Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Puisi Dan Korupsi

Putu Setia

Dalam daypikir dualistik biner , di dunia ini hanya ada (orang) yang korupsi dan tidak korupsi. Pada kenyataannya , ada banyak yang tercecer di antara korupsi dan tidak korupsi , −bahkan terpanggil untuk memberantas korupsi. Si penegak aturan yang tidak korupsi tapi kemaruk mendapatkan hasil korupsi , contohnya , sanggup aktif mengatur dakwaan semoga terperoleh vonis eksekusi ringan atau penataan fasilitas penjara semoga si koruptor nyaman.

Atau tak korupsi tapi mendapatkan recehan dari si yang korupsi Agar membisu tutup mulut. Celakanya , reka suap tutup lisan itu jadi kongkalikong resmi , yang membuat besaran dikorupsi Rp 1 miliar hanya dinikmati utuh Rp 600 juta , sekaligus Setelah mengantongi Rp 600 juta si bersangkutan mendapatkan Rp 25 juta-Rp 50 juta dari teman kerja yang berkorupsi pada pos lain.

Pemerataan hasil korupsi , yang nominalnya tergantung posisi dan jabatan , membuat si terbukti korupsi dan divonis korupsi hanya sanggup disita sebagian kekayaannya −di bawah nominal kerugian negara.

Ruwet bin rumit. Bahkan pihak-pihak yang ikut menikmati hasil korupsi hanya mungkin dijadikan saksi , tak mungkin dipaksa mengembalikan laba berkolusi. Sulit merampas receh hasil tutup lisan ketika ada korupsi alasannya yaitu UU Pencucian

Uang sebagai alat pembuktian terbalik yang menelusuri asal-usul receh yang diperoleh kalau diterapkan bakal terlalu mahal. Dianggap saksi memberatkan yang nyaris whistle blower −meski malu menikmati hasil korupsi laris pasifnya itu diserahkan kepada Tuhan. Mungkin tanpa religiositas menyerupai China , gres sanggup tegas menghukum mati.

Kondisi itu yang mengakibatkan banyak pihak muak dan cenderung ingin ekstrem menghukum koruptor.
Tapi radikalisme itu ditanggapi si koruptor sebagai laris pihak yang tak punya saluran sehingga tak kuasa menikmati hasil korupsi. Bahkan koruptor yang belum terbukti korupsi berani menuding media yang menyorotinya sebagai pencemaran nama baik.

Mungkin alasannya yaitu korupsi berdekatan , −bahkan identik , −dengan kekuasaan. Lantas dengan apa melawan kekuasaan yang koruptif?

Menulis korupsi

Awal 2013 ada mitra yang gelisah dan ingin membentuk komunitas untuk menormalkan keadaan lewat sugesti perlawanan. Semacam pengondisian untuk menolak laris aktif korupsi atau hanya menikmati hasil korupsi. Komunitas dibuat tanpa aturan keanggotaan ketat dan upaya dimanifestasikan dalam ekspresi puisi.

Sederhananya , anggota komunitas diajak menulis , memublikasikan setrik tertulis , dan membaca puisi bertema antikorupsi. Tendensi ini murni tak berideologi dan tak beragama.
Hanya tema antikorupsi yang dikembangkan menurut pengetahuan serta pengalaman subyektif masing-masing.

Sebagai organisasi independen , dana yang terbatas diatasi dengan mengajak setiap penyair pengirim puisi , untuk ikut membiayai penerbitan kalau puisinya memenuhi syarat dan lolos seleksi.

Untuk publikasi pertama− ada 85 penyair dan 332 puisi dalam buku 476 halaman ,− ditentukan sawerannya Rp 250.000 per orang—meski banyak yang mengirim lebih. Besaran itu jadi hak atas buku tercetak , yang ketika itu biaya cetaknya cuma Rp 25.000 per buku.

Karena itu , buku Puisi Menolak Korupsi mustahil ditemukan di toko buku mana pun. Melulu hanya berada di khazanah si penyair yang berkontribusi− sanggup dinegosiasi untuk memilikinya dengan rentangan harga Rp 0 hingga di atas Rp 25.000. Ini sebuah kesepahaman yang unik , sebuah manifestasi untuk mengekspresikan usaha yang konsekuen melawan korupsi.

Pada praktiknya , pembagian produksi hasil investasi saham penerbitan dilakukan pada titik tertentu , di mana ada pihak yang mau jadi daerah launching , kemudian diikuti atrik baca puisi—meski ada yang tidak sanggup datang.

Momen publikasi lisan ini diikuti banyak kontributor buku atau seniman seni pertunjukan setempat yang ikut mengekspresikan penolakan pada korupsi. Momen itu dilengkapi diskusi yang menggelora dan tak seorang pun yang dibayar.

Kegiatan

Ada akad tidak terucapkan untuk melawan korupsi , dengan ekspresi penolakan pada korupsi setrik tekstual. Sampai awal Ramadhan , launching− yang diidentifikasi sebagai roadshow , telah dilakukan di Blitar (18-19/6) , Tegal (1-2/6) , dan Banjarbaru , Kalsel (28/6). Selain di Banjarbaru , di mana ada kontribusi dana Rp 2.725.000 lebih untuk tiket kapal Surabaya-Banjarmasin pergi-pulang , semua transportasi ditanggung sendiri dengan ditunjang kemudahan maesenas lokal.

Ada benang merah kesepakatan: korupsi harus dilawan meski hanya lirih lewat puisi , yang kegarangannya hanya hadir di panggung pertunjukan. Bahkan , permintaan emansipatorik ditolak alasannya yaitu kodrat penyair itu berpuisi , mencatat , serta mengingatkan , tidak pragmatik demo di jalanan , tidak juga dengan berpidato di DPR. Maka , roadshow berikut berlangsung di Agustus dan seterusnya. Bahkan , sekarang sudah ada 174 penyair yang berpMaknasipasi membiayai penerbitan buku Puisi Menolak Korupsi jilid II.

Orang sudah muak. Ada yang mengekspresikannya setrik bernafsu , ada yang lirih lewat puisi.

Putu Setia Pengarang

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Puisi Dan Korupsi"

Total Pageviews