Yudi Latif
Ide filosofis Pancasila , berdasarkan sila keempat , menekankan semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang sanggup mengatasi paham perseorangan dan golongan sebagai pantulan semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia. Dalam kaitan ini , Mohammad Hatta menjelaskan , ”Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari bunyi terbanyak saja , melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Dalam demokrasi permusyawaratan , suatu keputusan politik dikatakan benar jikalau memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama , harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan , bukan hanya berdasarkan subyektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua , didedikasikan bagi kepentingan bangsa setrik keseluruhan , bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga , berorientasi jauh ke depan , bukan demi kepentingan jangka pendek melalui fasilitas transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif).
Keempat , bersifat imparsial , melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) setrik inklusif , yang sanggup menangkal diktator lebih banyak didominasi atau tirani minoritas.
Dengan wangsit filosofis menyerupai itu , semestinya timbul keharusan normatif dalam sistem pemilihan presiden yang memperhatikan keterwakilan orang dan ruang—sejalan dengan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia (orang) dan seluruh tumpah darah Indonesia (ruang). Dengan sendirinya pula , sistem itu harus mempertimbangkan pluralitas kebangsaan Indonesia , tidak memagarkan tampuk kepemimpinan nasional dikuasai golongan tertentu.
Dalam rangka memenuhi hal itu , harus ada ketentuan dalam undang-undang pemilihan presiden yang menetapkan kemenangan tidak berdasarkan popular vote (jumlah bunyi orang) setrik nasional , tetapi atas dasar kemenangan di sebagian besar provinsi. Bahkan , sistem liberal Amerika Serikat sekalipun tidak menganut sistem pemilihan presiden berdasarkan popular vote , tetapi berdasarkan kemenangan di sebagian besar (50 persen plus 1) negara bagian. Itu pun proses pemilihan presiden tidak eksklusif , tetapi melalui pemilihan electoral college (perwakilan pemilih) di setiap negara bab , yang jumlah elector-nya sebanding dengan jumlah penduduknya. Sistem pemilihan presiden setrik eksklusif berdasarkan popular vote setrik nasional , tanpa mengharuskan kemenangan di sebagian besar provinsi , cenderung memberi keistimewaan kepada golongan etnis lebih banyak didominasi , yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi permusyawaratan.
Ketepatan sistem pemilihan diharapkan untuk mengantisipasi kecenderungan abrasi etika pada kenyataan operatif , menyerupai tecermin dari memudarnya tradisi penghormatan pada representasi kebinekaan. Meskipun setrik pragmatis , pasangan presiden dan wakil presiden yang berasal dari golongan etnis lebih banyak didominasi sanggup saja memenangi pemilihan , kebijaksanaan lebih banyak didominasi menyerupai itu tak sepantasnya dikembangkan alasannya ialah dalam jangka panjang sanggup mengoyak semangat kekeluargaan dan solidaritas nasional. Pasangan presiden dan wakil presiden seyogianya mencerminkan pluralitas keindonesiaan: pluralitas etnis dan/atau agama.
Masalah representasi kebinekaan ini sanggup dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara , bahkan jikalau dipandang sebagai subyek aturan , bukanlah individu-individu abnormal yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Tarikan global ke arah demokratisasi dan penguatan liberal (individual) rights memang terjadi , tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga menguat. Di seluruh dunia , ”politik identitas” (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif berbasis etnis , bahasa , dan agama mengalami gelombang pasang. Di Indonesia sendiri , kemunculan Orde Reformasi membawa kabar baik dalam pemulihan kebebasan berekspresi dan berasosiasi , tetapi sekaligus mengandung potensi bahaya dari menguatnya politik identitas dengan lisan kekerasan yang menyertainya.
Dengan demikian , legalisasi terhadap hak-hak aneka kelompok budaya harus dibuka terlebih dahulu sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga negara yang sanggup melampaui identitas etniknya (post-ethnic condition). Untuk itu , kita sanggup mencar ilmu dari kebijakan multikulturalisme di Kanada. Di satu sisi , Kanada menerapkan ”model pluralis” dengan mengakui hak-hak aneka kelompok etnis untuk mengekspresikan identitasnya masing-masing di ruang publik. Di sisi lain , Kanada juga mengantisipasi ”model kosmopolitan” , dengan trik mendorong kelompok etnis untuk saling berinteraksi dan berpMaknasipasi di ruang publik.
Dalam semangat itu , perkara pemilihan presiden/wakil presiden bukan sekadar perkara teknis , melainkan harus disusun saksama dalam rangka memperkuat nilai-nilai republikanisme. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi harus sanggup melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Oleh alasannya ialah itu , tantangan demokrasi ke depan ialah gimana mewujudkan legalisasi politik (political recognition) dan politik legalisasi (politics of recognition) yang menjamin hak individu ataupun kesetaraan hak dari sejumlah kelompok budaya sehingga sanggup hidup berdampingan setrik hening dan produktif dalam suatu republik.
Yudi Latif , Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menentukan Presiden Sesuai Pancasila"