahas banyak sekali nilai: (1) nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan sikap , yang disebut dengan etika; (2) nilai benar dan salah yang berkaitan dengan pembentukan konsepsi , yang disebut dengan logika; dan (3) nilai indah dan buruk yang berkaitan dengan suatu keindahan , suatu wujud yang disebut estetika. Kebudayaan pada hakikatnya merupakan kesatuan ketiga nilai itu dalam kesatuan karya , tindakan , dan semua bentuk produk aliran manusia. Otak yang sehat ialah otak yang prosedur berpikirnya bisa menyatukan ketiga nilai itu dalam suatu tindakan.
Jika suatu tindakan insan terpecah dari kesatuan ketiga nilai tersebut , insan itu bisa dikategorikan sebagai pribadi yang mengalami keterpecahan mendasar sehingga sanggup melahirkan tindakan yang penuh pertentangan dalam dirinya. Kasus banyaknya guru yang berani menjiplak ijazah untuk mendapat pinjaman profesi guru mencerminkan terjadinya pertentangan nilai yang ada dalam dirinya: nilai guru sebagai pengajar moral , tetapi tindakannya justru berlawanan dengan moralitas.
Fenomena ini juga terjadi dalam bermacam-macam aspek kehidupan masyarakat , gimana seseorang yang dikenal taat beragama , tetapi bisa brutal dengan mengebom , dengan logika sempit , dengan mengambil korban tak berdosa dan tak ada kaitan pribadi dengan kehidupan pengebomnya. Karena itu , dalam kaitan dengan pembentukan kepribadian bangsa , bukan hanya otak normal yang perlu diperhatikan , melainkan juga otak sehat.
Pendidikan dan otak sehat
Pendidikan ialah sentra pembentukan abjad bangsa. Karena itu , krisis di dunia pendidikan bakal melahirkan krisis dalam abjad suatu bangsa. Pendidikan abjad bangsa tidak hanya mengajarkan nilai yang berkaitan dengan yang benar dan yang salah , yang berkaitan dengan iptek , dengan membangun suatu konsep berpikir yang logis , tetapi juga gimana bisa menghayati nilai etika dan estetika dalam pembentukan kepribadiannya.
Berpikir yang logis tidak cukup sebab dalam implementasinya harus memperhatikan nilai etika sehingga sanggup memperlihatkan manfaat bagi kehidupan bersama , yang diwujudkan dalam bentuk yang memenuhi nilai estetika sehingga memberi keindahan dan keharmonisan hidup.
Ada kecenderungan , ketika ini pendidikan kita lebih menekankan pada penguasaan nilai-nilai logika dengan membuatkan konsep ilmu pengetahuan dan teknologi saja untuk melahirkan insan yang pintar , yang menguasai iptek yang semakin canggih. Sementara itu , nilai-nilai etika dan estetika hanya dianggap sebagai perhiasan sehingga pendidikan kita gagal membentuk kepribadian yang kuat.
Terbukti budaya menyontek , tawuran , bahkan plagiarisme di tingkat intelektualnya marak terjadi di mana-mana. Korupsi pun dilakukan para sarjana dan kalangan terdidik.
Dikaitkan dengan kebudayaan , pendidikan kita yang berjalan selama ini bergotong-royong lebih menekankan pada penguasaan iptek. Akibatnya , pendidikan kita melahirkan kebudayaan yang semakin tak manusiawi , dalam realitas kehidupan yang tak harmonis. Memang pendidikan pada hakikatnya ialah serpihan dari kebudayaan , tetapi dalam perkembangannya pendidikanlah yang melahirkan kebudayaan. Karena itu , krisis dalam pendidikan bakal melahirkan krisis kebudayaan.
Musa Asy’arie Rektor UIN Sunan Kalijaga; Anggota Penasihat Masyarakat Neurosains Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Dari Neuron Ke Nasion"