A Prasetyantoko
Pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali beriringan dengan meningkatnya intensitas gejolak perekonomian , baik domestik maupun global. Goldman Sachs beberapa tahun kemudian merilis laporan yang menjuluki Indonesia sebagai ”The Next 11 Countries” , atau kelompok 11 negara sangat prospektif , yang bakal segera menyusul keberhasilan Brasil , Rusia , India , China (BRIC). Belum usang berselang , Indonesia kini ditempatkan dalam ”Fragile Five” oleh Morgan Stanley. Itu julukan bagi negara paling bermasalah dalam depresiasi nilai tukar , bersama Brasil , Turki , Afrika Selatan , dan India.
Buruknya depresiasi di lima negara ini terkait dengan banyak sekali masalah domestik , menyerupai tingginya inflasi , besarnya defisit transaksi berjalan , dan terkoreksinya pertumbuhan ekonomi. Aneka masalah ini bermunculan seiring dengan proses inovasi titik keseimbangan gres setrik global. Prospek pemulihan ekonomi negara maju direspons investor global melalui reposisi portofolio investasi. Adapun negara berkembang dengan kinerja jelek mengalami tekanan lebih besar.
Indonesia menghadapi kompleksitas masalah tersebut. Dalam jangka pendek ada masalah likuiditas yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar , dan dalam jangka panjang kita menghadapi transformasi struktur ekonomi yang terancam mandek. Dua tantangan inilah yang mestinya menerima perhatian khusus dalam pertemuan APEC. Mampukah kita memanfaatkan lembaga tersebut? Meskipun informal dan tidak mengikat , APEC tetap memiliki tugas strategis alasannya ialah bisa mendorong lembaga formal menyerupai Bank Dunia , Dana Moneter Internasional , dan Organisasi Perdagangan Dunia menindaklanjutinya.
Pertemuan APEC tahun ini bertema ”Resilient Asia-Pacific Engine of Global Growth”. Ada tiga prioritas yang ingin dicapai. Pertama , pencapaian Target Bogor (Bogor Goals) yang sudah ditetapkan pada pertemuan APEC 1994. Kedua , merealisasi pertumbuhan berkelanjutan melalui pemerataan (sustainable growth with equity). Ketiga , mempromosikan konektivitas. Pertemuan Bogor telah menyepakati tujuan bersama liberalisasi perdagangan dan investasi pada 2010 bagi negara maju dan 2020 untuk negara berkembang. Target tersebut beririsan dengan komitmen pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Agak ironis , semakin kita mendekati tenggat implementasi perdagangan bebas (dan investasi) , justru kita tengah bergulat mengatasi masalah terkait neraca eksternal kita.
Defisit perdagangan Juli kemudian mencatat rekor terbesar dalam sejarah , sebesar 2 ,31 miliar dollar AS atau setrik kumulatif dari awal tahun mencapai 5 ,65 miliar dollar AS. Transaksi berjalan defisit 9 ,8 miliar dollar AS pada triwulan II tahun ini , atau 4 ,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Akibat buruknya defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan itulah rupiah mengalami tekanan yang cukup besar , mencapai sekitar 20 persen dibandingkan dengan kinerja awal tahun.
Seakan-bakal kita berada pada dua tebing masalah yang semakin mengimpit. Pada satu sisi semakin akrab menghadapi implementasi perdagangan bebas , di sisi lain terimpit oleh makin besarnya defisit. Jika tidak ada perubahan lanskap kebijakan ekonomi , liberalisasi perdagangan dan investasi justru bakal menjerumuskan kita pada jurang masalah yang makin pelik. Apa yang bisa kita lakukan dalam Forum APEC guna mengatasi masalah domestik tersebut?
Sebanyak 21 negara anggota APEC memiliki tugas sentral alasannya ialah menguasai kurang lebih 60 persen PDB dunia dan merupakan 70 persen dari pangsa pasar ekspor kita. Dari sisi investasi , peranannya juga tak kalah penting. Dalam pertemuan CEO Summit di Bali , contohnya , bakal berkumpul tak kurang 1.200 pemimpin tertinggi perusahaan besar di dunia. Mereka ialah motor yang menggerakkan investasi ke penjuru dunia.
Sebenarnya persoalannya bukan lagi terletak pada kesempatan yang tersedia , melainkan justru pada kemampuan kita melaksanakan transformasi mendasar perekonomian kita sehingga kita memiliki kesiapan untuk terjun dalam arena tersebut. Tingginya investasi pribadi gila ternyata memberi efek jelek alasannya ialah hampir semua kebutuhan investasi dipenuhi dengan materi baku dan materi penolong impor. Perekonomian domestik tak bisa menyediakan materi baku tersebut setrik proporsional sehingga tingginya investasi pribadi gila berimplikasi terhadap melonjaknya materi baku impor.
Sama halnya dengan terbukanya sistem perdagangan melalui liberalisasi , justru membuat ajaran barang dan jasa lebih banyak mengalir ke perekonomian domestik ketimbang peningkatan ekspor produk nonmigas kita. Daya saing produk kita begitu kedodoran alasannya ialah produktivitas ekonomi kita yang tak mengalami perubahan berMakna.
Terkait informasi jangka pendek , Forum APEC bisa menjadi sarana sangat baik untuk melaksanakan lobi dalam rangka meningkatkan cadangan devisa kita , khususnya melalui perjanjian swap antarnegara. Pendekatan ini penting untuk meningkatkan cadangan devisa yang kini berada pada kisaran 92 ,8 miliar dollar AS. Sementara , informasi konektivitas dan pertumbuhan dengan pemerataan perlu diturunkan dalam ramifikasi agenda yang menjawab informasi pokok kita hari ini.
Pada informasi ini tercakup banyak sekali agenda , mulai dari infrastruktur fisik , saluran keuangan , hingga kerangka kelembagaan yang memadai bagi transformasi perekonomian domestik. Agenda domestik jangka panjang tersebut terasa begitu klise alasannya ialah sudah sekian usang kita paham betul situasinya , tetapi tak pernah ada upaya nyata yang sistematis dan berkelanjutan. Kalaupun ada beberapa inisiatif , terkesan insidental dan responsif yang cepat menguap.
Pendek kata , lembaga informal APEC ini bisa sangat berkhasiat bagi perekonomian kita yang sedang terancam pelambatan , selain dinamika jangka pendek yang menantang ini. Untuk itu , diperlukan koordinasi yang baik di antara pejabat pemerintah. Jangan hingga pejabat yang tidak berwenang menawarkan pernyataan di media yang justru memperlihatkan tidak adanya koordinasi. Dalam situasi menyerupai ini , soal dapat dipercaya menjadi sangat penting sehingga perlu ada upaya maksimal mengupayakannya.
A Prasetyantoko , Pengajar di Unika Atma Jaya , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Relevansi Apec Bagi Perekonomian Kita"