Ferdy Hasiman
Setelah pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 perihal Pemerintahan Daerah yang diamendemen oleh UU No 32/2004 , otoritas pemberi konsesi pertambangan beralih ke pemerintah daerah: gubernur , bupati , atau wali kota. Lisensi yang diberikan UU menjadi (mesin) ATM untuk menarik banyak uang dari investor.
Pemda tak peduli apakah santunan izin konsesi menabrak aturan aturan yang berlaku atau tidak. Asal saja ada potensi tambang , emas , nikel , batubara , dan mangan di bawah perut bumi , semuanya digadaikan kepada korporasi tambang. Pemberian izin tiap tahun pun meningkat tajam. Sampai 2012 , izin perjuangan pertambangan (IUP) mencapai 10.235. Dari jumlah itu , hanya 4.151 IUP dinyatakan bersih. Adapun 6.084 IUP dinyatakan ilegal.
Kekuasaan an sich tidak baik dan tidak buruk. Persoalannya , gimana kekuasaan itu dipakai , sangat bergantung pada integritas sang penguasa. Jika integritas penguasa runtuh , kebijakan publik untuk kepentingannya. Begitulah pemda pada zaman otonomi kawasan ini menggunakan kekuasaan.
Mental borjuis
Merajanya korporasi lokal membuat pemda lebih menempatkan diri sebagai sa- habat investor daripada penyelenggara negara. Transaksi , mulai dari perizinan sampai pengapalan materi tambang , dipermudah.
Ketika ada warga setempat yang menuntut kedaulatan atas tanah , abdnegara militer dan kepolisian mengokang senjata mengamankan aset investor tambang dengan dalih pertambangan sanggup meningkatkan penerimaan kawasan , investasi , dan lapangan kerja.
Tak ada gejala rakyat sejahtera dari tambang. Pembangunan di kawasan masih bergantung kepada pusat , sementara lapangan kerja menyempit. Aparatur pemda kolam borjuasi. Rumah dan kendaraan beroda empat mereka mewah-mewah. Mental borjuasi mengakibatkan pemda sesuka hati menjual tanah rakyat kepada investor.
Pemda tak peduli lagi dengan masa depan pertambangan dan kedaulatan ekonomi. Yang mereka pikirkan gimana duduk elok di singgasana kekuasaan dengan menjual kekayaan rakyat.
Padahal , otonomi kawasan digagas untuk menegasi konsep pembangunan asimetris pada masa Orde Baru ketika pusat memilih isi perut daerah. Dengan otonomi kawasan , pemda diberi ruang untuk kreatif dan inovatif mendesain referensi pembangunan berbasis kearifan lokal. Harapannya , lapangan kerja tersedia dan eksodus warga desa ke kota minimal. Dengan menggerakkan ekonomi lokal , lulusan sarjana tidak berebutan jadi pegawai negeri sipil yang menguras belanja negara. Dengan begitu , porsi belanja modal ibarat infrastruktur publik—transportasi , kemudahan kesehatan dan pendidikan—meningkat.
Otonomi kawasan kini hampir tumbang. Investasi berskala raksasa , ibarat pertambangan , malah mengincar daerah. Grup-grup besar di sektor pertambangan yang pada zaman Orde Baru menerima karpet merah dari penguasa kini melaksanakan deal gelap dengan pemda.
Di Morowali , Sulawesi Tengah , ratusan hektar luas konsesi tambang nikel yang diberikan pemda dikuasai pengusaha kakap: Artha Graha , Billy Resources , Salim Group , dan Harita Group (Clear & Clean , Morowali , 2013). Di Ketapang , Kalimantan Barat , Harita Group dan puluhan anak usahanya menguasai 223.480 hektar konsesi tambang bauksit untuk diekspor ke China. Ekspansi korporasi abnormal pun tak terkontrol. Di Konawe (Sulawesi Tenggara) dan Morowali , anak perjuangan raksasa Trans National Corporation , Rio Tinto Plc , PT Sulawesi Cahaya Mineral , mengontrol 132.200 hektar lahan konsesi nikel (Rio Tinto , 2012). Di NTT , dari 22 perusahaan abnormal masuk NTT dengan total investasi Rp 82 miliar , 99 persen korporasi tambang. Belum terhitung korporasi lokal (BKPM-NTT , 2011).
Penetrasi korporasi lokal-global mengakibatkan desentralisasi korupsi. Pada masa Orde Baru , korupsi di sektor pertambangan menyemut di pusat. Setelah pemberlakuan otonomi kawasan , korupsi berpindah ke lokal. Pada awal 2013 , Bupati (nonaktif) Kolaka Buhari Matta dipenjara sebab terlibat dalam penjualan bijih nikel berkalori rendah yang merugikan negara Rp 24 miliar. Ia diduga menjual 220.000 bijih nikel porsi pemerintah kabupaten kepada PT Kolaka Mining Internasional.
LSM lokal di Ketapang juga mendesak KPK melaksanakan pemeriksaan terhadap Bupati Ketapang yang serampangan mengeluarkan izin konsesi kepada Harita Group. Terlepasnya bangsa ini dari jeratan sentralistik Orde Baru rupanya tak mengubah banyak wajah republik ini. Reformasi tidak membawa kita kepada penghayatan kebajikan demokrasi: patriotisme dan cinta bakal keberlangsungan republik. Para elite kekuasaan suka mereduksi kepentingan rakyat. Demokrasi tak lebih dari kisah sebab setrik faktual pelaku kekuasaan lokal merupakan pilihan kelas elite. Tengoklah pemilihan gubernur , bupati/wali kota yang menyelundupkan kepentingan tersembunyi: menerima konsesi pertambangan.
Maka , oligarki , korporatokrasi , kongkalikong , dan korupsi bukan hal gres di republik ini. Otonomi kawasan hanya instrumen merekayasa pengalokasian sumber alam di daerah. Padahal , rakyat berharap , dengan otonomi kawasan , kekuasaan itu lebih akrab dengan rakyat segimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 perihal kiprah negara memaslahatkan rakyat.
Amanat konstitusi dibuang ke tong sampah. Urusan kesejahteraan rakyat tetap pada pelaku-pelaku pasar , sementara pasar tak sanggup menjamin keadilan sosial , membangun infrastruktur , membangun komunitas sosial , mengatasi problem kemiskinan. Pasar hanya mengenal ”logika” kepentingan diri. Hasrat akumulasi mengakibatkan administrasi pertambangan kian amburadul. Uang telah melicinkan perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung dan menabrak tata ruang wilayah.
Kehadiran korporasi terus menyulut konflik agraria dan konflik sosial dengan warga sebab lingkungan hidup yang tak terurus dan melebarnya kesenjangan sosial. Tambang kolam imperialisme gres yang memperbudak. Rakyat kawasan yang tak terdidik terisap jadi buruh tambang.
Presiden melampaui prosedur
Selain melanggar tata ruang , pemda tak transparan dalam lelang dan pembagian royalti ketika memberi konsesi. Karena itu , prosedur-prosedur ini perlu diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika ada kejanggalan , BPK harus meneruskannya ke KPK untuk ditertibkan sekaligus meredam perampasan kekayaan alam.
Korupsi oleh perusahaan tambang bakal membunuh demokrasi kita. Penanganannya tak sanggup biasa. Presiden harus melampaui mekanisme dan konstitusi yang berlaku. Misalnya , bersama dewan perwakilan rakyat , presiden mengeluarkan aturan aturan ketat semoga memublikasikan semua cek atau dana yang dikirim ke tingkat lokal (tidak hanya diketahui PPATK). Pemerintah Daerah harus memublikasikan jumlah hasil penjualan konsesi pertambangan dan jumlah bagi hasil untuk pusat-daerah kepada rakyat daerah.
Demokrasi harus dikembalikan kepada substansinya , patriotisme. Jangan kita jatuh kepada borjuasi yang gemar mengempaskan kepentingan rakyat.
Ferdy Hasiman Peneliti Indonesia Today
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Demokrasi Atau Borjuasi?"