Acep Iwan Saidi
Tabrakan final hidup mengentak kita lagi. Selain berbelasungkawa kepada para korban , marilah kita melihatnya dari perspektif lain. Selama ini para ”pelaku kecelakaan” berasal dari papan atas dan korbannya rakyat biasa.
Apa yang terjadi kalau posisinya terbalik? Bagaimana balasannya kalau si ”biasa” menubruk si ”istimewa”? Mungkin alur narasi berbeda: mustahil si biasa membiayai hidup keluarga si istimewa.
Peristiwa berulang itu seolah mengirim pesan ”Marxian” bahwa kontradiksi kelas masyarakat sedang terjadi di atas jalan raya , meski obsesi Karl Marx gagal dalam masalah ini: bukan kelas tuan yang kalah , justru kelas hamba yang lumat.
Tubuh yang ditundukkan
Di negeri ini , khususnya Jawa , sejarah jalan raya gres mulai kurun ke-19 (Denys Lombard , 2005). Makara , dibangunnya jalan raya menjadi titik balik peradaban yang amat penting.
Jalan raya ialah salah satu awal modernisasi. Kehadiran sepeda motor dan kendaraan roda empat tidak hanya menggantikan kuda , tetapi juga memunculkan gaya hidup baru.
Gaya hidup menunggang ”kuda besi” di jalan telah mengikis fungsi dan tugas manusia. Benar bahwa kendaraan digerakkan insan , tetapi insan tidak berdaya kalau tidak mengikuti sistem mesin.
Mengendaraiwagon berMakna memegang setir , menginjak pedal gas , menarik kopling , dan seterusnya (Piliang , 2007). Manusia harus patuh pada mesin (sistem). Subyek insan lesap.
Eksistensi subyek berada dalam bayang-bayang sistem. Seorang sopir eksis sebagai sopir ketika memfungsikan diri sebagai obyek sistem persetiran.
Ketika fungsi insan kikis sedemikian , nilai kemanusiaan pun larut. Nyaris tidak ada korelasi kemanusiaan dalam kemudian lintas jalan raya. Tidak mungkin seseorang berteriak minta izin mau menyalip kendaraan di depannya. Ia harus banting setir ke kanan dan menaikkan kecepatan. Yang di depan sebaliknya: bergeser ke kiri dan menurunkan kecepatan. Itulah adat insan yang dialihkan ke adat mesin.
Dengan perkataan lain , korelasi kemanusiaan telah menjelma korelasi sistem. Relasi sistemis ini bakal bermakna kalau dijalankan oleh pelibatnya. Bukan hanya badan individu yang tunduk pada mesin , melainkan juga ”tubuh sosial”.
Modernisasi ialah proyek mengalihkan peradaban. Ia mengikis mulut individu dan memindahkannya ke dalam sistem. Siapa tidak mengikuti sistem , ia bakal dianggap tidak beradab. Hal ini lantas menjadi mitos , menjelma semacam keyakinan. Maka mulut individu yang bebas ialah deviasi perilaku. Kita mengenal banyak istilah untuk individu deviatif ini: nyeleneh , neko-neko , dan eksentrik.
Peradilan besi
Sejarah peradaban kemudian mencatat , betapa modernisasi (baca: modernisme) telah mengubah dunia. Modernisme yang berbasis pada sains dan teknologi telah menyebabkan insan sangat sistemis dan mekanistik. Manusia modern yang lantas diidentikkan dengan insan maju ialah insan yang telah mengenal sains dan teknologi.
Betul bahwa dalam banyak hal modernisasi mengubah peradaban menjadi lebih baik. Namun , di sisi lain berpindahnya subyek individu ke subyek sistem telah membuat insan menyandarkan segalanya ke dalam sistem yang telah menjadi mitos.
Kebahagiaan hidup pun menjadi identik dengan kemapanan dalam sistem. Mapan dalam sistem bersifat materialistis , sesuatu yang aktual setrik fisik. Dari sinilah kita lantas menyaksikan bahwa kehidupan modern ialah panorama benda. Kepemilikan atas benda menjadi tanda kemodernan. Nilai benda berubah dari nilai guna ke nilai tanda: seseorang membeli benda alasannya ialah gambaran atau nilai tanda. Puncaknya , insan modern menjadi pemuja benda.
Muncul irasionalitas gres , yakni meyakini kekuatan di balik benda-benda. Dibandingkan dengan masa kemudian , perbedaannya hanya pada ruang , waktu , dan obyek belaka. Tidak ada Perbedaan meyakini kekuatan di balik keris dengan BMW , contohnya.
Mistifikasi terhadap benda-benda modern , segimana juga dikatakan Marx , memicu sikap kebarbaran baru. Kasus gesekan final hidup ialah contohnya. Jalan raya menjadi etalase modernitas (Kusno , 2009) yang memunculkan pasangan yang bertentangan (oposisi biner): saya BMW kau Grand Max , saya Mercy kau Xenia.
Aku BMW memunculkan arogansi sehingga merasa boleh berkendara sesuka hati. Aku Grand Max juga dapat melawan dengan basis kecemburuan sosial: mentang-mentang kau BMW. Terjadilah pertunjukan kebarbaran.
Itulah paradoks modernisme: yang awalnya merupakan proyek penciptaan adat justru menyebabkan insan tidak beradab. Dalam konteks ini , jalan raya tidak lagi menjadi kawasan kemudian lintas insan , melainkan kemudian lintas besi. Tragisnya , aturan kita rupanya juga aturan besi , yaitu aturan yang tidak beradab.
Lihatlah , dalam segala bidang , aturan selalu memenangkan si saya BMW. Dalam peradaban besi , yang ada hanyalah besi.
Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kemudian Lintas Besi"