Lambang Trijono
Permasalahan ini mencuat ke permukaan , akhir-akhir ini , dalam kontrkelewat / oversi seputar pengangkatan hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi yang gres oleh Presiden , yang digugat Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK alasannya dinilai tak transparan dan demokratis , segimana diatur dalam Undang-Undang MK.
Paradoks politik aturan ini menambah deret ketegangan hubungan antarlembaga tinggi negara. Bukan hanya antara forum yudikatif dan administrator , melainkan juga antara forum yudikatif dan kekuatan-kekuatan politik di forum legislatif , ibarat terjadi dalam kasus sengketa pilkada. Sejumlah paradoks itu menjadikan komplikasi tersendiri pada praktik demokrasi , terutama terkait independensi MK , independensi forum pemilu , proses legislasi di DPR , dan penentuan pejabat publik di forum pemerintahan.
Gugatan koalisi masyarakat sipil itu menawarkan Makna kasatmata bagi demokratisasi penggunaan kekuasaan dan praktik aturan di Indonesia. Gugatan itu sanggup dimaknai bukan hanya sebagai somasi aturan semata , melainkan juga kontrol masyarakat sipil terhadap kecenderungan penggunaan kekuasaan berlebih—dalam hal ini otoritas Presiden—Agar tidak terlalu masuk ke ranah yudikatif atau memengaruhi produk yurisprudensi.
Semakin heterogen
Semakin heterogen
Sejak demokratisasi berlangsung , Indonesia menghadapi permasalahan gres gimana menjalankan praktik negara aturan setrik demokratis. Demokratisasi telah memecah konsentrasi kekuasaan. Jika dulu , pada masa Orde Baru , forum eksekutif/presiden sepenuhnya mengendalikan pengambilan keputusan di DPR/MPR dan memengaruhi produk aturan dan proses peradilan , sekarang jadi tersebar ke sejumlah forum tinggi , terutama legislatif , searah dengan kedaulatan rakyat yang kian menguat semenjak demokratisasi.
Konsekuensinya , semenjak itu produk aturan jadi makin heterogen. Selain setrik signifikan ditandai dengan penguatan forum legislatif memproduksi aturan legislasi , sampai hampir mendekati abjad , di sisi lain juga memperkuat forum administrator , sebagai konsekuensi pemilihan pribadi presiden dengan segala otoritas yang dimilikinya.
Pergeseran kekuasaan ini mengakibatkan praktik negara aturan di Indonesia mengalami guncangan , belum menemukan titik keseimbangan hubungan kekuasaan yang baru. Prinsip negara aturan , bahwa negara didasarkan pada aturan dan bukan pada kekuasaan semata , tidak sanggup dijalankan setrik sederhana alasannya menerima saingan heterogenitas norma hukum.
Di tengah heterogenitas norma aturan , makna negara aturan itu sendiri tidak lagi tunggal. Ia mengalami pergeseran. Dari kacamata aturan legislasi , negara aturan berMakna aturan yang memerintah , bukan person , otoritas , atau kepala negara. Dari sudut aturan birokrasi pemerintahan , ibarat dikatakan Max Weber , negara aturan berMakna otoritas rasional atau fakta empiris manajemen yang memerintah.
Perubahan konsentrasi kekuasaan itu tak jarang menjadikan ketegangan hubungan antara forum legislatif dan presiden. Oleh alasannya itu , dibutuhkan penguatan forum yudikatif melalui pembentukan MK dengan kekuasaan yurisprudensi khusus , mewakili negara yurisdiksi , berperan mengatasi konflik kedua forum tinggi negara.
Pergeseran kekuasaan itu bahwasanya menawarkan sinyal positif. Hanya , masalahnya , terletak pada gimana mencapai titik keseimbangan gres dalam hubungan kekuasaan di tengah silang efek kekuatan politik dan benturan kekuasaan antarlembaga tinggi yang semakin mengemuka semenjak demokratisasi.
Intervensi etik
Praktik aturan di negara demokratis menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan antara legislatif , administrator , dan yudikatif. Ini Agar penggunaan kekuasaan tidak berlebih atau bertubrukan , dan produktif menghasilkan keputusan demi kemaslahatan bangsa. Di balik itu , penggunaan kekuasaan harus berpijak pada norma aturan valid disepakati bersama dan jadi acuan dalam kehidupan berbangsa.
Masalahnya , tak gampang membentuk norma aturan valid disepakati bersama , atau aturan konstitusi publik , di tengah realitas norma aturan semakin heterogen itu. Untuk itu , intervensi budbahasa politik penuh tanggung jawab setrik terus-menerus perlu dilakukan. Nilai-nilai etis demokrasi , ibarat kedaulatan di tangan rakyat , kebebasan , keadilan , dan kesejahteraan seluruh warga perlu terus-menerus dihidupkan dan diinvestasikan dalam setiap momen dan langkah pengambilan kebijakan.
Lambang Trijono Dosen Fisipol UGM
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Demokratisasi Negara Hukum"