Soekam Parwadi
Kebiasaan menanam kedelai bahu-membahu menguntungkan alasannya air irigasi ketika kemarau tidak cukup untuk bertanam padi , sekaligus menyuburkan tanah.
Namun , animo kemudian , dari setengah hektar pertanaman kedelai hanya diperoleh tak lebih dari 6 kuintal wose kering. Dengan harga Rp 4.000/kg , pemasukan kotor hanya Rp 2 ,4 juta. Kalah jauh jikalau dibandingkan dengan jagung , melon , atau semangka yang mulai mereka tanam.
Keputusan petani Grobogan juga terjadi di daerah Demak , Pati , Kebumen , Brebes , Tegal sampai Bali. Alasannya hampir sama , produktivitas rendah dan harganya murah. Mereka tak sanggup bersaing dengan kedelai impor yang dianak-emaskan pemerintah.
Inilah penyebab utama rendahnya produksi nasional ketika ini yang hanya sekitar 800.000 ton/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai produsen tempe-tahu sebesar 2 ,5 juta ton lebih , pemerintah mengimpor kedelai.
Tidak ada perubahan
Ketika tahun kemudian Amerika Serikat sebagai negara eksportir utama kedelai mengalami kekeringan sehingga produksi turun dan ekspor ke Indonesia berkurang , harga kedelai di pasar Indonesia melonjak. Pemerintah membuka keran impor , mempermudah izin , dan mempermurah biaya impor. Tahun ini , ketika harga kedelai melonjak lagi alasannya nilai rupiah turun , solusi pemerintah masih juga impor.
Padahal , ketika inilah momentum untuk mengubah perilaku terhadap produksi dan konsumsi kedelai. Sesuai dengan UU No 41/Tahun 2009 yang di dalamnya mengatur kedaulatan pangan , pemerintah harus membuat desain gres perkedelaian.
Pertama , setrik agronomi , jutaan hektar lahan sawah Indonesia sangat cocok ditanami kedelai. Dengan demikian , tak sulit membuatkan intensifikasi dan ekstensifikasi kedelai di sawah Indonesia. Perbaikan lahan sawah dengan sumbangan pupuk organik sulit alasannya pupuknya langka untuk skala besar dan butuh tenaga banyak. Maka yang paling baik yaitu penyuburan alami dengan menanam Leguminoseae , termasuk kedelai.
Kedua , kedelai yaitu kebutuhan pangan pokok ”kedua” sehabis beras alasannya masyarakat suka mengonsumsi tempe-tahu. Jika harus terus menerus impor , itu pemborosan devisa.
Ketiga , produktivitas kedelai kita rata-rata hanya sekitar 1 ,4 ton/ha dan harga kedelai di tingkat petani ketika ini murah sehingga petani tidak mau lagi menanam kedelai.
Maka jikalau pemerintah mengharapkan petani menanam kedelai lagi , harus ada perubahan fundamental Agar petani tertarik menanam kedelai. Untuk itu , perlu ditemukan varietas kedelai gres atau metode budidaya gres yang bisa meningkatkan produktivitas menjadi lebih dari 3 ,5 ton/ha dan berbiji besar. Inilah pekerjaan rumah bagi para peneliti kedelai.
Di Jember kabarnya sedang diuji coba jenis kedelai gres yang produktivitasnya 4 ton/ha. Hal ini tentu menggembirakan alasannya sanggup menggiatkan petani lagi untuk menanam kedelai.
Dulu , tahun 1976/1977 , ketika ditemukan kedelai varietas Orba , presiden eksklusif mengalokasikan dana Rp100 juta untuk pengadaan benih Orba dan dibagikan setrik gratis kepada petani disentra-sentra kedelai di seluruh Indonesia. Dalam waktu singkat kedelai Orba menyebar di mana-mana dan berhasil menarik perhatian petani alasannya bisa menaikkan produksi.
Mungkin contoh yang baik itu bisa dilakukan kini terhadap varietas kedelai-kedelai yang menjanjikan. Kalau membuat varietas kedelai gres masih susah , mulai tahun depan pemerintah bisa mengimpor benih kedelai biji besar. Bukan mengimpor kedelai konsumsi.
Jaminan harga
Pemerintah juga harus menjamin harga kedelai minimal Rp 6.000/kg kepada petani produsen kedelai. Desain harga kedelai minimal Rp 6.000/kg ini bakal berdampak banyak: menarik minat petani menanam kedelai , menyuburkan tanah , dan menyejahterakan petani. Tanah sawah yang kembali subur sanggup diwariskan kepada anak cucu. Kalau harga tempe-tahu harus naik , itulah konsekuensi mewujudkan kedaulatan pangan yang memang harus kita pikul bersama.
Harga eceran kedelai kini (sehingga sebagian perajin tempe-tahu mogok tidak berproduksi) sekitar Rp 8.000/kg. Biasanya , kalau impor lancar , harga kedelai di eceran sekitar Rp 5.000/kg. BerMakna harga kedelai lokal dari petani hanya Rp 4.000/kg.
Dengan harga Rp 4.000/kg , sementara produksi hanya 1 ,4 ton/ha , output hanya Rp 5 ,6 juta/ha. Padahal biaya produksi (input) Rp 4 ,5 juta. Ini pun hitungan efisien alasannya menerapkan teknologi minimum tillage tanpa olah tanah. Keuntungan Rp 1 ,1 juta/ha/100 hari tentu saja tidak rasional.
Kalau ada varietas atau teknologi gres dengan produktivitas 3 ,5 ton/ha , kemudian harga minimal Rp 6.000/kg saja di petani , output menjadi Rp 21 juta/ha. Kalaupun input bertambah menjadi Rp 6 ,5 juta , masih ada laba Rp 14 ,5 juta/ha.
Selanjutnya Agar petani menikmati harga kedelai yang ”sebenarnya” , sebaiknya petani sanggup menjual kedelai melalui pasar komoditas nasional di sejumlah kota. Petani difasilitasi dan dijamin memperoleh harga terbaik. Sebaliknya , Agar bisa menggalang kekuatan , petani juga perlu aktif bergabung di organisasi petani , baik Gapoktan maupun koperasi pertanian.
Melihat pentingnya tugas kedelai dalam membangun kedaulatan pangan kita , sebaiknya juga ada semacam rencana induk kedelai yang disusun bersama para pemangku kepetingan: produsen (petani , penangkar benih) , konsumen (perajin tempe-tahu , industri) , dan pemerintah (peneliti , teknisi , pengambil kebijakan).
Kalau situasi diagarkan , bahkan harga kedelai selalu ditekan Agar tidak naik , petani ”diam-diam” bakal meninggalkan kedelai. Ketika pengusaha tempe-tahu ribut-ribut demo , petani hanya diam. Diam merenungi nasibnya dan membisu tak tertarik menanam kedelai.
Soekam Parwadi Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menghargai Petani Kedelai"