Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Eksistensi Masyarakat Aturan Adat

Transtoto Handadhari 


PUTUSAN Mahkamah Konstitusi RI Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang mengabulkan somasi atas beberapa pasal dalam UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 melegakan pemohon. Akan tetapi , hal itu berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerusuhan sosial apabila ada politisasi yang memainkan potensi masyarakat aturan adat.

Hilangnya kata ”negara” pada Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan No 41/1999 , sebagai keberhasilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) , Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kuntu , dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu , menjadi faktor penting yang melepaskan hutan susila dari hutan negara. Dengan demikian , hutan susila tidak lagi berada dalam penguasaan legal UU Kehutanan , tetapi beralih di bawah kepengurusan UU Agraria. Hutan susila pun dimaknai sebagai hutan hak (Dirjen Planologi Kehutanan , 2013).

Konsekuensi

Sebagai tindak lanjut atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 ihwal Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA , ketika ini telah diajukan RUU ihwal Pertanahan oleh Komisi II DPR. Pada ketika yang sama , muncul RUU ihwal Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) yang diajukan AMAN dan telah masuk ke Badan Legislatif DPR. RUU Pertanahan ialah turunan UUP Agraria No 5/1960 , sedangkan RUU PPHMHA murni merupakan inisiatif segolongan masyarakat. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/12 terperinci bakal sangat memengaruhi bunyi pasal-pasal pada kedua RUU tersebut.
Kedua RUU bekerjsama layak didukung. Namun , duduk kasus timbul ketika banyak peluang penyalahgunaan serta munculnya kelompok ”penumpang gelap” yang sanggup mengacaukan tujuan mulia proteksi eksistensi MHA.

RUU Pertanahan yang merupakan derivat UUPA No 5/1960 harus dikaji apakah draf ketentuan RUU Pertanahan ada yang tidak sinkron dengan UUPA No 5/1960.

Dalam melihat RUU Pertanahan ini harus diperhatikan pula UU Sektoral yang berkaitan dengan tanah , menyerupai UU Migas , UU Minerba , UU Panas Bumi , UU Kehutanan , UU Lingkungan Hidup , dan peraturan perundang-undangan terkait perkebunan. Tujuannya semoga ada sinkronisasi antara UU Pertanahan dan UU Sektoral terkait (Hikmahanto , 2013).

RUU Pertanahan memperkenalkan entitas aturan (legal entity) gres yang sanggup menguasai tanah , yakni MHA , selain orang perorangan dan tubuh aturan yang sudah dikenal sanggup memiliki/menguasai tanah. Sesuatu yang tidak diatur sebelumnya dalam kepemilikan tanah di republik ini.

Terkait RUU PPHMHA , kajian aturan mengatakan RUU itu mengandung banyak pertanyaan , termasuk ihwal kepentingan yang mendesak atas adanya UU terkait MHA (Ramlan , 2013).

Potensi persoalan

MHA didefinisikan sebagai sekelompok orang yang setrik bebuyutan bermukim di wilayah geografis tertentu di negara Indonesia alasannya ialah adanya ikatan asal usul leluhur , korelasi yang berpengaruh dengan tanah , wilayah , sumber daya alam , memiliki pranata pemerintahan susila , dan tatanan aturan susila di wilayahnya.
Definisi ini mengundang interpretasi multitafsir dan sanggup disalahgunakan. Misalnya , setrik bahasa ”lebih dari dua orang” sudah sanggup disebut sekelompok orang.

Kalimat ”turun-temurun bermukim... dan seterusnya” memerlukan jawaban ihwal semenjak kapan , hingga kapan , dan gimana bila ada proses asimilasi masyarakat aturan susila dengan pihak luar suku; dampaknya pada luasan daerah hutan susila dan ekspansi lahan susila untuk keturunannya. Padahal , pranata pemerintahan susila yang murni sekarang semakin langka , umumnya sudah terkait struktur pemerintahan yang diatur UU Pemerintahan Desa.

Kajian lain ialah pada pasal-pasal ”Perlindungan hak MHA ialah suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh negara”; ”MHA berhak untuk memilih dan menyebarkan prioritas , serta seni administrasi untuk pengembangan atau penggunaan tanah ulayat , perairan , wilayah dan sumber daya alam dengan trik yang sesuai dengan kearifan lokal serta penemuan yang berkembang dalam masyarakat aturan adat”; dan ”MHA berhak untuk menjalankan aturan dan peradilan susila dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak susila dan pelanggaran atas aturan adat”. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Yang lain lagi , ”MHA berhak memilih dan menyebarkan bentuk pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan mereka” , dan ”Masyarakat aturan susila berhak menolak pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan” , Pasal 17 Ayat (3).

Ajang politisasi

Tak sanggup dihindari , kasus penetapan dan aplikasi MHA berada di ranah politik. Pemilu 2014 ataupun pilkada yang terus berulang membutuhkan bunyi rakyat. Sangat logis , hak dan kanal MHA terhadap sumber daya alam , khususnya tanah , air , dan hasil tumbuhan bakal dimainkan para politikus untuk memperoleh santunan mereka , tanpa peduli balasannya terhadap kelestarian sumber daya alam lingkungan.

Meskipun putusan MK harus dipahami sebagai proteksi negara terhadap hak masyarakat/rakyatnya , terbitnya putusan MK berpotensi disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk tujuan-tujuan yang berdampak pada kerusakan sumber daya alam dan mengganggu kemantapan usaha yang berizin resmi di situ. Maka , selaras dengan usaha ratifikasi hak dan upaya peningkatan kesejahteraan MHA , pelestarian lingkungan harus menjadi pertimbangan utama.

Transtoto Handadhari Ketua Umum Yayasan Green Network Indonesia; Rimbawan Senior UGM Yogyakarta

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Eksistensi Masyarakat Aturan Adat"

Total Pageviews