Agus Sudibyo
Kenyataan ini kian menegaskan kegelisahan perihal rendah-nya minat masyarakat terhadap suksesi kepemimpinan. Apalagi , Pilkada Jawa Timur tak sendirian dalam mencetak tingginya golongan putih (golput). Pilkada Jawa Tengah beberapa bulan kemudian menghasilkan golput 48 persen. Pilkada Jawa Barat Februari 2013 dimenangi pemilih golput dengan 36 persen. Yang paling fenomenal tentu saja Pilkada Sumatera Utara: golput 60 persen.
Tren rendahnya pMaknasipasi warga dalam sejumlah pilkada dianggap sebagai alarm perihal rendahnya kualitas kehidupan politik atau kualitas demokrasi di suatu wilayah. Tanpa langkah antisipasi yang memadai , tren serupa dikhawatirkan bakal mewarnai Pemilu 2014.
Langkah antisipasi tentu harus didahului pertanyaan , apakah penyebab utama fenomena golput? ”Buruknya sosialisasi perihal tahap dan tata trik pilkada serta rendahnya perhatian masyarakat terhadap masalah politik” , inilah balasan baku yang sering dikemukakan. Namun , benarkah perhatian warga terhadap politik rendah? Benarkah penyebab golput yaitu apatisme masyarakat terhadap kehidupan politik?
Apatisme politik semestinya dipahami sebagai ketakpedulian terhadap dunia politik yang terekspresikan dalam perilaku tak hirau terhadap proses-proses politik dan terhadap siapa pun yang menjadi pemimpin formal. Apatisme ini muncul pada kelompok masyarakat yang menganggap politik sebagai urusan orang lain , katakanlah urusan partai politik dan para politisi. Bertolak dari pengertian ini , yang melatari rendahnya pMaknasipasi masyarakat dalam sejumlah pilkada remaja ini , sebenarnya bukan sebentuk apatisme politik.
Mari menyimak hasil jajak pendapat Kompas sepekan sebe- lum Pilkada Jawa Timur (Kompas , 30/8/2013). Jajak pendapat ini menunjukkan warga Jawa Timur tidak berminat mengikuti coblosan alasannya yaitu tak percaya kepada calon (19 persen) , tak terdaftar (12 persen) , menganggap pilkada tak bermanfaat (11 persen) , belum mengenal calon (11 persen) , hambatan waktu dan keperluan lain (24 persen). Warga Jawa Timur menentukan atau terpaksa menjadi golput bukan alasannya yaitu apatis terhadap politik , melainkan alasannya yaitu alasan teknis dan alasan politis-rasional.
Kategori pemilih apatis terang tak sanggup diberikan kepada warga yang tak mengikuti coblosan alasannya yaitu tak percaya kepada calon , belum mengenal calon , atau merasa tak mendapat manfaat dari pilkada. Alasan ini justru menunjukkan kalkulasi logis orang-orang yang melek-politik. Mereka sadar bahwa sebelum menentukan pilihan politik , mereka harus mengetahui benar rekam jejak para kandidat: gimana kualitas , dapat dipercaya , dan kepribadiannya.
Tidak bermakna
Dalam konteks ini , tanda-tanda golput bukan alasannya yaitu problem rendahnya keterlibatan atau ketertarikan masyarakat kepada politik , melainkan alasannya yaitu keyakinan masyarakat bahwa pilkada tak bermakna apa-apa alasannya yaitu tak ada kandidat yang setrik meyakinkan menjanjikan perubahan dan perbaikan kondisi.
Gejala golput dalam pengertian ini terang tak sanggup dilihat sebagai ”aib” dari penyelenggaraan pemilu , sebagai parameter rendahnya kualitas demokrasi.
Kita sanggup membayangkan kondisi yang sebaliknya. Apakah pemilu lebih berkualitas bila , contohnya , angka golput rendah , tetapi banyak orang asal coblos ketika di TPS tanpa mengenal betul calon yang mereka coblos , gimana kualitas dan keberpihakannya? Apakah pemilu jadi bermakna bila warga berbondong-bondong ke TPS bukan alasannya yaitu kesadaran sendiri , melainkan alasannya yaitu dimobilisasi dengan sarana tertentu?
Bukan berMakna dengan demikian lantas tanda-tanda golput diagarkan begitu saja. Tak pula golput kemudian direkomendasikan sebagai pilihan politik. Yang perlu ditekankan: kita harus melihat tanda-tanda golput bukan sebagai problem rendahnya kesadaran politik masyarakat , melainkan sebagai problem kegagalan partai politik dalam menampilkan calon pemimpin yang terkenal , memikat , dan meyakinkan masyarakat.
Kita harus berhenti menyalahkan warga terkait dengan tingginya tanda-tanda golput alasannya yaitu pokok masalahnya bukan pada kesadaran politik masyarakat , melainkan kepada krisis calon pemimpin yang terjadi pada tingkat partai politik.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pamor partai politik di mata warga telah menu- run. Daya tarik utama pemilu dan pilkada bukan lagi partai politik dengan banyak sekali atributnya , melainkan kandidat individu yang diusung partai politik. Preferensi politik masyarakat sudah banyak beralih dari institusi ke figur.
Warga bakal antusias mengikuti coblosan bila mereka menemukan figur-figur yang terkenal , meyakinkan , atau berkualitas dalam daftar kandidat. Sebaliknya , warga bakal enggan tiba ke TPS bila dihadapkan kepada pilihan figur yang itu-itu saja , yang tidak menumbuhkan optimisme dan impian , atau lebih abstrak lagi yang relatif tidak dikenal masyarakat.
Tanpa bermaksud mengesampingkan faktor lain , yang perlu diperbaiki dalam rangka mengurangi angka golput dengan demikian yaitu kemampuan dan keluwesan partai politik dalam menampilkan calon pemimpin yang mengena di hati masyarakat. Popularitas , akseptabilitas , dan dapat dipercaya calon pemimpin semestinya lebih dipertimbangkan daripada masalah loyalitas terhadap partai atau problem kedekatan terhadap ketua partai.
Yang dihadapi partai politik ketika ini notabene bukanlah warga yang pasif dan gampang dimobili- sasi , melainkan masyarakat yang semakin selektif , menuntut , dan kritis. Warga yang memiliki banyak jalan masuk komunikasi dan informasi. Warga yang sadar punya banyak pilihan politis , termasuk pilihan tidak menentukan mana kala dihadapkan kepada kelangkaan figur pemimpin yang terkenal dan berprestasi.
Agus Sudibyo Direktur Indonesia Research Centre Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Golput Dan Krisis Pemimpin"