Donny Gahral Adian
Maknanya , bila Jokowi mencalonkan diri , maka tidak ada kompetisi sama sekali. Kompetisi gres sengit bila Jokowi tetap setia mengurus Jakarta. Ini masuk akal saja. Namun , politik terlalu sederhana bila pilihannya hanya Jokowi atau kompetisi. Politik yang sederhana tidak menarik. Politik gres menarik bila menjadi arena kudeta oleh calon-calon pemimpin yang sama kuat.
Persoalannya , partai-partai ketika ini tidak bisa melahirkan kader terbaik. Di pihak lain , kelompok-kelompok nonpartai mengidap alergi politik yang akut. Tak heran , Jokowi menyerupai setetes air di ember kosong politik republik ini.
Partai tokoh
Setelah Orde Baru , banyak sekali kelompok politik pun berhamburan keluar dari persembunyiannya. Sebagian menetap di masyarakat sipil. Sebagian lain memasuki masyarakat politik. Mereka yang memasuki politik pun menjajal medan gres yang menyimpan sejuta misteri. Salah satu misteri ialah ”apa syarat mungkin sebuah organisasi politik?” Sebagian menjawab: ideologi. Sebagian lain tidak percaya ideologi. Mereka yang antipati terhadap ideologi lebih menentukan tokoh sebagai syarat mungkin organisasi. Tokoh melahirkan partai dan bukan sebaliknya.
Pikiran semacam ini menemukan materialisasinya pada Partai Demokrat. Kita semua tahu bahwa SBY yang melahirkan Partai Demokrat , bukan sebaliknya. Ibarat anak balita , tumbuh-kembang Partai Demokrat seayun dengan tumbuh-kembang SBY. Logikanya , partai dibangun untuk meloloskan orang , bukan ide. Hal yang sama alhasil ditiru Gerindra dan Hanura. Prabowo melahirkan Gerindra dan Wiranto melahirkan Hanura. Akhirnya nasib partai pun mirip rokok. Kita ingat ”Prabowo” ketika mendengar ”Gerindra”.
Partai-partai gurem pun tidak mau ketinggalan. Sutiyoso melahirkan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Sri Mulyani melahirkan Partai SRI. Semuanya berpikiran sama: membuat partai untuk meloloskan orang. Soal wangsit bisa diurus belakangan. Akibatnya , jagat politik Republik hanya diramaikan segelintir orang.
Pertarungan politik hanya terjadi di antara ketua dan tokoh partai. Pertarungan antara Gerindra dan Hanura sejatinya ialah pertarungan antara Prabowo dan Wiranto. Bukan pertarungan antarorganisasi. Hidup-mati partai pun terpulang pada elektabilitas calon presidennya.
Partai pun bergerak tanpa mesin. Penggerak utama partai hanyalah ketokohan calon presidennya. Tak heran Partai Demokrat membuat ”konvensi anomali” yang mengundang tokoh-tokoh nonkader. Partai Demokrat mirip hendak mencari SBY Jilid Dua yang bisa mendongkrak elektabilitas partai. Setelah sempoyongan dihajar korupsi , Demokrat berharap terjadinya ”kelahiran kedua” pascakonvensi. Metode ini menunjukkan betapa partai defisit kader tanggapan terlalu berporos pada tokoh. Partai-partai yang dilahirkan oleh dan untuk tokoh harus berhati-hati lantaran juga bakal mengalami hal yang sama. Saat partai kehilangan tokoh , maka beliau bakal sibuk memunguti pemimpin di jalanan.
Saat ini partai yang berjubel kader hanya PDI Perjuangan. Jokowi bisa dibilang hanya salah satu kader terbaik PDI-P. Kita sebut saja nama-nama mirip Rustriningsih , Ganjar Pranowo , Budiman Sudjatmiko , Aria Bima , dan Eva Sundari. Mereka ialah sederet kader yang masa depan politiknya masih panjang dan cerah. Memang usaha mereka di dalam partai tidak mudah. Namun , hanya pertarungan politik internallah yang sanggup melancipkan kemampuan politik seseorang. Pisau tidak diasah dengan kertas. Pisau hanya bisa diasah dengan batu.
Tanpa Jokowi
Megawati memang masih menjadi tokoh sentral di PDI-P. Namun , berbeda dengan Demokrat , PDI-P tidak perlu mencari-cari calon presiden dari luar. Stok capres PDI-P cukup banyak. Kepala-kepala tempat PDI-P yang kapabel (selain Jokowi) tidak sedikit. Ini menunjukkan betapa di PDI-P , partailah yang melahirkan orang , bukan sebaliknya. Partai dibangun bukan untuk merebut jabatan presiden belaka , melainkan memastikan pemerintahan dijalankan sesuai dengan patokan ideologisnya.
Demokrasi membutuhkan partai-partai yang berjubel kader. Jika tidak , demokrasi hanya diisi pemimpin-pemimpin politik karbitan. Partai , bagi saya , ialah sekolah politik sesungguhnya. Memang , pedagang dan akademisi juga sekolah. Namun , sekolah pedagang dan akademisi tidak menajamkan kemampuan politik seseorang. Di dalam dunia bisnis dan universitas juga terdapat kompetisi yang sengit. Namun , kompetisi bukan pertarungan politik. Pertarungan politik ialah tegangan antara dua kekuatan ideologis yang tidak mengenal win-win solution. Partai pun tak lain ialah koloseum tempat berlatih para petarung politik.
Partai juga merupakan sekolah tempat orang ditempa kapasitas pengelolaan teritorialnya. Jokowi ialah rujukan yang menarik. Dia tidak muncul tiba-tiba di jajaran elite nasional. Dia ditempa dulu sebagai direktur di Solo. Setelah itu gres beliau naik ke provinsi sebesar Jakarta. Partai perlu setrik sengaja membuat rekam jejak bagi kadernya. Semuanya harus direncanakan setrik matang. Tidak bisa seorang akademisi mendadak jadi calon presiden. Tanpa kemampuan politik dan rekam jejak teritorial yang memadai , jangan harap seseorang sanggup menjadi presiden yang mumpuni.
Meroketnya Jokowi tidak tiba-tiba. Semuanya berproses. Kejenuhan pada model kepemimpinan yang elitis memang berpengaruh. Namun , Jokowi tetap merupakan sebuah produk sebuah organisasi politik yang matang. Jokowi bergantung pada PDI-P , tetapi hidup-mati PDI-P tidak bergantung pada Jokowi. Partai tidak diukur dari elektabilitas calon presidennya. Partai diukur dari jumlah kader terbaik yang dihasilkannya. Konvensi Partai Demokrat di Amerika Serikat beberapa waktu yang kemudian , contohnya , ialah pertarungan antara dua kader terbaik partai: Hillary Clinton dan Barack Obama.
Jadi , sekali lagi , politik jangan terjebak pada pilihan-pilihan yang sederhana. Jokowi terang terlalu kuat bagi pesaing-pesaingnya. Politik gres menarik bila pertarungan terjadi di antara kader-kader terbaik dengan selisih elektabilitas yang tipis. Saya bermimpi setiap partai kelak membuat konvensi untuk mendapat kader terbaik dari kader-kader terbaiknya. Kader terbaik itulah yang bakal bertarung melawan kader terbaik partai lain. Saya merindukan satu ketika nanti diskusi politik di republik ini tidak melulu bitrik soal tokoh alasannya ialah ketika itu kita sudah melupakan Jokowi.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Lupakan Jokowi"