Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Mimpi Di Siang Hari

Sulastomo 

ADA pertanyaan mengapa kegalauan meluas dan menisbikan keberhasilan yang dicapai? Bukankah setiap keberhasilan ada kelemahannya? Misalnya , mengapa pertumbuhan tidak disertai pembagian hasil pertumbuhan?

Dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis , kebebasan mengeluarkan pendapat juga telah kita nikmati. Bahwa ada kesan berlebihan , inilah yang harus kita rem. Namun , dari sisi kebijakan memang perlu pendekatan atau trik berpikir dalam jangkauan menengah dan jangka panjang. Ada kesan ketimpangan itu disebabkan maraknya pemikiran jangka pendek , sekadar penyelesaian sesaat.

Inilah akar duduk masalah yang mungkin menjadi sumber kegalauan kita semua. Kita semakin terbiasa dengan pemikiran sesaat , jangka pendek atau pragmatis. Pragmatisme telah menjauhkan idealisme sehingga tanpa disadari melahirkan budaya ”tujuan menghalalkan trik”.

Benar , kita memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi. Masalahnya , gimana semoga pertumbuhan itu terbagi sehingga tidak menjadikan kesenjangan yang makin lebar? Kalau lebih cenderung ke konsep pasar bebas , yaitu masuk akal jikalau kesenjangan semakin melebar. Apalagi , daya saing kita masih lemah sehingga ekonomi kita lebih dikuasai asing.

Demokrasi kita sebetulnya justru mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Contohnya , untuk memenangkan pemilu/pilkada terjadi ”politik uang”. Kita belum ”siap kalah dan siap menang”. Tujuan mengikuti pemilu/pilkada hanya untuk menang , bukan memenuhi proses demokrasi. Yang ada yaitu semangat ”tujuan menghalalkan trik” , yang ujung-ujungnya kepentingan materi. Dampaknya , masyarakat sulit diajak berpikir ideal , apalagi ideologis. Pancasila pun dilupakan.

Ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merefleksi jalannya reformasi mungkin juga merefleksikan pemikiran yang serba pragmatis itu. Pragmatisme ternyata membuat kita menyimpang dari tujuan negara ini didirikan. Mampukah kita berefleksi dan meluruskan jalannya reformasi dalam waktu singkat?

Risiko reformasi

Peralihan Orde Baru ke Reformasi berjalan cepat. Presiden Soeharto yang terpilih setrik aklamasi dalam Sidang Umum MPR , Maret 1998 , dua bulan lalu mengundurkan diri. Pemimpin gres muncul , pemikiran gres pun muncul. Bagaimana mewujudkan demokrasi , menegakkan HAM , dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Terjadilah perubahan yang sangat mendasar: Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen tahun 2002.
Perubahan yang mencolok terkait kandungan hak-hak asasi insan (HAM) , sistem ketatanegaraan , pilihan sistem ekonomi , dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Hal ini tecermin dalam perubahan batang badan Undang-Undang Dasar 1945.

Perubahan drastis itu membuat substansi Undang-Undang Dasar 1945 yang orisinil tergerus. Syukurlah , Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak diubah meskipun lalu antara pembukaan dan batang badan Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan 2002 dinilai tidak sinkron.

Presiden dipilih pribadi , MPR tidak lagi sebagai forum tertinggi negara yang bertugas menentukan presiden/wakil presiden dan menetapkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) , otonomi kawasan berbasis tingkat II dengan pilkada pribadi , pers bebas tanpa SIUPP , dan ekonominya sesuai konsep ekonomi pasar bebas.

Kini , lima belas tahun sehabis Reformasi , Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak kita semua merefleksikan Reformasi , meneruskan yang baik dan memperbaiki yang belum baik. Substansinya perihal sistem ketatanegaraan kita , sistem presidensial , prosedur ”check and balances” dan lain sebagainya.

Sebagai presiden dua periode , tentunya SBY mencicipi kelemahan sistem yang berjalan sekarang. Bagaimana sistem presidensialnya tersandera sistem parlementer sehingga ada pemikiran , sanggup saja sistem parlementer lebih cocok. Sebab , sistem parlementer pernah kita terapkan di abad 1950-an.

Di sektor ekonomi , kiprah negara juga semakin kurang terasa sehingga terjadi kesenjangan. Otonominya sempat dimoratorium semoga negara ini tidak semakin ”fragmented” sehingga sulit dikelola. Kritik terhadap pelanggaran HAM masih terdengar sehingga kita dianggap lemah dalam melindungi kelompok minoritas. Belum lagi masalah-masalah lain.

Tidak mudah

Namun , seruan refleksi itu niscaya tak gampang dilaksanakan. Inisiatif pemerintah mengubah pemilihan gubernur semoga dilakukan oleh DPRD saja tertatih-tatih. Ada yang menilai proposal itu sebagai kemunduran demokrasi. Demokrasi , dalam hal ini , hanya dipersepsi sebagai pemilihan langsung. Padahal , demokrasi kita mestinya berdasar perwakilan , berjenjang , dan tidak langsung. Demokrasi menyerupai itu , segimana di Amerika Serikat , electoral-vote lebih menentukan dibandingkan dengan popular-vote dalam pemilihan presiden.

Selama lima belas tahun Reformasi , banyak UU dan kebijakan gres mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Namun , semua sudah dianggap sebagai suatu kewajaran. Terkait otonomi dan demokrasi , contohnya , gimana kita sanggup mengurangi ”hak” yang telah diberikan kepada rakyat untuk menentukan gubernur/bupati/wali kota , bahkan presiden/wakil presiden , jikalau hal itu sudah diyakini sebagai wujud demokrasi kita?

Demikian juga di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya meskipun terasa ada kegalauan terhadap sistem ketatanegaraan kita. Wajar , jikalau lalu timbul wacana untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (asli) , sementara Presiden mengajak refleksi. Sebagian masyarakat menggunakan istilah ”kaji ulang” yang mengesankan perilaku moderat dalam menyikapi kondisi bangsa ini. Hal ini memerlukan idealisme , setidaknya penggambaran harapan masa depan bangsa , tak sekadar mencari solusi sesaat yang ternyata sanggup menyimpang dalam mewujudkan masa depan kita.

Jelas ini sangat tidak mudah. Ada yang berpikir , mungkin hanya sanggup berjalan jikalau ada uluran tangan Tuhan atau sekadar ”mimpi di siang hari”.

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Mimpi Di Siang Hari"

Total Pageviews