M Jusuf Kalla
Negara sedang demam dan flu. Sama dengan insan , demam disebabkan oleh virus dikala daya tahan badan melemah. Gejalanya ialah penurunan kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan.
Ekonomi Indonesia terkena efek efek luar dikala kondisi ekonomi nasional sedang lemah. Krisis ekonomi Eropa dan Amerika menurunkan ajakan komoditas Indonesia. Ekspor ke Eropa , China , dan India menurun nilai dan volumenya semenjak tahun 2012.
Penurunan ekspor mengakibatkan pendapatan pengusaha dan masyarakat turun serta berdampak penurunan pajak. Di lain pihak , impor tetap naik lantaran kenaikan ajakan BBM dan barang modal untuk investasi. Akibatnya , defisit perdagangan mencapai 6 miliar dollar AS untuk Januari-Juli 2013 , dengan defisit neraca pembayaran hampir 10 miliar dollar AS.
Kebijakan dalam negeri yang populis , dengan tidak mengurangi subsidi BBM walaupun harga minyak mentah sudah di atas 100 dollar AS/barrel semenjak tahun 2010 , membuat subsidi mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun. Pemerintah tidak bisa membangun infrastruktur dan justru mengakibatkan defisit APBN yang besar lantaran impor BBM menggerus devisa. Dalam kondisi yang sulit ini , biaya rutin negara dalam APBN 2013 dan 2014 , khususnya biaya pegawai , bunga , dan cicilan utang , tetap saja tinggi. Peluang melaksanakan pembangunan semakin kecil.
Situasi ini mengkhawatirkan pengusaha yang akhirnya kurang percaya terhadap rupiah. Kurs tembus Rp 11.000 per dollar AS , apalagi setrik bersamaan Fed AS bakal mengurangi stimulus dana murah lantaran ekonomi Amerika mulai membaik.
Tidak mudah
Penyelesaian setiap krisis tidak ada yang gampang , menyerupai minum obat pahit atau menjalani operasi , tetapi yang terpenting ialah mencar ilmu dari krisis semoga kita tidak terperosok di lubang yang sama. Kita pernah krisis hebat tahun 1997-1998 yang memaksa pemerintah menerbitkan rekap-bond Rp 650 triliun dan kita harus membayar cicilan dan bunga sampai 20 tahun ke depan. Krisis tahun 2008 berskala lebih kecil dan bisa diatasi , kecuali bagi korban skandal Bank Century.
Krisis dengan solusi yang keliru sama dengan memberi pasien obat yang salah atau malapraktik , kesannya fatal. Kebijakan yang keliru mengakibatkan krisis tahun 1997 menjadi yang terparah di Asia Tenggara. Yang pertama , upaya mengatasi inflasi dengan menaikkan bunga sesuai dengan saran IMF justru berdampak buruk. Bunga Bank Indonesia yang naik terus justru mendorong inflasi lantaran biaya ekonomi naik dan produksi turun. Tahun 1998 , BI Rate mencapai 60 persen dan inflasi melambung pada tingkat 77 persen. Pemilik deposito makin kaya , yang miskin makin susah. Situasi makin parah dengan pertumbuhan ekonomi negatif 15 persen.
Yang kedua dan paling fatal ialah kebijakan blanket guarantee: pemerintah menjamin semua dana nasabah di bank. Ini mengakibatkan penyelewengan besar-besaran. Banyak bankir sengaja membangkrutkan banknya lantaran dijamin penuh oleh pemerintah. Ini meninggalkan beban Rp 650 triliun , yang bunga dan cicilannya harus dibayar anak cucu kita.
Selain saran keliru IMF , upaya juga berlebihan untuk menjaga rupiah. Padahal , rupiah tidak ke mana-mana lantaran tidak laris diperdagangkan di luar negeri. Rupiah hanya pindah dari bank ke bank dalam negeri lantaran bunga tinggi.
Tahun 2008 , kebijakan blanket guarantee saya tolak keras walaupun didesak oleh Menko Perekonomian/Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia serta dunia perjuangan , khususnya perbankan. Pendirian saya terperinci , Mengapa Pemerintah Indonesia yang sedang kesulitan harus menjamin bank-bank absurd , bank adonan milik investor dari Singapura/Malaysia , serta bank nasional yang kaya?
Selain jaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan , pemegang saham dari bank tersebut seharusnya ikut bertanggung jawab. Untuk bank BUMN , lantaran pemegang saham ialah negara , negara turut bertanggung jawab.
Dengan perilaku tersebut , disertai penghematan anggaran dan pengurangan subsidi BBM melalui konversi minyak tanah ke LPG dan menaikkan harga BBM pada Mei 2008 serta hukum monitoring devisa membuat kita sanggup melalui krisis 2008 dengan baik. Hanya saja , tanpa sepengetahuan saya , Bank Century di-bail out tanpa dasar jelas.
Belajar dari krisis 1998 dan 2008 , ada langkah-langkah yang harus kita tempuh.
Pertama , meningkatkan efisiensi. Terkait penyebab eksternal berupa efek krisis Eropa dan Amerika Serikat , kita tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa kita lakukan ialah menjaga efisiensi dalam negeri dan menjaga pasar yang ada , baik pasar ekspor maupun domestik.
Kedua , mengatasi defisit perdagangan. Meningkatkan ekspor tidak gampang dalam pasar yang sempit dan kompetitif. Fokus kita tidak pada gimana menjual barang , tetapi juga gimana penerimaan pembayaran dikelola dengan benar lantaran yang defisit ialah devisa. Selama ini ekspor berjalan , tetapi devisa disimpan di luar negeri. Kewajiban ekspor natural resources dengan L/C harus diperlakukan semoga devisa masuk ke BI , menyerupai telah disetujui tahun 2008 yang kemudian dibatalkan Menteri Perdagangan.
Monitoring devisa keluar harus diperketat , menyerupai di Singapura , Malaysia , dan Amerika Serikat. Ini untuk memperbaiki neraca pembayaran dan hasil pajak.
Kurangi impor
Kita perlu mengurangi impor produk yang gotong royong bisa kita produksi. Kita masih impor pangan , tekstil , hasil industri , dan BBM. Produktivitas harus ditingkatkan dan konsumsi diprioritaskan untuk produksi dalam negeri. Pengalaman 2008/2009 mengatakan bahwa kita bisa swasembada beras.
Selain itu , perlu diselesaikan segera sejumlah proyek listrik 10.000 megawatt yang sudah terlambat tiga tahun. Program ini gotong royong gampang , tetapi sayang tidak dijalankan serius dan sejumlah pihak takut mengambil keputusan. Jika ini terwujud , bakal mengurangi impor BBM dan subsidi sewa diesel yang mahal. Selanjutnya , perlu segera didorong proyek listrik 10.000 megawatt tahap kedua semoga tiga tahun lagi Indonesia masih benderang.
Begitu pula terkait dengan perizinan. Birokrasi kita masih rumit dan lamban , Maknanya biaya tinggi. Izin di kementerian dan urusan membangun listrik butuh waktu usang dan bertele-tele , padahal pengeluaran untuk subsidi sudah mencekik.
Untuk mengurangi defisit APBN yang bisa melebihi batas 3 persen GDP , tidak ada trik selain menghemat dan mengurangi biaya rutin negara berupa belanja barang dan modal yang tidak perlu menyerupai membangun kantor-kantor pemerintah gres dan perjalanan. Pembangunan sekolah , rumah sakit , dan infrastruktur harus jalan terus.
Ketiga , mengurangi subsidi energi (BBM dan listrik) dengan pembiasaan harga lagi. Walaupun Juni kemudian sudah naik , kenaikan itu belum cukup mengurangi defisit. Tahun 2005 , BBM naik dua kali gres stabil. Memang bakal berdampak pada tingkat inflasi , tetapi hanya sementara. Semua upaya penghematan harus diwujudkan , bukan dipidatokan.
Memperbaiki defisit perdagangan dan APBN bakal otomatis memperbaiki neraca pembayaran lantaran kepercayaan dunia perjuangan bakal baik. Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan bulan kemudian , itu belum cukup , apalagi jika hanya bersifat imbauan dan kebijakan moneter.
Beberapa kebijakan moneter kemungkinan justru bakal berdampak negatif. Upaya menaikkan BI Rate , menyerupai pengalaman 1998 , bunga dan inflasi kejar-kejaran ke atas. Begitu pula buy back saham , justru bakal mendorong investor absurd menjual saham. Buat apa melindungi investor absurd di bisnis yang memang penuh risiko. Jika BUMN kelebihan cash , lebih baik diinvestasikan ke sektor riil. Lebih baik melindungi produsen tempe daripada investor pasar saham.
Kita tidak perlu bersikap seakan pasar saham ialah segalanya menyerupai pandangan orang Singapura dan Hongkong. Faktanya , kapitalisasi saham di Singapura mencapai 120 persen GDP , di Indonesia hanya 35 persen , 75 persen milik asing.
Melemahnya kurs rupiah mengakibatkan ada pihak yang rugi dan ada juga yang untung. Bagi eksportir atau kawasan penghasil komoditas ekspor , justru bakal naik pendapatannya dalam rupiah sehingga makin menyejahterakan. Bagi mereka dengan pendapatan tetap dalam rupiah , pendapatan riil bakal turun lantaran inflasi.
Kenaikan BI Rate juga bakal mendorong fund manager absurd masuk ke SBI , yang bunganya dibayar dan dijamin BI/negara , untuk apa? Kalau dana SBI Rp 300 triliun dan kita harus membayar bunga tanpa bisa dipakai , sama saja kita dikuras.
Begitu pula pikiran dari beberapa pejabat bahwa krisis ini sanggup diatasi dengan meningkatkan konsumsi. Hanya satu negara yang bisa melaksanakan , yaitu Amerika Serikat , lantaran bisa mencetak dollar untuk membeli barang dari luar. Di Indonesia , harus ada pendapatan gres konsumsi.
Belajar dari pengalaman , dalam setiap krisis yang harus diobati ialah penyebab bukan gejalanya serta obat yang paling sempurna ialah peningkatan produktivitas dan penghematan. Semua perlu pengorbanan. Memberi obat yang keliru bakal sangat berbahaya dan kita sudah mencar ilmu itu dikala krisis tahun 1998.
M Jusuf Kalla Wakil Presiden RI 2004-2009 , Praktisi Bisnis
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Krisis Ekonomi| Kita Dapat Apa?"