Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Bapak Bangsa

Sukardi Rinakit  

Saat ini saya sedang sibuk menjadi Panitia Seleksi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Di kampus ini banyak dosen mumpuni , baik setrik keilmuan maupun manajerial , sehingga saya dihinggapi keyakinan Plato , menyerupai filsuf , siapa pun dosen yang diusulkan departemen atau atas inisiatif langsung terpanggil untuk memimpin , ketika terpilih nanti , ia bakal menjadi pemimpin yang diselimuti virtue (kebajikan). Dengan demikian , kemajuan dan kehormatan fakultas dan universitas selalu terjaga.

Dalam situasi menyerupai itu , saya justru sering termangu-mangu. Jika seorang dekan saja layak mendapat penghormatan tinggi apabila ia berhasil membangun intelektualitas para mahasiswa dan kemajuan fakultasnya , kemudian gimana kita menempatkan Bung Karno dalam konstruksi , meminjam istilah Daoed Joesoef , Tanah Air formal (negara-bangsa)?

Bersama para pejuang kemerdekaan , ia berdiri terdepan dan tidak pernah mengalah membangun mimpi Indonesia merdeka. Ditangkap penjajah , ia tersenyum. Dimasukkan ke dalam penjara , ia membaca buku. Diasingkan ke daerah terpencil , ia membentuk klub tonil. Bersama Bung Hatta , ia tak gentar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dia juga menggali Pancasila dan menjadi inspirator kemerdekaan negara-negara terjajah di dunia. Dia ada di seluruh tarikan napas dan fatwa darah kita. Jika demikian , siapa Bung Karno bagi kita?

Kepemimpinan lembek

Ketidakberanian bangsa ini , utamanya para pemimpinnya untuk menyatakan setrik terhormat bahwa Bung Karno yaitu ”Bapak Bangsa” , bagi penulis menjadi titik pijak untuk melihat mengapa Republik lamban bergerak maju selama ini. Karakter kepemimpinan yang lembek , miskin misi (sedangkan visi sudah tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945) , dan tidak menginspirasi yaitu pangkal problem menciutnya pembangunan dan kemajuan bangsa.

Tidak mengherankan kalau pada satu titik , bangsa ini dihadapkan pada ironi Tanah Air-nya , baik dalam Maknaan formal (negara-bangsa) maupun mental (Pancasila). Sebagai bangsa bahari , kita tidak pernah mempersiapkan dengan saksama dan penuh disiplin industri bahari yang disandingkan dengan pendidikan , ekspansi lahan pertanian , dan pertumbuhan jumlah penduduk.

Kita juga tidak serius melaksanakan gerakan nasional mengubah budaya makan (menjadi berbahan dasar tepung) dan membangun gudang-gudang penyimpanan jangka panjang , khususnya untuk produk daging dan ikan. Akibatnya , impor menjadi satu-satunya pilihan untuk memenuhi kebutuhan lisan anak bangsa dan mencegah keresahan warga. Padahal , seharusnya materi pangan impor tak lebih dari sekadar variasi bagi konsumsi dan kulinerologi kita.

Dari sisi Tanah Air mental (Pancasila) , sejauh ini belum melembaga penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam Makna apa pun. Kekerasan atas nama agama , pelarangan pendirian daerah ibadah , dan konflik antarkampung masih banyak terjadi.

Korupsi terus melembaga dan desain jaminan sosial bagi kaum miskin dan bawah umur telantar belum ditegakkan dengan sekhidmat-khidmatnya. Selain itu , kekuasaan yang ada cuma menjadi ranah untuk memperoleh gengsi sosial dan menumpuk kekayaan. Pendeknya , keadilan sosial sebagai sari pati Tanah Air mental masih jauh dari jangkauan.

Semua itu terjadi sebab para pemimpin yang merasa dapat memimpin , ketika saatnya datang , ia justru ”gentar” memimpin. Untuk memanggul Bung Karno di daerah terhormat menjadi Bapak Bangsa saja tidak berani melakukan. Padahal , tidak ada risiko politik apa pun. Dengan demikian , para pemimpin Republik pada umumnya tidak lebih dari sekadar penguasa , bukan ”pendidik” dalam Maknaan luas bagi bangsanya.

Idealnya , the state must be conceived of as an educator (Gramsci). Sekuat apa pun kekuasaan apabila tidak berperan sebagai ”pendidik” yang baik bagi rakyat , untuk tidak menyebut indoktrinasi , pada saatnya mereka bakal ditumbangkan oleh kaum intelektual yang mendidik dan menggalang kekuatan massa rakyat. Dalam konteks demokrasi , ini bermakna merosotnya pertolongan publik pada seorang pemimpin sebab ternyata ia ”gentar” memimpin.

Kegentaran tersebut membuat bangsa Indonesia tidak pernah melaksanakan lompatan dalam pembangunan nasional sehingga tertinggal dibandingkan dengan China dan India; dan sepertinya segera disusul Vietnam. Kegentaran tersebut membuat keputusan politik menjadi kontradiktif. Hal itu , contohnya , pada satu sisi ada kebijakan mengurai kemacetan , penanaman pohon , dan pengurangan emisi karbon; pada sisi lain kendaraan beroda empat murah dilempar begitu saja ke pasar. Suka atau tidak , semua itu menawarkan abjad kepemimpinan yang lembek.

Melayani rakyat

Sikap gentar tersebut hanya dapat dihapus dari memori publik dan budaya politik masyarakat apabila kepemimpinan nasional ke depan setrik simultan berani mengakui Bapak Bangsa , berkhidmat sebagai negara bahari dan menjunjung kepentingan nasional , serta disiplin menjalankan misi pembangunan sesuai visi yang sudah digariskan para pendiri Republik.

Maknanya , pemimpin tersebut harus menjalankan salah satu perilaku alamiah Bapak Bangsa , yaitu melayani rakyat , bukan melayani kepuasan diri sendiri.


Menurut Anda , dari nama-nama yang sudah beredar , siapa figur calon presiden yang tak gentar memimpin dan melayani rakyat? Jangan menunjuk diri sendiri. Kata Emak , itu tidak elok!

Sukardi Rinakit  Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Bapak Bangsa"

Total Pageviews