Jean Couteau
APEC kini dan World Cultural Forum dalam satu setengah bulan nanti. Indonesia dengan gembira menjadi daerah di mana globalisasi didiskusikan , dari sudut ekonomi di dalam hal pertama dan kultural di dalam hal kedua.
Menarik. Memang tak bakal habis-habis dibitrikkan sebagai fenomena: apakah globalisasi merupakan sarana kemakmuran yang bekerjsama atau sebaliknya logika gres dari kapital internasional untuk menggaruk untung tanpa hambatan , melihat betapa murahnya tenaga kerja di emerging economies yang dirangkulnya.
Ya , jangan-jangan exploitation de l’homme par l’homme (eksploitasi dari insan oleh manusia) yang dulu kala kerap disisipkan oleh Soekarno dalam pidatonya kini menjadi syarat mutlak dari kemakmuran. Namun , suka tidak suka , itulah disiratkan para ekonom dikala berbitrik wacana ”bonus demografis” yang konon dinikmati bangsa ini: oleh alasannya yaitu manusianya berlimpah dan bakal tetap berlimpah , katanya , tenaga kerja Indonesia bakal tetap murah. Wah! Ada gula , ada semut!
Di dalam hal ini gulanya yaitu insan kerempeng pinggiran Jakarta , sementara semutnya yaitu para investor bermata hambar dari negara antah-berantah. Teorinya yaitu bahwa penanaman modal menjadikan daya beli dan dinamika ekonomi yang dengan sendirinya bakal meluas ke seluruh sektor ekonomi. Ya , begitulah! Meskipun sakit hati mengakuinya , boleh jadi memang demikian halnya: sebagian besar dari taipan-taipan Indonesia yang petentang-petenteng masa kini yaitu keturunan dari pedagang kelontongan tahun 1970-an yang telah cukup jeli untuk menarik pesan yang tersirat dari kebijakan penanaman modal asing yang diterapkan oleh Orde Baru. Menyusul petualangan lihai mereka , jumlah kaum menengah pun telah membeludak sehingga kini para politikus Indonesia tak merasa perlu lagi terlalu menghiraukan nasib para wong cilik kerempeng yang haus kerja , betapa pun rendah honor bayarannya. Wong cilik itu memang tidak masuk hitungan selain sebagai ”biaya produksi”! Agarlah , asal ”fundamental” baik , kan?
Tak enak
Semua di atas ini boleh jadi tak lezat didengar , tetapi konkret , dan memaksa kita menyidik kembali sejarah: dominasi ”struktural” dari Amerika atas Indonesia semenjak awal rezim Orde Baru telah ”dibayar” dengan peningkatan kemakmuran! Untuk menggunakan bahasa Orde Lama , Nekolim telah menang!! Menyaksikan ini dari dalam makamnya , Soekarno sang idealis pasti dibentuk gelisah , di Blitar sana!!! Adapun Soeharto , jangan-jangan beliau sebaliknya tertawa , hal yang tak biasa beliau lakukan. Apalagi resep-resep Nekolim dan kapitalisme liberal ini telah diikuti di seluruh dunia , hingga ke tanah China nun di sana. Namun , siapa tahu? Mao Tze Tung pun tidak lagi ”mesem” mukanya di dalam makam agungnya alasannya yaitu pada kesudahannya sanggup berbangga menjadi China!
Ya , kapitalisme telah menang. Ia kini telah merasuki semua wilayah dunia , menyusupi semua bidang kehidupan ekonomi dan sosial , memilih ”nilai” semua prestasi—saya tahu sendiri sebagai penulis. Tak perlu disesalkan , tetapi tak perlu pula dielukan. Ia yaitu keniscayaan. RWirid atau Bacaan dari mereka yang kalah dan gagal—Marx dan Trotsky—telah menjadi kenyataan: kapitalisme betul-betul bersifat global.
Namun , kita jangan lupa bahwa , kolam Janus , kapitalisme senantiasa bermuka dua. Bila ia menghasilkan kekayaan dan memicu kreativitas , ia juga menjadikan kemiskinan dan meMenghapuskan kreativitas yang ada. Misalnya , merasa sulit mencari untung di suatu negara alasannya yaitu honor dianggap tinggi dan pajak terlalu berat , ia sanggup seketika berpindah pijakan. Kaum buruh negara industri kini mencicipi sinismenya , yang banyak menganggur alasannya yaitu kerjanya telah didelokalisasi entah ke Shanghai atau Chittagong. Jangan-jangan mereka dan kaum tersisih lainnya bereaksi dengan melambaikan bendera apa pun , asal mengerikan.
Dampaknya di dalam hal budaya tak kurang merisaukan. Memang kapitalisme memicu pengetahuan dan , lebih-lebih , sanggup menghasilkan insan ”universal” —contohnya , maaf! orang-orang menyerupai saya yang , lahir di ujung bumi satunya , sanggup dengan enteng—dasar bule!—berani ngomongkan situasi budaya di negeri kisah sepuluh ribu kilometer jauhnya dari tanah leluhurnya. Namun—habis guyon—bak silinder , kapitalisme memang meratakan semua , mereduksi semua pada kode-kode ekonomi dan kultural yang dipegangnya. Lihatlah: kini , mitos-mitos abnormal dari pulau-pulau negeri kisah Nusantara terancam punah tak berbekas hanya alasannya yaitu dianggap tak fungsional dan bersifat budaya lisan.
Jadi , tak perlu orang Indonesia berbangga menampung APEC dan WCF. Cukuplah mereka memanfaatkannya dengan waspada.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jangan Terjebak Cita-Cita Global"