Ahmad Rizali
Di tengah optimisme Indonesia menghadapi fenomena bonus demografi sebagai titik tolak lepas landas menuju negara maju , kita masih menyisakan 45.000 lebih bawah umur TKI pekerja kebun sawit di Sabah dan Sarawak yang tak tersentuh layanan pendidikan.
Di dalam negeri , hiruk-pikuk pelaksanaan Kurikulum 2013 masih saja terdengar. Belum lagi rasa gembira yang dicuatkan pemerintah terkait penghargaan UNESCO atas kesuksesan Indonesia dalam mengurusi buta abjad serta klaim Mendikbud atas menurunnya tingkat buta aksara. Di tengah atmosfer optimisme semacam itu , di seberang tapal batas negeri ini ribuan anak Indonesia dalam kondisi buta huruf dan buta perihal Indonesia.
Mereka yaitu bawah umur WNI yang intinya tidak diperbolehkan membawa anak dan beranak-pinak di kebun sawit yang mahaluas itu. Sekalipun demikian , umumnya semua anggota keluarga ikut bekerja di kebun yang menyumbang pangsa ekspor terbesar negeri jiran itu.
Meski Pemerintah Indonesia peduli dengan kondisi mengenaskan itu , dengan membangun Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) dan mengirim guru untuk bekerja di Community Learning Center (CLC)—baik yang dikelola oleh SIKK , Yayasan Serat Bangsa , dan LSM Asing Humana—jika pendekatan pemberantasan buta huruf masih dilakukan dengan trik business as usual , tidak mungkin puluhan ribu anak buta huruf itu tertangani.
Pemerintah Indonesia hanya bersikap pasrah jikalau bujukan kepada negeri jiran Agar diperbolehkan mendidik anak bangsanya di rumah mereka tidak diizinkan , dan selalu mencari lagi jalan lain yang paling santun. Padahal , kedua negara saling memahami bahwa di kebun sawit ada pengabaian terhadap deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa perihal pendidikan untuk semua (education for all/EFA) dan pengesahan Konvensi Hak Anak Internasional. Indonesia juga memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak.
Pemerintah Indonesia sendiri bergotong-royong sudah memberi wewenang kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk mengurus TKI dan keluarganya dalam Undang-Undang Tenaga Kerja , tetapi sepertinya forum ini sudah mengalah dan kalang kabut mengurus TKI remaja sehingga keluarganya terlupakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Luar Negeri tentu sudah memainkan kiprah forum itu dengan optimal , tetapi terhalang oleh ”unggah-ungguh” diplomasi , kedaulatan negara masing-masing dan hukum ketidakbolehan APBN RI menyeberang ke luar negeri. Alhasil , saking ketatnya hukum itu , para pejabat yang bekerja di garda depan sering kali hanya bersikap pasrah dan enggan dimintai pertolongan untuk mengurus penderita buta huruf tersebut.
Berlagak bodoh
Tentu Malaysia cukup arif untuk melihat bahwa TKI yang bekerja di kebun sawit tempat mereka bersama keluarganya dan memagarkan anak usia sekolah buta huruf yaitu melanggar budpekerti internasional. Namun , saat tidak ada satu LSM hak asasi anak pun di sana yang ”berteriak” , tentulah perilaku berlagak ndeso yaitu yang paling tepat.
Kalangan akademis Malaysia yang masih punya tenggang rasa berupaya mengajak belasan perguruan tinggi eks IKIP Indonesia membentuk konsorsium. Salah satu kegiatan konsorsium yaitu berkomitmen pada pelaksanaan EFA. Langkah yang bakal ditempuh yaitu mengirim mahasiswa dari Indonesia yang meneruskan kuliah S-1 di Malaysia , di tahun terakhir , ”kerja praktik mengajar” ke tempat kebun sawit.
Birokrasi Malaysia dan saudaranya di Indonesia terasa tidak menganggap persoalan ini sebuah prioritas yang harus diselesaikan. Hal itu terbukti dari kurang cepatnya dukungan pada inisiatif dari pihak lain saat ingin membantu dengan mengirimkan guru relawan ke Sabah , Malaysia. Sebuah yayasan yang berhubungan pada satu BUMN besar bahkan berniat membatalkan pengiriman guru relawan mereka alasannya sudah enam bulan menunggu tanpa kepastian Agar memperoleh izin dari negeri jiran.
Meskipun tim relawan dari yayasan tersebut sempat menerima pompaan semangat eksklusif dari wapres , Mendikbud dan Menakertrans di Istana wapres , toh sehabis empat bulan lebih masih tetap tak ada kepastian berangkat , sudah tiga dari 15 relawan tersebut yang mengundurkan diri.
Jika Pemerintah RI menganggap persoalan ini yaitu prioritas , tentunya pihak-pihak terkait harus terus berjuang dan ”menekan” Pemerintah Malaysia Agar memberi izin lebih banyak lagi CLC boleh beroperasi setrik legal sehingga guru relawan dengan gampang terus ditambah. Jika perlu , Presiden membentuk semacam satuan kiprah (satgas) khusus lintas kementerian , atau bahkan memimpin sendiri upaya ”menekan” Pemerintah Malaysia dengan saling membuka ”kartu” masing-masing.
Saya tidak mengerti ke mana muka kita bakal disembunyikan dalam pergaulan antarbangsa. Dan , betulkah kita bakal bisa melunasi janji kemerdekaan segimana tokoh muda Anies Baswedan sering sebutkan , saat kita tidak peduli dengan persoalan yang sangat fundamental ini.
Bonus demografi dan semua statistik sukses ekonomi dan kesejahteraan yang meningkat dengan naiknya penerimaan per kapita bakal tak berMakna jikalau kita memagarkan nasib anak bangsa tetap ndeso , menderita buta huruf di Sabah. Tidak takutkah Malaysia dan Indonesia jikalau mereka nanti tumbuh remaja dan jadi teroris militan alasannya kebodohan yang bukan kesalahan mereka , melainkan alasannya pemagaran kita sebagai sesama anak bangsa?
Ahmad Rizali Pegiat Pendidikan , Pendiri dan Pembina Ikatan Guru Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pendidikan Belum Dewasa Tki"