Bambang Kesowo
Berkembang pandangan bahwa problem multidimensi yang tidak ringan dikala ini memerlukan penyelesaian yang sifat dan arahnya mendasar. Hal tersebut tidak hanya lantaran penyelesaian ini dibutuhkan kini , tetapi juga lantaran itu penting bagi arah dan kualitas kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Rencana perbaikan dan langkah apa pun yang diambil hanya bakal terwujud apabila terlebih dulu dilakukan pembenahan institusional.
Ketika publik mulai tahu betapa besar dan meluasnya efek jelek politik uang dalam proses dan pengambilan keputusan politik—baik dalam bidang kehidupan politik , aturan , sosial-budaya , ekonomi , maupun keamanan—pertanyaan besarnya yakni , pertama , mungkinkah membenahi keadaan tersebut dan menghentikannya? Kedua , seberapa pentingkah pembenahan itu? Ketiga , di tataran apa pembenahan sebaiknya dilakukan?
Banyak ”deal” di DPR
Dari dewan perwakilan rakyat , kian luas terkuak wacana banyaknya deal yang berlangsung dengan melibatkan uang. Kegiatan pembahasan RUU lazim diwarnai peran pihak-pihak yang berkepentingan dalam memperjuangkan lolosnya ketentuan tertentu dalam RUU. Begitu pula dalam penentuan alokasi anggaran , dalam perolehan jabatan publik yang strategis , atau bahkan dalam urusan kapitalisasi dan manajemen BUMN. Tidak sedikit yang kemudian berujung menjadi masalah korupsi walau ada pula yang sekadar mendatangkan keruwetan segimana umumnya skandal politik.
Di tingkat tempat , potret serupa ditengarai terutama dalam perekrutan pemimpin daerah. Besarnya tugas uang yang dibutuhkan untuk membiayai proses tersebut , ketika terpilih , lazimnya berujung pada imbalan berupa proteksi konsesi perjuangan (terutama pemanfaatan kekayaan alam) ataupun bermacam-macam pungutan dalam proteksi izin , yang tidak jarang ditimpali dengan praktik suap.
Kondisi sama juga mulai hadir dalam kehidupan birokrasi. Penempatan personel dalam jabatan , atau kesempatan memperoleh jenjang pendidikan akademik ataupun profesi/teknis , di luar faktor-faktor primordialisme , juga mulai melibatkan tugas uang (di samping pelibatan efek politik). Banyak anggapan bahwa semua itu telah melahirkan budaya politik yang koruptif. Uang bagai menjadi penjuru dalam setiap proses politik dan kemudian dalam manajemen pemerintahan.
Meluasnya pemahaman wacana otonomi yang kian berlangsung bagai tanpa pakem—dan mendorong munculnya semacam ego kedaerahan yang sempit—telah mengobarkan goresan yang semestinya tidak perlu dalam kekerabatan sentra dan tempat , ataupun antar-pemerintah daerah. Terjadi semacam tarik-menarik kewenangan perizinan perjuangan , kewenangan penentuan alokasi ruang wilayah , dan kewenangan lain , terutama di bidang pembangunan.
Ujung dari semuanya yakni duduk masalah lingkungan yang rusak , kekayaan hayati yang tergerus , dan kian minimnya saluran rakyat terhadap banyak sumber daya , terutama tanah. Simpul dari semua itu yakni pemanfaatan sumber daya/ kekayaan alam dan , pada dikala yang sama , informasi pembagian pendapatan dalam kerangka perimbangan keuangan antara sentra dan daerah. Tumbuh semacam anggapan politik bahwa semua hanya mungkin diperoleh apabila untuk itu dimiliki political standing dan , untuk itu pula , penggunaan uang untuk meraihnya dianggap justified. Anggapan tadi subur lantaran ditopang oleh iming-iming manisnya otonomi yang dioperasikan bagai ”kedaulatan dalam skala kecil”. Konsepsi otonomi yang kurang pas atau pemahamannya-kah yang salah?
Imbas jelek dari politik uang juga dituding ketika di tengah impian yang tinggi dalam gerak pembangunan , sasaran dan nilai investasi yang sangat dinantikan ternyata tidak terwujud. Banyak yang menyebut buruknya infrastruktur , ketiadaan stabilitas kebijakan dan kepastian aturan , tidak terkendalinya ekses kebijakan di tingkat pemerintah tempat , kebijakan perburuhan yang tidak aman , serta maraknya bermacam-macam praktik pungutan dan suap , baik di kalangan politisi maupun birokrasi , yakni buah dari situasi yang merupakan produk politik uang tersebut.
Namun , selain efek politik uang , permasalahan juga berpangkal dari konsep dan taktik pembangunan itu sendiri. Di samping problem kesenjangan yang juga telah diakui resmi presiden (kemiskinan , pengangguran , kesempatan pendidikan , dan layanan kesehatan) , ekses dalam bentuk apatisme dan ketidakacuhan juga melanda kejiwaan rakyat. Kemerosotan disiplin sosial (fondasi yang sangat penting bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara) juga sangat memerlukan perhatian.
Sikap bergairah dan destruktif sering ditampilkan sebagai ungkapan rasa tidak puas mereka. Kerusakan semakin terasa ketika masyarakat menganggap pelanggaran aturan bukan lagi sesuatu yang tercela; kian menipisnya toleransi , terutama terhadap perbedaan , merebaknya anggapan uang sanggup menuntaskan segala hal , serta perilaku meminta dan menuntut sebagai jalan pintas kian jadi kebiasaan.
Membawa-bawa presiden
Semua citra itu diacu sebagai cermin goyahnya sistem nilai dan merebaknya dekadensi moral di tataran kehidupan masyarakat. Semuanya bukan lagi hipotetis , melainkan memang terjadi dalam kehidupan nyata. Ada yang beropini , mengingat sifatnya yang luas dan merata , dibutuhkan tindakan koreksi yang mendasar dan drastis. Ditambahkan , yang dibutuhkan bukan lagi sekadar kemauan politik , melainkan juga keberanian melaksanakan tindakan politik.
Masalahnya , apabila langkah tersebut menyangkut perubahan , adakah keberanian membangun konsensus politik yang dibutuhkan menggeser prioritas dan alokasi dalam politik anggaran? Bukankah itu domain DPR? Pertanyaan lanjutan: dalam situasi dan sistem politik yang ada sampaumur ini , mungkinkah koreksi itu dilakukan? Bukankah presiden saja nyatanya tidak sanggup (atau tidak berani) melakukannya?
Mengapa presiden dibawa-bawa dalam soal ini? Problem yang terjadi , sekalipun bermula dari tatanan di hulu , sebaran berikut imbasnya sudah merata menghinggapi kondisi , teladan , dan gaya hidup rakyat pada umumnya. Ketika semua duduk masalah dan segala kebutuhan perbaikannya sudah berlangsung dalam tataran negara , tidak keliru kalau balasannya hingga pada satu titik : fungsi dan tanggung jawab kepala negara.
Ketika semua berpangkal dari sistem politik dan jalan keluar juga tidak terlepas dari prosedur politik , masuk akal saja apabila semuanya menoleh kepada posisi kepala negara sebagai ”pengampu” negara. Namun , dalam negara yang committed terhadap prinsip demokrasi , presiden sebagai kepala negara juga harus mengikuti apa pun aturan main dan prosedur politik yang berlaku. Apabila kebuntuan bermula dari tatanan berikut mekanismenya , pembenahannya juga harus ditujukan terhadap tatanan dan prosedur itu.
Kalangan politik , media , akademik , peneliti , dunia perjuangan , ataupun kalangan pegiat (aktivis—bahkan wakil presiden—sependapat bahwa situasi yang morat-marit memang bermula dari sistem dan praktik politik tidak aman pula. Pada balasannya , memang itulah pangkalnya. Oleh lantaran itu , upaya perbaikan juga mustahil dilakukan dan diwujudkan tanpa pembenahan kelembagaan politik tersebut terlebih dahulu , kewenangannya masing-masing , dan tata kekerabatan kerja di antara mereka.
Pembenahan institusi
Dalam konteks permasalahan inilah , pembenahan institusional tadi dipandang perlu dilakukan. Maksud pembenahan institusional yakni pembenahan aspek kelembagaan politik negara , fungsi , kewenangan , dan tata kekerabatan mereka. Kelembagaan politik tersebut , terutama menyangkut badan-badan perwakilan khususnya dewan perwakilan rakyat (termasuk pengaturan fungsi dan kewenangannya) serta sistem kepartaian , pemilihan umum , pemerintahan tempat (termasuk keuangan daerah) , serta tata kekerabatan antarlembaga negara , khususnya dewan perwakilan rakyat dan presiden.
Memangnya ada bantuan faktor presiden dalam keruwetan tersebut? Kendali negara serta arah dan taktik pembangunan terperinci dari presiden. Maraknya kesenjangan dalam kehidupan rakyat yakni buah taktik pembangunan yang gimanapun terperinci bermasalah. Itu sebabnya , dalam seminar nasional di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) , Juli kemudian , direkomendasikan reorientasi pikir dan paradigma gres untuk membangun Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun , di sisi lain , perbaikan dan perubahan arah/strategi ataupun paradigma itu mustahil dilakukan presiden sendiri. Pertama , kuantifikasi taktik dalam program-program tahunan terjabar dalam politik anggaran dan RAPBN yang menjadi domain kewenangan DPR. Bukan soal fungsi budgeter yang harus diubah atau dikurangi , melainkan menggeser titik berat dan prioritas dalam politik anggaran yakni kewenangan DPR.
Kedua , merajalelanya politik uang juga berada di kisaran prosedur kerja tadi. Oleh lantaran itu , pembenahan ulang aturan wacana fungsi dan kewenangan dewan perwakilan rakyat , kepartaian , dan sistem pemilu menempati urutan pertama. Berikutnya , pembenahan ulang aturan pilkada dan pemda.
Mungkinkah hal itu terlaksana? Seminar nasional di Lemhannas justru memberi rekomendasi. Pertama , pembenahan cukup dilakukan di tataran instrumental dan tidak perlu menjamah tataran konstitusi.
Dengan kata lain , pembenahan cukup dilakukan dengan/melalui perubahan UU yang mengatur kelembagaan tadi dan tak perlu dikaitkan dengan segi-segi mendasar melalui amandemen konstitusi. Kedua , dengan memperhatikan dinamika politik , pembenahan dilakukan sehabis 2014. Itu berMakna , disarankan menjadi kegiatan pemerintahan gres hasil Pemilihan Presiden 2014.
Bambang Kesowo Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lembaga Ketahanan Nasional
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pembenahan Institusional"