Mohammad Fajrul Falaakh
Panitia seleksi bakal calon presiden dari Partai Demokrat memutuskan 11 nama (Kompas , 30/8/2013). Sejumlah nama menolak ikut seleksi , menyerupai Jusuf Kalla dan Mahfud MD.
Tahap berikutnya yaitu konvensi dalam desain yang tak menentu , meski tugas kunci Susilo Bambang Yudhoyono (Ketua Majelis Tinggi , Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum Partai Demokrat) bakal digantikan oleh survei elektabilitas bakal capres. Ketakmenentuan disebabkan faktor rekayasa pengecilan jumlah calon dalam pemilihan presiden (pilpres) Setelah 2004 dan monopoli partai politik dalam mengusulkan capres/cawapres.
Tulisan ini membahas implikasi seleksi bakal capres Partai Demokrat terhadap proses pemilihan umum anggota legislatif dan pilpres tahun 2014.
Partai Demokrat berhasil jadi kendaraan terpilihnya SBY sebagai presiden untuk dua kali , tetapi kesulitan memutuskan kader capres. Ketua umum Partai Demokrat pasca-Kongres Bandung (Mei 2010) tak ditetapkan sebagai bakal capres , diganti dengan hukum internal partai (AD/ART) yang memberi kekuasaan kepada SBY untuk menentukan capres.
Ketakpastian capres Partai Demokrat menguat Setelah beberapa kader utamanya tersingkir oleh dugaan korupsi. Survei bahkan menunjukkan turunnya elektabilitas Partai Demokrat serta muncul atau menguatnya para capres potensial di luar Partai Demokrat. Setelah merangkap ketua umum (Maret 2013) , SBY semakin di depan dalam proses penentuan capres. Akhirnya panitia seleksi capres jadi pilihan , meski terkesan mendadak dan dengan hukum atau mekanisme yang berubah-ubah.
Profil 11 bakal capres Partai Demokrat sanggup disimak dari beberapa sudut pandang. Mereka berasal dari preferensi SBY serta hasil insinuasi dan atau permintaan panitia seleksi. Mereka bukan hanya kader partai lantaran meliputi adik ipar , mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia , serta menteri atau pejabat tinggi dalam pemerintahannya. Meski bermacam-macam latar etniknya , semuanya ”orang Jakarta”. Akan capres itu disengaja dari lintas generasi dan profesi untuk memastikan perbedaan kemampuan.
Jumlah kader Partai Demokrat sangat terbatas , meneguhkan bahwa kaderisasi partai Setelah mengikuti dua kali pemilu dan pilpres tak terjadi setrik baik. Selain itu , konvensi Partai Demokrat bagaikan seleksi ”kucing berkarung partai”. Kucing yang dikarungi sudah diketahui. Kucing yang bakal keluar dari karung itu masih bakal ditentukan oleh bermacam-macam faktor yang diuraikan di bawah.
Profil bakal capres Partai Demokrat juga relatif memantulkan kemajemukan Indonesia. Tetapi lantaran hubungan sistem pemilu dan sistem pilpres bukanlah pantulan linier Undang-Undang Dasar 1945 , sedangkan sistem pilpres tak sepenuhnya berkesesuaian dengan prinsip pemerintahan presidensial , kemajemukan itu lebih bermakna sebaran pendulang bunyi guna mendongkrak elektabilitas partai. Penilaian ini didukung oleh sejumlah faktor.
Pertama , konvensi tidak hanya dilakukan bagi internal partai. Konon publik ikut menentukan , padahal hanya bakal dijajaki pendapatnya oleh tiga forum survei yang diaudit dan didanai dua kali oleh Partai Demokrat. Kedua , nasib bakal capres ditentukan menurut dua kali survei. Karena tidak hanya melibatkan pihak internal partai , maka sebutan konvensi dan komite konvensi justru mengecoh.
Ketiga , pelibatan pihak eksternal dan kampanye bakal capres mengundang masalah. Para petinggi Partai Demokrat mempersilakan mereka mendanai atau menggalang dana sendiri. Siapa penyandang dana atau bandar-bandar capres itu? Mudah kampanye pemilu dan pilpres 2014 dimulai. Siapkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengawasi kampanye itu sebelum pemilu legislatif 2014?
Ketakpastian
Hasil seleksi capres tidak hanya dipengaruhi elektabilitas atau popularitas bakal capres. Dua faktor lain bakal ikut menentukan , yaitu ambang batas 20 persen bangku dewan perwakilan rakyat (atau 25 persen bunyi pemilu) untuk menominasikan pasangan capres/cawapres dan rintangan konstitusi.
Penentuan capres berkorelasi dengan faktor keterpenuhan syarat partai untuk menominasikan capres. Jawaban belum niscaya lantaran hasil pemilu legislatif tahun 2014 yang bakal menentukan ambang batas untuk menominasikan pasangan capres/cawapres. Hasil pemilu ini masih dinantikan sehingga menjadikan ketakpastian partai untuk menominasikan sendiri ataukah berkoalisi , serta ketakpastian menominasikan capres dan atau cawapres. Dengan demikian , rintangan konstitusi belum teratasi oleh seleksi bakal capres Partai Demokrat , juga oleh bakal capres dari partai lainnya.
Akan lain apabila pengusulan pasangan capres-cawapres sebelum pelaksanaan ”pemilihan umum” (Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945) dimaknai pemilu legislatif (general elections) dan bukan pilpres (presidential elections). Untuk ini UU Pilpres 2008 perlu diubah semoga ambang batas pengusulan pasangan capres-cawapres didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya , atau malah tanpa ambang batas.
Terlepas dari pro-kontra ihwal waktu pengusulan pasangan capres-cawapres tersebut , kampanye bakal capres sebelum pemilu legislatif tak memerlukan ambang batas. Namun , tentu , kampanye luas yang bakal digelar para bakal capres Partai Demokrat tidak bakal didiamkan oleh bakal capres dari partai lain. Para bakal capres dan parpol beramai-ramai menyiasati rintangan ambang batas tersebut.
KPU sebaiknya mengucapkan selamat berkampanye kepada para capres semua parpol. KPU bisa berdebat dulu ihwal perbedaan kampanye serentak dan pemilu serentak.
Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kampanye “Kucing Berkarung Partai”"