Mohammad Abduhzen
Entah dianggap lumrah atau tak relevan , tidak ada jadwal ataupun butir di antara 27 hasil konvensi yang mendorong kelanjutan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu. Atau , paling tidak , menyinggung upaya pencegahan korupsi dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN). Padahal masih segar dalam ingatan kita bahwa kisruh UN tahun 2013—menurut hasil audit inspektorat—terkait korupsi.
Kedua , konvensi ini semula digelar untuk membitrikkan aneka macam problem pendidikan , kemudian diciutkan jadi konvensi UN untuk mengakhiri aneka macam silang pendapat. Bahkan , Kemdikbud membatasi bahasan Agar tidak mempersoalkan eksistensi dan substansi UN.
”UN tak bisa diganggu gugat karna ada dalam undang-undang ,” kata Musliar Kasim , Wakil Mendikbud. Padahal kontrkelewat / oversi UN selama ini yakni soal eksistensi dan substansinya. Bagaimana mungkin kontrkelewat / oversi itu berakhir , sementara pokok masalahnya tak dibitrikkan.
Konvensi UN yang didahului oleh prakonvensi di tiga wilayah (Medan , Makassar , dan Bali) benar-benar ”konvensional” dalam efektivitas anggaran. Sekadar mendiskusikan teknis pencetakan soal dan persentase nilai untuk kelulusan kiranya tak perlu konvensi. Hasilnya menyerupai diduga: UN ditradisikan.
Dalam undang-undang memang disebutkan perihal penilaian , bukan UN. Berdasarkan itu , UN selama ini ada kerancuan pada tujuan , kepada siapa penilaian itu diberlakukan , dan siapa yang melakukan.
Pernyataan UN untuk pemetaan , untuk peningkatan mutu , memacu semangat berguru , dan untuk dasar masuk pendidikan berikutnya menggambarkan kesimpangsiuran pemahaman perihal posisi UN.
UN untuk apa/siapa?
Menurut UU No 20/2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) , ada dua macam penilaian yang target , tujuan , metode , penyelenggara , serta implikasinya berbeda. Pertama , penilaian dalam rangka pengendalian mutu sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan. Evaluasi ini dilakukan terhadap forum , jadwal , dan juga penerima didik serta diselenggarakan oleh forum mandiri.
Istilah pemetaan , pengendalian mutu , dan untuk kebijakan yakni tujuan utama dari penilaian ini. Evaluasi ”peserta didik” terkait model pengendalian mutu ini , utamanya tidak dimaksudkan untuk menguji hasil belajar. Akan tetapi , lebih pada mengevaluasi kondisi penerima didik menyerupai usia masuk sekolah—sehingga sanggup ditentukan angka pMaknasipasi bernafsu (APK) , biaya personal , dan aneka macam hambatan yang dihadapi siswa di suatu kawasan dan masalah lainnya yang terkait.
Namun karna salah satu indikator kualitas pendidikan yakni nilai hasil berguru , tentunya untuk pemetaan mutu nilai itu diharapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Untuk itu , idealnya BSNP sanggup memperolehnya melalui sekolah atau dinas pendidikan , yaitu hasil penilaian yang dilakukan pendidik. BSNP tak perlu menyelenggarakan ujian nasional sendiri , apalagi dilaksanakan setiap tahun menyerupai UN selama ini.
Jika di tangan guru semua murid selalu diluluskan—seperti juga UN—sehingga nilainya tak sanggup mendapatkan amanah , BSNP sebagai forum berdikari sanggup menyelenggarakan ujian nasional sendiri dan atau melalui sampling terjadwal empat atau lima tahun sekali; toh mutu pendidikan setrik agregat tak berubah revolusioner setiap tahun. Ujian menyerupai ini seharusnya tidak memilih dan berimplikasi pada kelulusan murid karna hal itu bukan tujuannya. Perlu dicarikan model pengujian Agar murid serius mengerjakannya meskipun tanpa risiko.
Posisi penilaian ini lebih kurang serupa dengan penilaian forum internasional menyerupai TIMSS , PIRLS , PISA untuk mengetahui kemampuan bidang matematika , sains , dan membaca. Perbedaan mungkin penilaian BSNP lebih komprehensif dan detail karna berada dan bersama komponen lain dalam kerangka penilaian satuan pendidikan yang bakal dijadikan dasar kebijakan peningkatan mutu setrik sistemis.
Kedua , penilaian hasil berguru penerima didik. Evaluasi ini diselenggarakan oleh pendidik untuk memantau proses , kemajuan , dan perbaikan hasil berguru murid setrik berkesinambungan. Obyek penilaian ini yakni murid yang berguru pelajaran tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pihak yang mengevaluasi yakni pendidik. Untuk penilaian ini , khazanah pendidikan kita mengenal istilah ”ulangan”: ada ulangan harian , ada pula ulangan umum. Ulangan umum diberikan pada setiap selesai semester dan kalau diberikan di selesai masa sekolah disebut ujian selesai yang berimplikasi pada kelulusan.
UN selama ini setrik gegabah mencampuradukkan kedua model penilaian yang seharusnya dipisah , yaitu mengevaluasi hasil berguru yang seharusnya wewenang pendidik , tetapi dilakukan oleh BSNP sebagai forum eksternal-mandiri , dan berimplikasi pada kelulusan. Pertimbangannya barangkali efisiensi , yakni borongan: satu UN multi-tujuan. Alhasil , selain berdampak jelek , tak satu tujuan pun tercapai. Perolehan UN tak mengatakan apa yang senyatanya.
Romantisme , seolah dulu kualitas pendidikan lebih baik karna ada ujian nasional (ujian negara) dan kemudian merosot karna tak ada UN hanyalah imaji. Faktanya , situasi kebangsaan yang centang-perenang dan serba buntu ketika ini terang berkorelasi dengan kualitas pendidikan tempo dulu. Kalaupun mutu pendidikan dulu dianggap baik , itu pun belum tentu tersebab ada ujian negara , karna pendidikan yakni sebuah kompleksitas yang terkait banyak faktor. Dramatisasi , menyerupai tanpa UN murid jadi terbelakang , sekolah tak terstandardisasi , atau bahkan Indonesia terancam disintegrasi hanyalah kecemasan yang berlebihan.
Pengganti UN
Sebagai bentuk penilaian , UN hanya instrumen diagnostik yang menunjang proses pendidikan. Mutu pendidikan ditentukan kualitas proses interaksi pembelajaran yang kinerja guru yakni faktor terpenting , terutama dalam kiprahnya memotivasi dan menginspirasi murid. Kisah Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi kiranya sanggup membantu pemahaman kita perihal kesejatian makna pendidikan. Oleh alasannya itu , kalau UN dihapuskan , pendidikan kita baik-baik saja , bahkan potensial jadi lebih baik.
Apabila UN dihapus , kemudian apa gantinya? Pertama , (biasakan) kembali pada undang-undang: penilaian hasil berguru murid dilakukan oleh pendidik. Di antara beberapa alternatif sanggup dikembangkan menyerupai penilaian mata kuliah di perguruan tinggi tinggi: kelulusan ditentukan dosen. Di sekolah , hendaklah setiap guru sanggup mengevaluasi dan melaksanakan remedial sampai murid lulus dari mata pelajaran yang diampunya. Apabila guru asal meluluskan— sekali lagi—maka gurulah yang dibenahi.
Kedua , pastikan guru-guru bekerja dengan arah dan pedoman yang ditetapkan dalam standar kompetensi lulusan dan standar isi. Ketika murid diluluskan dari sebuah mata pelajaran yang ditempuhnya , seyogianya ia telah mencapai butir-butir dari standar yang ditetapkan. Untuk itu , selain kurikulum harus terang , guru dilatih dengan benar.
Ketiga , untuk pengukuran dan atau pemetaan kualitas setrik nasional , BSNP sanggup melaksanakan ujian setrik sampling atau ujian nasional terjadwal empat atau lima tahun sekali.
Mohammad Abduhzen Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina , Jakarta , Ketua Litbang PB PGRI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ujian Nasional Konvensional"