Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Menjadi Tuan Di Negeri Sendiri

Sri-Edi Swasono 
 
Saya merasa beruntung sanggup hadir di Pyongyang menyaksikan Peringatan 60 Tahun Kemenangan Perang Korea oleh Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Korea yang megah dan besar-besaran. Siapa pun yang hadir dan apa pun ismenya bakal terinspirasi mencicipi getaran nasionalisme dan keberdaulatan. Dengan semangat dan disiplin baja , mereka menegaskan bahwa nasionalisme tidak pernah usang.

Kita bisa bersetuju atau berbeda pendapat mengenai Korea Utara ini. Memang nalar bisa berbeda. Ada nalar Korea Utara berdasar komunisme , ada nalar Korea Selatan yang menolak komunisme. Ada nalar Barat yang individualistik dan kapitalistik , ada nalar Timur yang mutualistik. Ada pula paradigma Indonesia yang menurut Pancasila. Mengenai ini sila baca goresan pena aku di Kompas edisi 2 Mei 2013.

Pernyataan budaya

Pernyataan Kemerdekaan Indonesia ialah pernyataan kedaulatan , pernyataan kemandirian , menolak ketergantungan: suatu pernyataan budaya yang menegaskan destiny untuk mendesain masa depan kita sendiri.

Pernyataan kemerdekaan berMakna pula pernyataan untuk menjadi tuan di negeri sendiri. Kita harus menjadi tuan , to be the master , tidak sekadar menjadi tuan rumah , to be the host , yang bisa-bisa mengemban kehambaan atau servilitas.

Pernyataan kemerdekaan ialah pernyataan politis-ideologis sekaligus pernyataan sosial-kultural untuk menolak menjadi kuli di negeri sendiri. Kaum kolonialis Belanda menyatakan kita sekadar het zachste volk ter aarde , een koelie onder de volkeren , ’bangsa yang terlemah di bumi sebagai kulinya bangsa-bangsa lain’.

Ada catatan pinggir sebagai berikut: di zaman kolonial kita mendapatkan nalar ke-pangrèh-an sebagai akhlakambtenaar , pegawai negeri , Hindia-Belanda. Setelah kita merdeka , nalar kepangrèhan sang ambtenaar ini kita tolak , kita angkat paradigma gres bagi pegawai negeri sebagai pamong , bukan lagi sebagai pangrèh. Pangrèh ialah nge-recht , memamerkan superioritas penghukum. Sebaliknya pamong bertugas ngemong sebagai abdi masyarakat. Namun , berkat kebebalan atau kelengahan budaya , kepangrehan tetap berjalan , pegawai negeri makin jauh dari identitas kepamongan.

Pembukaan Undang-Undang Dasar mencantumkan kiprah pamong , ”...melindungi segenap bangsa Indonesia... dan seterusnya” , terabaikan. BerMakna kita gagal mengubah pola-pikir dan teladan bertindak , gagal to unlearn , gagal berbudaya kemerdekaan. Cita-cita mewujudkan ”Negara Pengurus” pun yang dilontarkan dalam Sidang BPUPKI 15 Juli 1945 , segimana dikatakan Bintoro Tjokroamidjojo sebagai ide awal dari konsepsi good gkelewat / overnance , tidak kunjung terwujud. Para ambtenaar gres Republik Indonesia dikala ini tetap menjadi pangrèh , bahkan menjadi monster korup , memeras rakyat , merampok negara.

Presiden dan Camdessus

Teman-teman mulai banyak berbisik , menanyakan apakah dikala ini merupakan awal dari krismon baru. Mereka teringat pada pedihnya krisis moneter 1998. Saya pun merinding. Di situlah insiden tragis berawal. Setiap kali aku membuka Google dan mengisi searching box perkataan ”Camdessus” , yang bakal muncul ialah foto sombong Mr Camdessus , sedhakep bersilang tangan mengawasi Presiden Soeharto menandatangani letter of intent (LOI) pada 15 Januari 1998 yang dibikin (baca: yang didiktekan IMF) sendiri.

Saya merinding alasannya ialah setiap kali ingat ”tidak ada KMB ke-2 mengapa terjadi ’penyerahan kedaulatan nasional’ balik , tidak kepada kolonialis Belanda , tetapi kepada the global financial tycoons atau taoké-taoké finansial global , yang bernaung di IMF”. Menteri Keuangan dan gubernur Bank Indonesia terpukau pula pada petunjuk menjerumuskan IMF.

Sekitar seminggu sebelum 15 Januari 1998 , aku dipanggil Presiden Soeharto. Dia berbitrik mengenai ekonomi , aku mencatat di hati pertanyaan Presiden Soeharto: ”Mengapa utang luar negeri kita begini besar?” Saya menjawab: ”Bapak praktis percaya pada teknokrat. Masalah berat ini kita hadapi saja , Pak!”

Namun , mengejutkan , Presiden Soeharto seminggu kemudian menandatangani LOI. Pastilah presiden telah terteror oleh hitungan-hitungan teknokratis- ekonomis. Dari balik layar televisi aku berharap , suatu wishful thinking tentu saja , bahwa tokoh teknokrat yang berada di situ mencabut pulpen Presiden Soeharto semoga penandatanganan LoI batal terjadi.

Presiden Soeharto off-guarded. Kemampuan teknokrasi yang ada cupet , gagal menyelamatkan Presiden Soeharto , kurang kebijaksanaan menyelamatkan ekonomi republik ini dari perangkap LOI. Steve Hanke benar , jatuhnya Presiden Soeharto ialah oleh (skenario) IMF ini. Kedaulatan negara dikorbankan sebagai barang murah.

Apa pun , Presiden Soeharto ialah ”orang besar , seorang Jenderal Besar TNI” , mirip Julius Caesar , Sang Kaisar Agung Romawi , yang jatuh oleh ketaksetiaan Brutus , kemudian lengser keprabon dengan mulia.
Sejak itu makin kukuh kuku kaum kapitalis global mencengkeram Indonesia. Selanjutnya kita bukan lagi tuan di negeri sendiri. Kita menjadi jongos globalisasi , penuh ketergantungan pada mancanegara , lengkap di mulai dari pangan , obat hingga mesiu.

”Indonesia’s skelewat / overeignty”

Barangkali orang-orang Korea Utara , termasuk orang-orang kendel , pemberani. Mereka berani menghadapi musuh-musuh besar dari banyak sekali justifikasi politik-ideologis , bukan sekadar bonèk. Ketika Amerika Serikat tidak bisa mengalahkan Korea Utara , orang-orang Korea Utara menyatakan merekalah yang menang perang.

Presiden SBY harus berhati-hati , banyak menterinya yang neolib yang tidak sadar bahwa negara ini didirikan dengan keyakinan kebangsaan dan keyakinan kerakyatan bahwa nasionalisme atau kebangsaan ialah semangat keberdaulatan untuk mempertegas makna Proklamasi Kemerdekaan.

Nasionalisme harus mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global. Wujud kerakyatan ialah terselenggaranya pemerintahan negara berdasar nalar demokrasi kerakyatan , bahwa takhta ialah untuk rakyat semata. Kita harus berani berdikari , bertekad berdikari , rawé-rawé rantas malang-malang putung. Apakah dalam reformasi deformatif ini kekayaan batin semacam ini dimiliki calon-calon presiden dan calon-calon teknokrat ambtenaar yang ada dikala ini? Apakah calon- calon itu bisa mentransformasi paham kebangsaan dan paham kerakyatan dalam globalisasi ganas ini?


Awas krismon kedua , Indonesia’s skelewat / overeignty is not for sale! Nasionalisme tidak bakal pernah lama , di mana saja! Kita harus menjadi bangsa pemberani , digdaya mandraguna. 

Sri-Edi Swasono  Guru Besar UI , Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menjadi Tuan Di Negeri Sendiri"

Total Pageviews