Suwidi Tono
Sindiran Profesor Soetandyo Wignjosoebroto ini dicetuskannya lagi ketika berbitrik pada diskusi Forum ”Menjadi Indonesia” , di Jakarta , 19 Mei kemudian , bertajuk ”Kemiskinan Karakter Bangsa”. Beberapa bulan sebelum wafat , ia juga menulis di Facebook: ”Mengapa saya merasa asing dan asing di kampus? Pembitrikan di mana-mana kok hanya menyangkut pekerjaan teknis , bukan perburuan meningkatkan harkat ilmu dan martabat ilmuwan. Apakah kampus lain juga begitu?”
Kemasygulan Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Airlangga itu menyegarkan kembali kekhawatiran Julien Benda wacana the betrayal of intellectual , pengkhianatan kaum intelektual. Di sini , pesan Albert Einstein (1938) ketika revolusi industri bergemuruh melanda Eropa dan Amerika menjadi relevan: ”Perhatian kepada insan itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis , Agar buah ciptaan ajaran kita merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan”.
Ruh yang tergadai
Cendekiawan Soedjatmoko (1972) pernah mengingatkan perlunya sebagian intelektual tetap berada di ”luar pagar” untuk mengkritisi setiap kebijakan koleganya , kaum teknokrat di lingkar kekuasaan. Tidak perlu ada dikotomi antara asketisme intelektual dan mereka yang merasa nyaman ”bergelayut di bawah pohon rindang kekuasaan”.
Pandangan ini sejalan dengan Michel Foucault yang setrik jelas benderang memilah korelasi intelektual dan kekuasaan. Foucault menilai intelektualitas hanya berporos pada dua kecenderungan belaka.
Pertama , seorang intelektual menjalankan fungsi intelektualnya sebagai suatu tindakan subversif , negasi atas sebuah konstruksi atau paradigma kebijakan. Kedua , sekaligus antitesisnya , seorang intelektual memanfaatkan fungsi intelektualitas sebagai pemberi legitimasi.
Dengan demikian , tarikan gravitasi kekuasaan dan politik yang acap kali memesona seharusnya tidak meluruhkan elan intelektual. Namun , pada jadinya , kesanggupan memikul moralitas intelektual sepenuhnya bergantung pada integritas setiap individu.
Perbedaan pengembaraan itulah yang kelak memilih seseorang layak disebut intelektual otentik atau malahan terjerembap berperilaku politicking. Manakala yang mengemuka dari laris seorang intelektual justru sikap penghambaan atas kekuasaan , berlakulah adagium: mereka yang tidak firm dengan integritasnya , pada umumnya bakal terbiasa melaksanakan semua jalan yang mungkin untuk mempertahankan posisinya.
Ruh yang tergadai , laris tindak yang mengingkari adat intelektual itu , bukanlah hal baru. Ia berada di dalam resultante , gaya tarik-menarik dinamis dan selalu menarik hati mereka yang memiliki keahlian dan kapasitas ilmu di atas rata-rata.
Pengakuan dosa
Belum usang berselang , dua profesor riset bidang ilmu rekayasa pangan—sahabat saya—menerima anugerah berlainan. Yang pertama diangkat sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) , forum bergengsi kumpulan para ilmuwan terpilih , sebagai penghargaan atas pengabdian , ketekunan , dan sumbangannya terhadap pengembangan disiplin ilmu tersebut. Profesor kedua ditugaskan menjadi atase pendidikan di sebuah negara.
Untuk teman pertama , kebanggaan yang pantas dilayangkan yaitu no question. Anda berhak dan layak menerimanya. Sementara untuk teman kedua , meski dengan sedikit menyayangkan , tetap berhak mendapat ucapan selamat mengemban tugas. Tentu saja sembari tidak lupa mengingatkan kepada yang bersangkutan bahwa jabatannya itu lebih bersifat penunjukan , political appointee , tidak berkaitan sama sekali dengan standar meritokrasi keilmuan.
Intelektual sejati mewariskan jejak pikiran , karya , sumbangsih besar terhadap kemanusiaan , sekurang-kurangnya bagi disiplin ilmu yang digelutinya. Di ruang publik , mereka boleh jadi tidak mencorong , bahkan terlewatkan , dan dilupakan. Mereka umumnya membuat ”tapak jalan” sendiri yang diteladani murid-murid terbaik.
Mereka tidak silau jabatan struktural yang penuh takik-takik administratif dan protokoler. Mereka bahkan sering kali tak perlu rekognisi internal ataupun eksternal untuk melambungkan namanya.
Mereka bahkan tidak merasa terbatasi ekspresinya ketika lingkungan (pengabdian) di sekelilingnya tidak aman atau tidak mengapresiasi peran , pengabdian , dan karya-karyanya. Lapangan keilmuan terlampau luas untuk dipagari tembok universitas , bahkan negara.
Para pendiri bangsa—sebagian besar tak bergelar akademis—adalah intelektual sejati dengan integritas tak terpermanai. Dengan kedalaman dan keluasan ilmu , kegagahan martabat , kekayaan tempaan dan bantingan , mereka jadinya tetap saja meroket menjadi pribadi-pribadi raksasa dengan legasi faktual , tak lekang dari generasi ke generasi.
Prof Andi Hakim Nasoetion (1932-2002) , peraih PhD bidang statistika eksperimental dari North Carolina State University , AS , juga mantan Rektor IPB yang mencetuskan penerimaan mahasiswa gres tanpa ujian masuk , pernah mengaku ”berdosa” lewat tulisannya tahun 1985. ”Beberapa kali , selang dua atau tiga tahun , saya sempat menjenguk almamater saya yang kedua di Amerika Serikat dan berjumpa dengan guru saya. Setiap kali bertemu , ia terpaksa menanyakan apa pekerjaan saya alasannya yaitu hal itu memang tidak ada lagi. Tahun 1969 saya laporkan bahwa saya yaitu Dekan Fakultas Pascasarjana IPB.”
”Tahun 1981 ,” begitu dongeng Prof Andi Hakim Nasoetion , ”ketika berjumpa lagi dengannya , ia tertawa terbahak-bahak alasannya yaitu saya telah menjadi rektor. Semua muridnya boleh dikatakan telah menjadi ilmuwan statistika populer di dunia. Hanya saya muridnya yang menjadi direktur perguruan tinggi , menyimpang perjalanan hidupnya dari latihan penelitian yang ditempakannya kepada saya selama 38 bulan.”
Suwidi Tono Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Legasi Intelektual"