Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Kulihat Ibu Pertiwi

Sindhunata  

Ada sebuah patung kerikil di Karang Klethak , Dusun Wonorejo , Pakem , Sleman , Yogyakarta. Patung itu menggambarkan seorang ibu pedesaan yang amat sederhana. Nama patung itu Mbok Turah. Turah berMakna lebih atau berkelebihan. Mbok Turah berMakna ibu yang berkelebihan.

Bagi penduduk setempat , Mbok Turah ialah kehidupan yang tepersonifikasikan dalam diri seorang ibu. Seperti kehidupan yang berkelebihan , Mbok Turah ialah ibu yang turah-turah atau berkelebihan dalam cinta , donasi diri , pengorbanan , dan penderitaan. Dan itu semua sanggup ditanggungnya lantaran Mbok Turah ibu yang berkelebihan dalam kesederhanaan.

Juni kemudian , beberapa seniman Yogya menggali lebih dalam inspirasi Mbok Turah. Perupa Tamtama Anoraga membuat dipan sederhana dari bambu. Di atas dipan ditaruh tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau , flora padi , dan beberapa hasil bumi. Karya yang diberi judul ”Peraduan Ibu” itu menggambarkan betapa berlimpahnya kesuburan seorang ibu. Karena kesederhanaan dan pengorbanannya , kawasan yang ditidurinya pun bisa menjadi sawah yang menghijau dengan padi dan rerumputan serta hasil bumi.

Sementara Nur Kuntolo mempersonifikasikan Mbok Turah dalam karya patung berupa seorang wanita yang bertelanjang dada. Di setengah tubuh wanita itu mencuat indah buah-buah dada. Patung wanita dengan banyak buah dada ini diberi nama Sewu Susu atau seribu susu. Idenya , betapapun miskin dan sederhananya ia , lantaran didorong keinginannya untuk semata-mata memberi , wanita itu sanggup mengalirkan air susu berlimpah-limpah. Kesederhanaan dan kemiskinan bukanlah alasan tak berani memberi. Justru kesederhanaan dan kemiskinan bisa menjadi seribu susu , yang tak pernah berhenti mengalirkan air kehidupan kalau kita berani mengatakan diri dan milik kita kepada sesama yang membutuhkan.

Mbok Turah ialah antipoda yang bersikap kritis atas sikap serakah kita remaja ini. Ibu sederhana dan miskin , tetapi berkelebihan itu menyerupai Ibu Pertiwi yang sedang menangisi anak-anaknya yang kini sedang dilanda keserakahan nyaris tak mengenal batas. Sebagian anak bangsa ini , lebih-lebih mereka yang berkuasa dan berada , sedang dirasuki angkara marah keserakahan. Mereka mirip didera lapar tak karuan. Lapar kekuasaan , lapar uang dan keuntungan , lapar kepemilikan. Semua mau diuntal: hutan , sawah , gunung , lautan. Hutan dirusak dengan penebangan ilegal. Tak cukup itu , lingkungan hidup dirusak dengan mengubah hutan jadi perkebunan sawit untuk keruk keuntungan.

Daging sapi pun dikorupsi. Kita tak lagi makan daging sapi yang suci , tetapi daging sapi yang sudah tercemar , dikotori nafsu uang yang dikeruk , tidak saja untuk menumpuk kekuasaan , tetapi juga untuk memuaskan nafsu syahwat. Politik berjalan atas nama kebebasan. Politikus bekerja tidak untuk membuat ruang kebebasan demi kesejahteraan publik , tetapi merebut wilayah kebebasan demi memupuk kekuasaan dan keuntungan sendiri. dewan perwakilan rakyat ialah wakil rakyat dan kepolisian ialah forum penegak aturan tertinggi. Kalau dewan perwakilan rakyat dan kepolisian , dua forum tertinggi negara , terindikasi sebagai terkorup , masihkah kita bisa berkelit menghindar dari dakwaan bahwa setan keserakahan benar-benar telah merasuki jiwa bangsa ini? Kita telah jadi makhluk yang digerakkan prinsip keserakahan. Prinsip keserakahan ini telah menjerumuskan kita menjadi masyarakat berkultur konsumtif. Kata seorang teolog dan penggagas hak asasi dari Jerman , Friedrich Schorlemmer , dalam masyarakat konsumtif mau tak mau berlaku prinsip Darwinisme , ”siapa besar lengan berkuasa , ia menang”.

Dalam masyarakat demikian , egoisme tak hanya diagarkan tumbuh setrik alamiah. Lebih dari itu , orang dilatih sedemikian rupa jadi egoistis. Para egois yang terlatih dan profesional itu sanggup memperlihatkan diri sebagai insan yang bisa bersaing , tahan dalam segala tekanan demi keuntungan yang lebih besar , andal dalam efisiensi , dan berkepala hambar terhadap perasaan. Egois-egois itulah kader utama masyarakat zaman ini. Masyarakat egoistis tersebut sesungguhnya sedang menggali kuburan sendiri. Kata Schorlemmer , itulah , yang dilukiskan Bertolt Brecht dalam dramanya Jatuh dan Bangunnya Kota Mahagonny. Pada tamat drama dilukiskan gimana orang jadi tak peduli satu sama lain. Tak terang lagi , orang-orang itu kalah atau menang.

Jadi , kata Brecht , ada kemenangan yang ialah kekalahan , ada kebangkitan yang ialah kejatuhan. Mahagonny , kota keserakahan tersebut , menyerupai keadaan kita zaman ini. Kita membangun bangunan-bangunan keberhasilan , yang fundamennya rawa-rawa. Dalam Makna ini , kita sesungguhnya sudah jatuh dan kalah. Menurut Schorlemmer , tak ada jalan lain menghindari kekalahan itu , kecuali kita berani berjuang melawan keserakahan diri dan mengubah sistem masyarakat Agar tidak digerakkan lagi oleh prinsip keserakahan yang konsumeristis.

Globalisasi ketidakpedulian

Kultur konsumeristis yang digerakkan prinsip keserakahan telah menipu kita. Diam-diam kita telah dibawa kultur itu menuju budaya kenyamanan. Sepintas budaya itu kelihatan mengenakkan. Namun , kata Paus Fransiskus , budaya itu membuat kita hidup dalam gelembung sabun , yang meski indah , tiada berisi.

Gelembung itu mengatakan delusi fana dan kosong , yang melahirkan ketidakpedulian terhadap orang lain. Oleh budaya kenyamanan , kita dibentuk jadi orang yang hanya berpikir diri sendiri , tidak peka terhadap jerit tangis orang lain. Kata Paus Fransiskus , ”Sungguh , budaya kenyamanan itu telah membawa kita pada globalisasi ketidakpedulian. Kita telah jatuh dalam ketidakpedulian global. Kita terbiasa untuk tidak peduli pada penderitaan orang lain. Derita itu tidak menimpa saya , bukan urusanku.” Globalisasi ketidakpedulian membuat kita ”tak bernama”. Akibatnya , apabila terjadi penderitaan , tiada yang merasa ikut bersalah dan berani bertanggung jawab. Kaprikornus , kata Paus Fransiskus , ”Kita ialah masyarakat yang telah lupa gimana menangis , gimana berbela rasa , menderita bersama orang lain. Globalisasi ketidakpedulian telah mencabut kita dari kemampuan untuk menangis.”

Seperti diajakkan Paus , kita tak boleh tinggal membisu terhadap ketidakpedulian itu. Justru lantaran arus konsumeristis dan keserakahan yang makin menggila , inilah saatnya membangun kembali kepedulian kepada sesama. Dan berdasarkan Tania Singer , sesungguhnya kita sanggup melatih diri memupuk kepedulian sosial itu. Tania ialah profesor wanita di Jerman , yang mendalami tenggang rasa dan impuls insan yang bisa memengaruhi kehidupan sosial. Ia meneliti , gimana saraf otak insan bereaksi dan bekerja dalam kontak-kontak sosial. Singer yang juga konsultan bisnis bahkan melihat , bisnis yang sukses pun sesungguhnya bisa dibangun atas dasar kepedulian sosial. Die soziale Neurowissenschaft , ilmu pengetahuan perihal saraf-saraf sosial , memperlihatkan , insan bukanlah homo economicus , yang hanya mengenal kebutuhan sendiri , melainkan insan yang bisa ikut merepresentasikan kebutuhan dan perasaan orang lain dalam tubuh maupun otaknya.

Sayang kehidupan dan institusi-institusi bisnis modern tidak melihat potensi dari tenggang rasa dan saraf sosial itu. Kehidupan dan bisnis modern justru memblokir dan mematikan potensi tersebut. Semboyannya ”aku harus memiliki lebih”. Dan utamanya membangun motivasi untuk meraih prestasi , persaingan , dan keuntungan. Saraf hemat macam itulah yang kini sedang menguasai dan bekerja dalam otak kita. Kita jadi terpenjara dalam ketakutan neurotis , seakan kita tidak bakal sukses kalau tidak memaksimalkan prestasi , persaingan dan keuntungan.

Begitulah , bisnis modern seakan ditakdirkan untuk berjauhan dengan caring atau kepedulian yang tertanam dalam diri manusia. Singer membantah pendirian itu. Baginya , caring system atau sistem kepedulian itu sanggup juga jadi basis kokoh bagi sistem bisnis. Kita perlu menyekolahkan lagi tenggang rasa dan saraf sosial kita , seiring dan dalam keseimbangan dengan usaha-usaha hemat kita. Para ekonom perlu yakin , bahwa ”memperhitungkanliyan dan kesejahteraan bersama” ialah prinsip yang sama menguntungkannya dengan prinsip meraih prestasi dan laba.

Di dalam dunia persaingan bisnis kini , ekonomi hanya berpikir gimana meningkatkan prestasi , memperbesar modal , memperbanyak konsumsi , dan meraup keuntungan. Ekonomi lupa , semua itu perlu diseimbangkan dengan upaya meningkatkan tenggang rasa , kepedulian sosial , dan berbela rasa terhadap liyan. Tanpa keseimbangan itu , anggota masyarakat terjerumus dalam ketidakbahagiaan , tersiksa oleh egoisme yang kesepian , terbudakkan oleh persaingan yang saling memakan , terbelenggu konsumerisme yang serakah tanpa kesudahan. Menurut Singer , ekonomi demikian perlu diubah jadi caring economics , ekonomi yang berkepedulian. Kita harus berjuang mati-matian mengubah prinsip keserakahan jadi prinsip kepedulian. Pedoman hidup egoistis , ”aku harus memiliki lebih” harus kita ubah jadi anutan hidup altruistis ”memiliki kurang justru berMakna lebih”. Dengan berani jadi ”kurang” dalam prestasi material dan konsumsi , kita jadi ”lebih” dalam prestasi rohani dan kemanusiaan. Kita jadi punya lebih banyak waktu untuk perjumpaan , memupuk kepedulian , meningkatkan rasa saling percaya. Itu semuanya bakal meningkatkan kualitas hidup dan membuat hidup kita bahagia.

Konsep caring system di atas sebetulnya harta pusaka yang sudah kita miliki semenjak semula , yakni dalam dasar negara kita: Pancasila. Seperti terbaca dalam uraian para pendiri bangsa , caring system itu sungguh sudah termaktub dalam setiap sila dari Pancasila. Dan apabila Pancasila dengan caring system-nya itu diwujudkan dalam ekonomi , kita niscaya bakal memiliki dan mempraktikkan caring economics yang khas kita , ekonomi berbasis kepedulian sosial dan anti-keserakahan tersebut. Dalam sejarah lahirnya Pancasila , terang terbaca bahwa Indonesia terjadi dan bakal terus terjadi lantaran warganya bertekad untuk terus melanjutkan kebersamaan , keseriwayatan , kesenasiban , kesependeritaan , kesepedulian , dan keseharapan.

Tidakkah dalam pidato Lahirnya Pancasila , 1 Juni 1945 , Bung Karno berkata , Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang , bukan satu negara untuk satu golongan , walaupun golongan kaya. Negara Indonesia ialah ”semua buat semua , satu buat semua , semua buat satu”. Tidakkah berdasarkan Bung Hatta , bangsa Indonesia terjadi oleh keinsafan yang terbit lantaran percaya atas persamaan nasib dan tujuan? Tidakkah keinsafan itu bertambah besar lantaran sama seperuntungan , malang sama diderita , mujur sama didapat. Dan tidakkah bangsa ini terjadi lantaran jasa bersama , kesengsaraan bersama , dan lantaran riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak kita?

Namun , celakanya , kini Pancasila kita jauhkan dari kehidupan kita. Kalaupun ada , hanyalah terdengar sebagai slogan aksesori hidup bernegara belaka. Kita mengakui Pancasila , tetapi hidup kita berjalan ke arah lain yang bertentangan dengannya. Mungkin itulah sebabnya , otak kita jadi kehilangan saraf-saraf sosialnya. Akibatnya , kita kehilangan bela rasa dan kepedulian sosial. Kita tak menyayangi nilai-nilai Pancasila , alhasil hati kita kaku dan beku , sehingga kita tidak bisa menangisi penderitaan sesama anak bangsa: setiap kita jadi anonim terhadap penderitaan. Politik kita rahasia telah memetieskan Pancasila , alhasil politikus kita jadi melulu konsumtif dan rakus , serta politik kita pun bergerak atas dasar prinsip keserakahan belaka.

Tangis tempe dan tahu

Caring system telah menghilang dalam kehidupan berbangsa kita. Caring economics pun hanya jadi keinginan belaka. Lenyapnya caring economics ini kiranya lantaran pokok mengapa bangsa yang turah-turah , berlimpah-limpah kekayaan alam hingga bisa terjerumus ke krisis kedelai. Politik pertanian kita terseret ke gerak ekonomi yang tak prorakyat kecil. Akibatnya , tak bisa membela rakyat terhadap keserakahan mereka yang merebut lahan pertanian demi megaproyeknya.


Krisis kedelai itu bukan hal sepele. Krisis kedelai itu tangis alam kebangsaan kita yang memberi sinyal ancaman bahwa kita tak lagi hidup dalam Tanah Air yang turah-turah atau berkelimpahan dengan hasil bumi. Negara jadi miskin lantaran warganya serakah. Karena keserakahan , harta Ibu Pertiwi dirampok habisan-habisan. Ibu Pertiwi menyerupai bukan lagi Mbok Turah lantaran tak bisa mengatakan lagi kelimpahan bagi putra dan putrinya , lebih-lebih yang miskin dan menderita. Sementara negaranya terpecah-pecah antara yang miskin dan kaya , lantaran kepedulian sosial nyaris sirna. Pada penderitaan sesama bangsa yang susah , anak-anaknya , yang sudah keras hatinya , tak lagi bisa mencucurkan air mata. Lebih menyedihkan lagi , anak-anaknya tak sanggup meratapi dan menangisi tingkah lakunya yang salah. Itulah yang membuat Ibu Pertiwi bersusah hati. Ibu Pertiwi sedang menangisi keserakahan kita.

Sindhunata  Wartawan , Pemimpin Redaksi Majalah Basis , Yogyakarta

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kulihat Ibu Pertiwi"

Total Pageviews