James Luhulima
Jika pendataan daftar pemilih tetap (DPT) dari pemilu-pemilu sebelumnya betul , seharusnya hal menyerupai itu dihentikan terjadi. Memang pemilu berlangsung setiap lima tahun , dan dalam waktu lima tahun , ada sekian banyak pemilih gres dan juga ada sekian pemilih yang meninggal dunia. Namun , sisanya , sebagian besar tentunya , seharusnya tidak berubah. Bahkan , ada sebuah keluarga dengan tiga anak , yang awalnya terdaftar sebagai penduduk suatu kelurahan , tiba-tiba yang terdaftar hanya ayahnya saja. Istri dan tiga anaknya hilang dari daftar.
Melihat ada kekacauan data menyerupai itu , pertanyaan yang pribadi muncul yakni , apakah DPT dari pemilu yang kemudian tidak disimpan? Jika tidak , kemudian data itu dikemanakan. Timbul kecurigaan bahwa data itu sengaja dikacaukan Agar partai tertentu , dalam hal ini partai yang berkuasa , sanggup mengambil laba dari kekacauan yang terjadi pada DPT.
Namun , kali ini , bukan hal itu yang dibahas. Kali ini , yang dibahas yakni rendahnya kesadaran bakal data , terutama data pribadi yang bersama-sama sangat penting. Data merupakan hal yang sering kali diabaikan di negeri ini. Contohnya , dalam kehidupan sehari- sehari di sekeliling kita , sangat gampang kita menemukan orang yang memiliki lebih dari satu kartu tanda penduduk (KTP) , sesuatu hal yang bersama-sama dihentikan terjadi.
Jika orang yang bersangkutan tertib atau taat pada peraturan , seharusnya hal menyerupai itu tidak bakal terjadi. Demikian juga dengan petugas kelurahan , yang menawarkan KTP. Jika petugas kelurahan itu taat pada peraturan , mustahil seseorang sanggup memiliki lebih dari satu KTP.
Dasar dari pertolongan KTP yakni kartu keluarga. Jika seseorang memiliki kartu keluarga , barulah ia diberikan KTP. Namun , sering kali terjadi , seseorang sanggup memperoleh KTP dari suatu kelurahan tertentu , padahal ia sudah tidak lagi tinggal di kelurahan tersebut. Dengan kata lain , ketika seseorang , atas alasan apa pun , pindah rumah ke kelurahan lain , ia seharusnya meminta surat pindah dari kelurahan tempatnya tinggal untuk mengurus kartu keluarga gres di kelurahan tempatnya pindah. Setelah kartu keluarganya yang gres selesai , ia pun memperoleh KTP gres dan KTP lamanya ditarik. Namun , yang terjadi , orang itu tetap mempertahankan KTP lamanya walaupun ia sudah memperoleh KTP baru. Dengan demikian , ia memiliki dua KTP. Ironisnya , ia sanggup memperpanjang KTP lamanya kendati ia sudah tak memiliki kartu keluarga lagi di kelurahan itu.
Ketika kepadanya ditanyakan mengapa ia melaksanakan hal menyerupai itu? Jawaban yang diberikan yakni , soalnya repot mengurus pergantian data yang sudah tercatat di SIM (surat izin mengemudi) , di STNK (surat tanda nomor kendaraan) , di rekening bank , dan masih banyak alasan lain yang dikemukakan atas tindakannya itu. Padahal , persoalannya bukan pada repot atau tidak , tetapi pada kenyataan bahwa ia sudah tidak tinggal di alamat yang usang lagi.
Ia tidak menyadari bahwa dengan melaksanakan tindakan menyerupai itu , bukan mustahil , ia bakal tercatat sebagai penduduk di dua kelurahan , bahkan di provinsi yang berbeda. Seandainya hal itu yang terjadi , jangan heran kalau terjadi kekacauan data pada DPT. Bukan itu saja , data sensus penduduk pun bakal kacau.
Seharusnya , begitu pindah , seseorang pribadi mengubah semua data pribadinya , baik itu KTP , SIM , STNK , di bank , ataupun di tempat-tempat lainnya. Jika seseorang tertib , dengan sendirinya petugas kelurahan juga tidak terdorong untuk melaksanakan tindakan yang melawan peraturan. Kepatuhan menyerupai itu penting.
Nama pemilik lama
Hal yang juga lazim terjadi yakni , ketika seseorang menjual kendaraan beroda empat , orang yang membeli kendaraan beroda empat itu tetap mempertahankan nama pemilik usang sebagai pemilik sah kendaraan itu. Dengan kata lain , ia tidak segera mengurus surat pergantian nama pemilik kendaraan. Akibatnya , ketika kendaraan beroda empat itu ditelusuri menurut pelat nomor polisinya , nama pemilik kendaraan beroda empat yang usang muncul sebagai pemiliknya yang sah.
Jika praktik menyerupai ini diagarkan terus berlangsung , bakal sangat mengacaukan kalau pemerintah memberlakukan ERP (electronic road pricing). Sebab , pemilik kendaraan beroda empat yang usang yang bakal mendapatkan tagihan yang seharusnya dibayar oleh pemilik mobilnya yang baru. Untunglah , akhir-akhir ini , pemilik kendaraan beroda empat usang bakal pribadi meminta pembeli mobilnya untuk mengurus pergantian nama pemilik lantaran ia enggan terkena keharusan membayar pajak progresif.
Bukan itu saja , kita juga tahu , sangat gampang bagi seseorang mendapatkan KTP di Indonesia. Cukup menawarkan sejumlah uang tertentu di kelurahan , maka KTP bakal diberikan. Bahkan , banyak imigran gelap yang memegang KTP.
Ketika mengikuti aktivitas ”War on Terrorism” di Amerika Serikat tahun 2003 , Kompas sempat diberi tahu bahwa Indonesia diberikan ”rapor merah” untuk urusan kepemilikan kartu identitas. Itu sebabnya , orang-orang yang memegang dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia (seperti paspor) diberi perhatian khusus. Seharusnya kita aib dengan reputasi menyerupai itu.
Sesungguhnya , kasus kepemilikan lebih dari satu KTP sanggup diatasi aktivitas e-KTP (KTP elektronik) berjalan dengan baik dan data kependudukan terintegrasi setrik nasional. Dengan terekamnya data seseorang setrik nasional , mustahil baginya memperoleh lebih dari satu KTP. Sayangnya , aktivitas e-KTP belum berjalan segimana yang dibutuhkan sehingga masih banyak orang yang memiliki lebih dari satu KTP.
James Luhulima Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Rendahnya Kesadaran Akan Data"