Asvi Warman Adam
Film Soekarno yang dibentuk Ram Punjabi dan disutradarai Hanung Bramantyo menuai protes dari Rachmawati Soekarnoputri.
Tulisan ini tidak menyoal pertengkaran itu , tetapi mengungkap beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film wacana tokoh sejarah. Tentu saja lebih gampang kalau film itu merupakan narasi beberapa penutur wacana seorang tokoh; sanggup saja wacana itu berbeda bahkan bertentangan , terserah kepada pemirsa menyimpulkannya.
Pilihan berikutnya ialah menyelipkan tokoh fiktif dalam kelompok tokoh sejarah yang utama. Tokoh fiktif , contohnya , sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan asmara dan berakhir dengan tragis , ibarat dalam film Sang Kiai , perjaka yang pergi berjuang dan menemui simpulan hidup , sementara wanita yang dikasihinya telah hamil. Ini menjadi semacam bumbu penyedap dalam film tersebut Agar alur dongeng tidak kering.
Lebih sulit kalau sang tokoh sejarah itu yang pribadi bertindak dan bertutur. Kegiatan tokoh sekaliber Soekarno telah banyak dikisahkan dalam sejumlah buku dan arsip. Jika semua buku dijadikan referensi , tentu pembuat film perlu menyadari bahwa semua buku itu tidak sama kualitas dan validitasnya.
Disadari bahwa tidak cukup sebuah film untuk menggambarkan usaha Soekarno sedari muda , lalu menjadi proklamator dan berkuasa selama dua dekade. Film yang disutradarai Hanung dengan pemain film sentral Ario Bayu dan Maudy Koesnaedi dimulai semenjak penangkapan Soekarno tahun 1929 hingga proklamasi , 17 Agustus 1945. Film lain , yang dibiayai Dirjen Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan , mengambil periode ketika Soekarno di Ende (1934-1938) , dengan pemain film utama Baim Wong dan Ria Irawan. Yayasan Bung Karno yang dipimpin Guruh Soekarnoputra juga bakal membuat film wacana tahun-tahun kemenangan Bung Karno , 1958-1963 (pada periode ini terjadi Dekrit Presiden , 5 Juli 1959; pembebasan Irian Barat; Asian Games , dan Ganefo). Sukmawati berencana membuat film Soekarno dengan sutradara dari AS atau Tiongkok. Rachmawati ingin memfokuskan pembuatan film wacana hari-hari terakhir Bung Karno (1965-1970).
Harus dicermati
Buku Cindy Adams merupakan salah satu referensi dari kehidupan Bung Karno. Namun , buku yang dibentuk tahun 1965 itu perlu dicermati saksama. Tidak sempat dikoreksi oleh Bung Karno sebab situasi kritis menjelang 1 Oktober 1965 , buku itu terbit juga tanpa diperiksa lebih dulu oleh orang-orang erat Soekarno yang ikut mengalami insiden pada zaman yang sama.
Tak mengherankan kalau Syafii Maarif menuding Bung Karno merendahkan Hatta dan Sjahrir sebab terdapat dua alinea dalam buku Penyambung Lidah Rakyat itu yang bernada demikian. Saya meminta kepada Syamsu Hadi dari Yayasan Bung Karno untuk mengecek dan menerjemahkan ulang. Ternyata dua alinea yang melecehkan itu tidak ada dalam karya orisinil berbahasa Inggris. Kaprikornus , siapa yang menambahkan dalam edisi bahasa Indonesia?
April 1968 , Gatot Mangkupraja menulis di jurnal Indonesia terbitan Cornell AS , menanggapi buku Cindy Adams tersebut. Pertama , tak benar bahwa PNI yang didirikan Soekarno dan kawan-kawan di Bandung tahun 1927 itu memiliki anggota dan mengadakan rapat di lokasi pelacuran yang berpenghuni sekitar 670 orang itu. Menurut Gatot , hanya ada satu-dua pelacur yang sudah bertobat dan menikah dengan pencetus PNI. PNI juga melaksanakan seleksi kepada calon anggota Agar citranya tetap terjaga. Jelas salah kalau PNI disebutkan bangkit tahun 1921.
Percintaan antara Soekarno dan gadis Belanda , Nona Mien Hessels , dipertanyakan oleh Mangkupraja. Mungkin saja Soekarno menaksir gadis bule tersebut , tapi tidak hingga melamar kepada orangtuanya dan dipermalukan sebagai inlander. Saya kira adegan ini kalau dimuat sanggup digambarkan sutradara sebagai keinginan Bung Karno. Kaprikornus perjaka Soekarno bermimpi melamar cewek itu dan—masih dalam mimpi—ditolak mentah-mentah oleh orangtua di gadis.
Soekarno menyampaikan bahwa tahun 1922 ia bertemu seorang petani yang berjulukan Marhaen. Menurut Gatot Mangkupraja , gres tahun 1928—setahun Setelah PNI didirikan—wacana itu mulai muncul sebagai pengganti istilah Kromo. Ketika Bung Karno dibuang ke Ende , ia memang merenung atau melaksanakan semadi , tetapi terperinci waktu itu tidak pernah disebutkan setrik konkret bahwa di bawah sebatang pohon Soekarno memikirkan dasar negara.
Semasa penjajahan Jepang , berdasarkan Gatot , tidak benar ada perjanjian setrik eksplisit antara Soekarno-Hatta dan Sjahrir mengenai pembagian wilayah kiprah mereka: satu di dalam (bekerja sama dengan Jepang) dan satu lagi di luar (melakukan gerakan tanah setrik terbatas). Kaprikornus , mungkin saja kelak di lalu hari hal tersebut terlihat ibarat itu , tetapi tanpa skenario.
Film Soekarno yang dibentuk oleh Multivision sudah selesai shooting dengan durasi 9 jam tayang dan tinggal disunting menjadi sekitar dua jam tayang. Produser dan sutradara perlu berkonsultasi dengan sejarawan profesional untuk mendiskusikan penyuntingannya kalau menginginkan keakuratan fakta sejarah film ini sanggup dipertanggungjawabkan. Sementara itu , foto , rekaman bunyi , dan film-film dokumenter periode terkait di Arsip Nasional perlu diperhatikan Agar bahasa badan sang tokoh lebih meyakinkan.
Asvi Warman Adam , Sejarawan di LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Memfilmkan Soekarno"