Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Royalti Batubara

Irwandy Arif 

Dalam sembilan tahun terakhir , bantuan pertambangan batubara terhadap PDB non-migas terus meningkat. Jika pada 2004 sebesar 3 ,1 persen , pada 2012 jadi 6 ,1 persen.

Di tengah merosotnya defisit neraca berjalan , kenyataan ini ikut mendorong pemerintah merencanakan kenaikan tarif royalti batubara Agar sanggup meningkatkan lagi penerimaan negara. Rencana kebijakan ini tentu perlu dipertimbangkan lebih matang lantaran industri batubara sedang kelimpungan lantaran didera turunnya harga komoditas batubara semenjak 2012 dan diperparah oleh peningkatan biaya produksi yang cukup signifikan.

Beberapa perusahaan penambangan batubara telah menutup perjuangan mereka. Selain itu , yang juga mengkhawatirkan ialah kebijakan peningkatan royalti batubara berpotensi mendorong semakin maraknya atrik penambangan dan perdagangan batubara ilegal di Tanah Air.

Perbedaan tarif royalti

Di dalam PP No 9/2012 perihal Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral , tarif royalti bagi pemegang izin perjuangan pertambangan (IUP) ditetapkan 3 persen , 5 persen , dan 7 persen sesuai nilai kalori dari batubara. Tarif tersebut berbeda dengan royalti bagi pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan Batubara (PKP2B) , yaitu 13 ,5 persen. Perbedaan ini yang antara lain mendorong pemerintah menerapkan tarif royalti gres bagi pemegang IUP yang diyakini bakal meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Sepintas , disparitas tarif ini menjadikan kesan pemegang IUP menikmati laba yang berlipat dibanding pemegang PKP2B. Namun apabila ditelaah lebih jauh , bantuan yang diberikan perusahaan IUP terhadap penerimaan negara setrik agregat tidaklah berbeda jauh.

Hal ini disebabkan , antara lain , lantaran perlakuan hukum perpajakan dan PNBP yang berbeda , yaitu lex seorang hebat bagi pemegang PKP2B generasi I , II , dan sebagian generasi III. Sementara pemegang IUP mengikuti hukum perpajakan dan PNBP yang berlaku dari waktu ke waktu. Selain itu , banyaknya pungutan pajak dan retribusi kawasan , termasuk pungutan dalam bingkai sumbangan pihak ketiga yang tidak terang penggunaannya , semakin memperkecil margin pemasukan bagi perusahaan pemegang IUP.

Dengan kondisi harga batubara yang terus tertekan , ditambah naiknya biaya produksi , perusahaan batubara berjuang untuk sanggup bertahan. Tidak sedikit perusahaan yang terpaksa harus merumahkan dan bahkan mem- PHK karyawannya. Data dari Asosiasi Perusahaan Jasa Usaha Pertambangan (Aspindo) mengatakan hampir 6.000 orang di-PHK oleh kontraktor pertambangan untuk menekan kerugian. Hal ini sanggup memicu konflik sosial di kawasan menjelang tahun politik 2014.

Saat industri batubara sedang berjuang menghadapi tekanan harga batubara dan peningkatan biaya produksi , atrik penambangan dan perdagangan ilegal nyaris tak terpengaruh , bahkan kian marak. Dengan jumlah IUP batubara yang sekitar lebih dari 5.000 di sejumlah kawasan , mudah pengawasan sangat sulit dilakukan. Selain itu , intensitas dan skala penambangan ilegal semakin meluas.

Menurut hasil kajian yang dilakukan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) , diperkirakan sekitar 56 juta produksi batubara diduga berpengaruh berasal dari atrik tanpa izin tersebut , yang merugikan negara Rp 3 ,5 triliun-Rp 5 ,5 triliun pada tahun 2012. Dampak terhadap kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan pun sangat serius.

Pasokan batubara dari atrik ilegal tersebut tentu berdampak terhadap kondisi kelebihan pasokan di pasar batubara global yang mendorong penurunan harga. Di sisi lain , kebutuhan bakal batubara dari Indonesia masih sangat tinggi dan kebutuhan batubara domestik masih rendah , sehingga dorongan untuk ekspor batubara semakin meningkat.

Dengan kondisi harga batubara dikala ini , yang sanggup menikmati margin laba yang besar ialah atrik penambangan dan perdagangan batubara ilegal. Hal ini sangat logis lantaran para pelaku perjuangan yang tidak bertanggung jawab tersebut tidak membayar kewajiban keuangan dan perpajakan kepada negara , tidak menyisihkan dana untuk reklamasi dan pengelolaan lingkungan , bahkan tidak memperhatikan tunjangan bagi pengembangan masyarakat.

Melihat kondisi di atas , selain berakibat PHK ribuan karyawan , kenaikan tarif royalti dikhawatirkan mendorong peningkatan jumlah atrik penambangan ilegal. Di tengah minimnya pengawasan di kurun otonomi kawasan , praktik-praktik tidak terpuji tersebut boleh jadi bakal semakin marak. Negara dan bangsa yang tentu bakal dirugikan lantaran selain peningkatan penerimaan negara tidak tercapai , ekses negatif juga bakal dituai.

Berdasarkan indeks harga

Guna menghindari ekses negatif tersebut , solusi yang sanggup ditempuh pemerintah antara lain dengan menerapkan kenaikan tarif royalti progresif menurut kenaikan indeks harga. Tarif royalti progresif Maksud ialah kenaikan tarif royalti dikala indeks harga batubara mencapai level tertentu saja dan mempertahankan tarif yang dikala ini berlaku ketika harga di bawah ambang batas tersebut. Dengan demikian , godaan praktik-praktik tak terpuji tambang ilegal sanggup diminimalkan.


Di sisi lain , insentif juga perlu diberikan bagi perjuangan batubara yang mendukung ketahanan energi nasional. Perlu segera ada tindakan kasatmata bahwa dengan meroketnya subsidi BBM porsi batubara terhadap elektrifikasi sudah harus ditingkatkan Agar APBN sanggup dihemat. Selain itu , pemerintah juga perlu terus menertibkan atrik penambangan dan perdagangan batubara ilegal yang merugikan negara. Sudah saatnya batubara dikelola setrik bertanggung jawab untuk kepentingan anak-cucu kita di masa yang bakal datang.

Irwandy Arif  Indonesian Mining Institute

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Royalti Batubara"

Total Pageviews